Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Selasa, 19 November 2013

Sumpah Perang Aceh,


Sumpah Perang Aceh Pada Hari Ahad, 1 Muharram Tahun 1290 H (1873 M) yang dilaksanakan di dalam Mesjid Istana Baiturrahim dan dipimpin langsung oleh Qadhi Mu’adhdham Syech Marhaban bin Haji Saleh Lambhuk, maka Sulthan memerintahkan pengambilan sumpah kepada para Hulu Balang dan rakyat Aceh seluruhnya, Sumpah perdana itu dibacakan langsung oleh Wazir Rama Setia Kerukon Katibul Muluk / Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Said Abdullah Tengku Di Meulek dengan Surat Perintah yang berjudul “Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Holanda” Tanggal 1 Muharram Tahun 1290 H yang berbunyi :


“Bismillahir rahmanir rahiim.
Bahwa hamba memberi nasehat kepada sekalian tuan tuan atas nama keputusan Kerajaan Aceh beserta ahli waris Kerajaan, dengan alim ulama dan rakyat Aceh khususnya dan rakyat Bawah Angin umumnya.

Wahai tuan-tuan sekalian, hamba memberi perintah dari ini, bahwa sekalian tuan-tuan kita semuanya, bersiap-siap dengan senjata apa saja yang ada pada kita masing-masing, karena kita akan menghadap bahaya maut, yaitu dua perkara: pertama, menang, kedua syahid; ketiga tidak ada sekali kali, yaitu menyerah kalah kepada Holanda, ingatlah tuan-tuan, disini hamba memberi pernyataan dengan sahih sah muktamad, bahwa bangsa Holanda sudah Dua Ratus Lima Puluh Tahun menjajah negeri Bawah Angin di luar kita Aceh. Maka sekarang kita bersama-sama mempertahankan negeri kita Aceh. Sejengkal tanah negeri Aceh jangan kita berikan kepada musuh kita bersama, yaitu Holanda.

Maka barangsiapa yang menyerah kepada Holanda dengan sebab tidak ada masyakkah, maka Holandalah ia. Maka orang yang demikian itu musuh Allah dan musuh Rasul dan musuh negeri dan musuh Kerajaan. Maka tiap-tiap musuh yang hamba sebut itu walau siapa-siapa, berhak kita bunuh si durhaka itu, jangan kita sayang pada si bangsat itu, kalau kita sayang si bangsat itu, negeri kita Aceh alamat binasa, sengsara, huru hara…..

cap sikureung
Bersatulah kita semuanya melawan Holanda, bangsa barat yang hendak merebut menjajah negeri kita Aceh, jangan tuan-tuan ngeri dan takut, kita orang Islam wajib berperang melawan musuh dengan senjata apa yang ada pada kita masing-masing.

Maka barang siapa yang tuan-tuan dan hulu balang-hulu balang memihak berdiri kepada Holanda dengan sengaja, yaitu tidak ada masyakkah, maka Insya Allah ta’ala akan datang pada suatu zaman yang kebili kebilui anak cucu tuan-tuan muntah darah dan dimandikan dengan darah oleh rakyat sendiri masing-masing, walau besar walau kecil……. “
 apakah kita  sekarang ini termasuk yg mengingkari sumpah tersebut??

Minggu, 10 November 2013

Dinasti Keurajaan Aceh Bandar Darussalam

gambar. 01. Sultan - Sultan Aceh Dinasti Meukuta Alam

gambar.02.Sultan Aceh Keturunan Perak

Rabu, 06 November 2013

Sebuah Analisa, Wali Negara atau Wali Nanggroe?

Hasan Di Tiro
MEMBACA beberapa tulisan yang mengulas tentang Wali Nanggroe termasuk pandangan beragam yang berkembang selanjutnya yang dinisbahkan kepada Tgk Hasan Tiro, saya ingin menambahkan informasi mengenai makna kata "Wali Nanggroe" itu sendiri yang cendrung a historis karena tidak merujuk pada buku atau tulisan Tgk Hasan Tiro itu sendiri dimana beliau tidak pernah mengatakan sebagai Wali Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara. 

Secara singkat, padat dan hematnya sebagai berikut:
Sepengetahuan saya, kata "Wali Nanggroe" dengan "Wali Negara" adalah berbeda maknanya. Sebutan "Wali Nanggroe" tidak lepas dari konteks sejarah Aceh, sehingga dari pada itu kata "Nanggroe" bukan bahasa Aceh terjemahan yang tepat untuk "Negara", karena kata "Negara" bahasa Acehnya adalah ”Neugara”, sedangkan kata "Negeri" terjemahan kedalam bahasa Acehnya adalah "Nanggroe". (Sumber Kamus Indonesia–Aceh, oleh M Hasan Basri, hlm 626, yayasan Cakra Daru 1994).


Istilah tersebut dalam konteks sejarah Aceh lebih jelas jika seandainya difahamkan kedalam bahasa Inggris ”Head of state” untuk "Wali Negara" dan "Guardian" untuk "Wali Nanggroe". Contoh pemahaman lainnya, kata ”Wali Negara” dan ”Wali Nanggroe” hampir sama kata namun berbeda maknanya sama seperti kata ”Country” dan ”County” dalam bahasa Inggris. Almarhum Tgk Hasan di Tiro sendiri tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Wali Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara sejak 1976. (Sumber: buku "The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tgk Hasan di Tiro”, kolom "The Genealogy of the Tengku Chik di Tiro, hlm: 141 dan juga terjemahan buku ""Jum Meurdéhka, Seuneurat Njang Gohlom Lheuëh" pada kolom yang sama).


Silsilah sebagai Wali Negara tersebut sebagai berikut: 1. Tgk. Sjech Muhammad Saman (1874-1891) 2. Tgk. M. Amin (1891-1896) 3. Tgk. Bèd/Ubaidullah (1896-1899) 4. Tgk. Lambada (1899-1904) 5. Tgk. Mahjeddin (1904-1910) 6. Tgk. Ma'at (1910-1911) 7. Tgk. M. Hasan (1976 – 2010).


Sedangkan informasi yang terdapat dalam buku beliau yang lain di antaranya, “Acheh – New Birth of Feedom” yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, 1 Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan di Tiro termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500 - 1530) sampai kepada dirinya (1976 - 2010). Sekali lagi, dari semua tulisan buku beliau, almarhum Tgk Hasan di Tiro cendrung mengatakan kalau dirinya sebagai Wali Negara bukan Wali Nanggroe.


Sedikit tambahan, sebutan Wali Negara juga pernah dialami oleh Tgk Daud Beureuéh saat mendirikan gerakan Darul Islam, yang berlanjut pada pendirian Republik Islam Aceh (RIA), namun suksesi Wali Negara setelah beliau almarhum tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya, sejak Tgk Hasan di Tiro wafat, belum ada seorang pun, baik yang berasal dari keturunan keluarga di Tiro maupun bukan, yang mengklaim dirinya sebagai pengganti Wali Negara. Penurunan makna pemahaman kata Wali Negara menjadi Wali Nanggroe serupa seperti pemaksaan kata Aceh yang beridentitas sebagai sebuah bangsa kini menjadi sebuah suku, padahal suku di Aceh itu misalnya Suku Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo Luwes, Kluet, Simeulue, Singkil, Tamiang.


Seyogyanya, opini yang berkembang menyangkut kontroversial klaim seseorang sebagai Wali Nanggroe ke 9 perlu dikaji ulang menurut sejarah Aceh atau referensi dari buku karya Tgk Hasan Di Tiro. Demikian juga, patut dipertanyakan atas dasar hukum apa, oleh siapa, dimana dan kapan Malik Mahmud diangkat langsung sebagai Wali Nanggroe ke 9 sedangkan dalam berhitung saja dimulai dengan angka 1, bukan 9.


Dalam dinamika politik, informasi yang diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari meskipun keliru akan menjadi sebuah kebenaran, meskipun ditoreh sebagai bagian dalam sejarah. Walaupun demikian, tidak boleh menjadi sebuah justifikasi fakta karena sembari mengutip para mubaligh yang sering mengatakan bahwa “Qul al haqq wa law kana murran” (Katakan yang benar walaupun pahit--akibatnya).


Asnawi Ali
Örebro, Swedia

Selasa, 05 November 2013

Wali Naggroe Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman




Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman
Riwayat Kematian Teungku Tjik Di Tiro yang terakhir menjadi sebuah bahan roman sejarah yang tertanam dalam riwayat perang Aceh sebagai sejarah kepahlawanan yang snagat agung, sangat berani dan sangat kaya sehingga taka da selain itu yang bisa memberi kebesaran untuk suatu bangsa
[W.A Goudoever dan H.C.Zentgraaf, Sumantraantjes :167]

Pada tanggal 9 desember 1873, sebanyak 8.000 serdadu Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Van Swieten dan Jenderal Van Spijck, menyatakan pernag kembali dengan aceh.
Pada tanggal 6 januari 1874, belanda masuk ke pante pirak, bagian barat kutaraja(banda aceh) maka nyatalah belanda dalam satu bulan berperang hanya sanggup maju 4 kilometer saja semntara perang berlangsung siang dan malam.
Pada tanggal 12 januari 1874, Belanda masuk ke Kuta gunongan hanya mampu bergerak maju kira-kira 750 meter setelah sepekan berperang. Jarak Kuta Gunongan dengan istana hanya 100 meter lagi. Walau demikian serdadu Belanda tidak sanggung bergerak lagi.
Setelah berperang 12 hari 12 malam, barulah belanda berhasil masuk ke istana, itupun terjadi karena keputusan  Sultan Mahmud sjah  untuk pergi meninggalkan istana sebab lingkungan istana terserang wabah kolera karena banyaknya mayat di setiap sudut kuta.
Ketika Van Swieten masuk ke kutaraja, kondisi kutaraja sudah dikosongkan oleh sultan aceh. Hamper sama situasinya ketika Napoleon Bonaparte masuk ke kota Moskow pada tahun 1812, saat itu kota Moskow sudah dikosongkan. Napoleon marah besar karena tidak ada satu orangpun dari pemerintah Rusia yang bias menandatangani surat pernyataan menyerah.
Sultan Mahmud Sjah  memahami betul terhadap undang-undang international yang berlaku saat itu bahwa suatu wilayah tidak bisa dikatakan berhasil ditaklukkan tanpa adanya tandatangan pernyataan menyerah kepada musuh. Oleh karena itu sang sultan menolak menandatangani surat menyerah dan lebih memilih meninggalkan istana untuk mengatur ulang srategi perang.
Ketika Sultan Mahmud Sjah wafat pada tanggal 28 januari 1874 tanpa meninggalkan keturunan. Maka kekuasaan kerajaan Aceh dpegang oleh Majelis Negara Aceh yang terdiri dari Tuanku Hasyem, Teungku Panglima Polem Muda Kuala dan Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abee.
Pada tahun 1874 setahun setelah wafatnya sultan, Majelis Negara Aceh memilih Tuanku Muhammad Daud, salah seorang family dari sultan yang masih kanak kanak  sebagai sultan Aceh dibawah  bimbingan Tuanku Hasyem.
Ketika perang semakin dahsyat, dalam keadaan terjepit maka kekuasaan kerjaan diamanahkan kepada panglima perang Aceh Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sebagai wali nanggroe.
Dibawah pimpinan Wali Nanggroe sekaligus panglima perang  Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman keadaan berubah signifikan. Tentara Aceh yang telah selesai berperang ditata ulang sehingga menjadi lebih kuat dengan srategi perang yang lebih matang sehingga menjadi lebih kuat. Dalam keadaan ini bukan lagi Belanda yang meminta Aceh menyerah tetapi Aceh yang menyatakan perang Kembali kepada Belanda
Pada tahun 1884 belanda menyadari posisinya kian terjepit setelah melwati perang yang melelahkan melawan tentara Aceh pimpinan Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Belanda mulai berpikir untuk menyelamatkan diri mereka dan bertahan tanpa harus lari ke perairan seperti 11 tahun lalau saat mereka dikalahkan tentara aceh. Dengan maksud memprtahankan nama besar belanda sebagai pasukan yang kuat dimata dunia, maka semua pasukan belanda di Aceh memilih bertahan dalam suatu tenpat di Kuta Raja. Tempat tersebut diberi nama dalam bahsa Belanda dengan Geconcentreerde
Linie
atau Kuta meusapat.
Sejak tahun 1884-1896 atau selama 12 tahun berturut turut Belanda tidak berani keluar dari Kuta Meusapat untuk menghindarin Tentara Aceh.
Penulis Belanda bercerita :
“Hij vormde een vast leger….Hij liet onze geheele linie om-ringen door een kring van kleine zooveelmogelijk aan ons oog onttrokken bentengz, zoodat het er veel van had. Of hij het was, die ons met kracht van wapenen ingesloten ha “ J.Kreemer, Aceh ;27
Artinya  : Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sudah berhasil mendirikan sebuah pasukan yang gagah dan berani. Beliau memerintahkan untuk membangun benteng benteng kecil disekeliling benteng kami. Dan jika memungkinkan benteng itu didirikan didapan mata kita, sehingga beliau mengurung kita dengan kekuatan senjata.
Dalam surat menyurat  Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman dengan pemerintah Belanda pada September 1885. Aceh memberi peluang kepada Belanda agar tidak malu didepan dunia, maka belanda diizinan berdagang di Aceh dan mengakui kedaulatan Aceh. Namun  pada tanggal 15 agustus 1888 kabinet Belanda di Den Haag menolak tawaran yang diberikan Aceh.
Maka sesudah itu tentara Aceh benar-benar membersihkan serdadu Belanda dari Kuta Meusapat. Tentarab Aceh menyerang Belanda siang dan malam. Dan ketika terlihat tanda Belanda akan kembali dikalahkan oleh tentara Aceh.
“Aan den vijand waren alle voordeelen van het initiatief in de hoogste mate verzekerd, thans was hij hefc, die offensief kon optreden,terwijl wij one tot lijdelijke afweer moisten bapalen’
Artinya ;
Semua keuntungan yang baik dalam situasi ini dimiliki oleh musuh ( Aceh). Sekarang mereka sudah menyatakan perang kembali kepada kita (Belanda) seperti yang mereka mau, akan tetapi kita hanya bias bertahan dalam satu tempat. J.Kreemer. aceh ;27

[sumber : Aceh Dimata Dunia. Hasan Tiro]

Kepahlawanan Bangsa ACEH di mata sejarawan Belanda

gambar. peta atjeh dalam buku zentgraaf
"De waaheid is dat de atjehers mannen eb vrouwen in het algemeen schitfcerend hebben gevochten voor wat zij zagen als hun nationaal of religieue ideaal. Er is onder die atrijdera een zeer grootaantal mannen en vrouwen die den trots van elk volk zouden uitmaken ; zij doen voor de schitterendste van onze oorlogsfiguren niet onder" H.C Zentgraaf, Atjeh : 1

Nyatalah sebuah kebenaran yang harus diakui bahwa bangsa Aceh ( laki laki dan perempuan ) telah berperang dengan sangat berani demi mempertahankan cita cita kebangsaan dan nilai agamanya. Dalam gelombang itulah, banyak pejuang-pejuang Aceh baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi kebanggaan bangsanya. mereka terlebih baik dari pahlawan-pahlawan tinggi kita ( Belanda )

ACEH dimata Ahli Sejarah M.C Ricklef


cover buku M.C Ricklefs
............Perlawanan perjuangan bangsa Aceh dipimpin oleh ulama ulama, dan ulama yang paling mahsyur adalah Teungku Tjik di Tiro (1836-1891). perlawanan menjadi perang suci antara umat Islam dan kafir. akhirnya Belanda menjadi sadar bahwa mereka tidak memenangi apa-apa dan tidak menguasai sejengkal tanah pun dari tangsi-tangsi mereka. biaya peperangan ini sangat besar sehingga pada tahun 1884-1885 Belanda terpaksa menarik mundur pasukannya ke benteng-benteng. dan dengan demikian maka negeri Aceh kembali kedalam tangan bangsa Aceh sendiri [M.C Ricklefs, A history of modern Indonesia]..........

ACHEH dan AMERIKA

President America Ulysses S. Grant
......... Pernyataan berdiri sama tengah yang tidak memihak ( Proclamation of Imparcial Neutrality ) dalam perang antara ACHEH dan Belanda. dalam pernyataan ini dinyatakan pula bahwa Amerika Serikat tidak mau membenarkan serangan belanda atas ACHEH. 
(President America; President Ulysses S.Grant. MESSAGE AND PAPES OF THE PRESIDENT,Washington DC.1874)

ACHEH dalam HARPERS MAGAZINE, AMERIKA EDISI AGUSTUS 1905

Harpers magazine1905
,,,,,,,Pada waktu yang sama belanda mulai menelan pulau jawa. usaha penjajahan mereka sedikit demi sedikit diperluas dari jawa ke sumatra. tetapi belanda tidak pernah berani bergerak ke ke wilayah orang-orang pemberani di utara (The Fighting North) dimana bangsa aceh yang mulia masih cukup jantan untuk melawan penjajah... ("the one hundred year warof today" Harper Magazine august 1905)

Senin, 04 November 2013

Acheh Dalam The New York Times, edisi 15 mei 1873

the new york times
,, Sekarang boleh dikatakan bahwa sudah dimulai pendidikan Acheh kepada keturunan Kristen yang baru. " Segera akan diketahui umum bahwa bangsa Acheh itu bukanlah bangsa biadap yang tak berurat saraf (tidak pandai berfikir) tetapi mereka adalah bangsa Islam yang baik sekali dan bangsa pahlawan "
(the new york times edisi 15 mei 1873 dalam acheh dimata dunia. Hasan Tiro)


Sruktur dan Maklumat Kerajaan Aceh Bandar Darussalam


Bismillahirrahmanirrahim, Amma Ba’du

Mulai terdiri Kerajaan Aceh Bandar Darussalam iaitu pada tahun 913 Hijriah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal Hari Ahad bersamaan 23 Julai, 1507. Atas nama yang berbangsawan bangsa Aceh iaitu Paduka Seri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah Johan Berdaulat…;

Maka pohon kerajaan mulai tersusun oleh yang berbangsawan tersebut hingga sampai pada kerajaan puteranya yang kuat iaitu Paduka Seri Sultan Alauddin Mahmud Al-Qahhar Ali Riayat Syah…;

Kemudian hingga sampai pada masa kerajaan cicitnya iaitu Raja yang lang-gemilang gagah perkasa yang masyhur al-mulaqaab Paduka Seri Sultan Al-Mukarram Sultan Alauddin Mahkota Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah Johan Berdaulat Zilullah Fil Alam…;

Iatiu telah ijmak keputusan sabda muafakat Kerajaan Aceh Bandar Darussalam beserta alim ulamak dan hulubalang dan menteri-menteri…;

Iaitu telah ditetapkan dia dan telah difaftarkan dan iaitu dengan sahih sah dan muktamad dengan memberitahu dan diperintahkan dia dengan mengikut dan menurut menjalankan dan melaksanakan oleh seluruh pegawai-pegawai Kerajaan Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya iaitu diwajib difayahkan di atas seluruh rakyat Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya…;

Bahawasanya kita semuanya satu negeri bernama Aceh dan berbangsa Aceh dan berbahasa Aceh dan kerajaan Aceh dan alam Aceh…;

Yakni satu negeri satu bangsa dan satu kerajaan dan satu alam dan satu agama yakni Islam dengan mengikut syariah Nabi Muhammad SAW…;

Atas jalan ahlu-Sunnah wal Jamaah dengan mengambil hukum daripada Qur’an dan Hadis dan qias dan ijmak ulamak ahlu-sunnah wal jamaah…;

Dengan hukum dengan adat dengan resam dengan kanun iaitu syarak Allah dan syarak Rasullulllah dan syarak kami…;

bendera aceh Alam Merah Cap Peudeung lukisan warna putih
Bernaung di bawah Alam Merah Cap Peudeung lukisan warna putih yang berlindung di bawah panji-panji Syariat Nabi Muhammad SAW…;

Dari dunia sampai ke akhirat dalam dunia ini sepanjang masa :

Pertama, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang lelaki lagi mukaallaf dan bukan gila iaitu hendaklah membawa senjata ke mana-mana pergi berjalan siang-malam iaitu pedang atau sikin panjang atau sekurang-kurangnya rincong tiap-tiap yang bernama senjata.

Kedua, tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau baleeh-baleeh atau meunasah maka pada tiap-tiap tihang di atas puting di bawah bara hendaklah di pakai kain merah dan putih sedikit yakni kain putih.

Ketiga, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh iaitu bertani utama lada dan barang sebagainya.

Keempat, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh mengajar dan berlajar pandai emas dan pandai besi dan pandai tembaga beserta ukiran bunga-bungaan.

Kelima, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang perempuan iaitu mengajar dan belajar membikin tepun (tenun) bikin kain sutera dan kain benang dan menjaid dan menyulam dan melukis bunga-bunga pada kain pakaian dan barang sebagainya.

Keenam, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar jual-beli dalam negeri dan luar negeri dengan bangsa asing.

Ketujuh, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar ilmu kebal.

Kedelapan, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang laki-laki mulai taklif syarak umur lima belas tahun belajar dan mengajar main senjata dengan pendekar silek dan barang sebagainya.

Kesembilan, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh dengan wajib ain belajar dan megajar ilmu agama Islam syariah Nabi Muhammad SAW atas almariq ( berpakaian ) mazhab ahlu-sunnah wal jamaah r. ah ajmain.

Kesepuluh, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh menjauhkan diri daripada belajar dan mengajar ilmu kaum tujuh puluh dua yang di luar ahli sunnah wal jamaah r. ah ajmain.

Kesebelas, sekalian hukum syarak yang dalam negeri Aceh diwajibkan memegang atas jalan Mazhab Imam Syafi’i r.a. di dalam sekalian hal ehwal hukum syarak syariat Nabi Muhammad SAW. Maka mazhab yang tiga itu apabila mudarat maka dibolehkan dengan cukup syartan ( syarat ). Maka dalam negeri Aceh yang sahih-sah muktamad memegang kepada Mazhab Syafi’i yang jadid.

Keduabelas, sekalian zakat dan fitrah di dalam negeri Aceh tidak boleh pindah dan tidak diambil untuk buat bikin masjid-masjid dan balee-balee dan meunasah-meunasah maka zakat dan fitrah itu hendaklah dibahagi lapan bahagian ada yang mustahak menerimanya masing-masing daerah pada tiap-tiap kampung maka janganlah sekali-kali tuan-tuan zalim merampas zakat dan fitrah hak milik yang mustahak dibahagi lapan.

Ketigabelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh membantu kerajaan berupa apa pun apabila fardhu sampai waktu datang meminta bantu.

Keempatbelas, diwajibkan diatas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar mengukir kayu-kayu dengan tulisan dan bunga-bungaan dan mencetak batu-batu dengan berapa banyak pasir dan tanah liat dan kapur dan air kulit dan tanah bata yang ditumbok serta batu-batu karang dihancur semuanya dan tanah diayak itulah adanya.

Kelimabelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar Indang Mas di mana-mana tempatnya dalam negeri.

Keenambelas, diwajibkan di atass sekalian rakyat Aceh memelihara ternakan seperti kerbau dan sapi dan kambing dan itik dan ayam tiap-tiap yang halal dalam syarak agama Islam yang ada memberi manfaaf pada umat manusia diambil ubat.

Ketujuhbelas, diwajibkan ke atas sekalian rakyat Aceh mengerjakan khanduri Maulud akan Nabi SAW, tiga bulan sepuluh hari waktunya supaya dapat menyambung silaturrahmi kampung dengan kampung datang mendatangi kunjung mengunjung ganti-berganti makan khanduri maulut.

Kedelapanbelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh bahawa hendaklah pada tiap-tiap tahun mengadakan Khaduri Laut iaitu di bawah perintah Amirul Bah yakni Panglima Laot.

Kesembilanbelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh mengerjakan Khanduri Blang pada tiap-tiap kampung dan mukim masing-masing di bawah perintah Penglima Meugoe dengan Kejrun Blang pada tiap-tiap tempat mereka itu.

Keduapuluh, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh bahawa tiap-tiap pakaian kain sutera atau benang atau payung dan barang sebagainya yang berupa warna kuning atau warna hijau tidak boleh memakainya kecuali yang boleh memakainya iaitu Kaum Bani Hasyim dan Bani Muthalib yakni sekalian syarif-syarif dan sayed-sayed yang turun menurun silsilahnya daripada Saidina Hasan dan Saidina Husin keduanya anak Saidatina Fatima Zahra Nisa’ Al-Alamin alaihassalam binti Saidina Rasulullah Nabi Muhammad SAW; dan warna kuning dan warna hijau yang tersebut yang dibolehkan memakainya iaitu sekalian kaum keluarga ahli waris Kerajaan Aceh Sultan yang raja-raja dan kepada yang telah diberi izin oleh kerajaan dibolehkan memakainya; kepada siapapun.

Keduapuluhsatu, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh bahawa jangan sekali-kali memakai perkataan yang hak kerajaan: Pertama titah kedua sabda ketiga Karunia keempat Nugerahi kelima Murka keenam Daulat ketujuh Seri Pada ( Paduka ) kedelapan Harap Mulia kesembilan Paduka Seri kesepuluh Singgahsana kesebelas Takhta keduabelas Duli Hadrat ketigabelas Syah Alam keempatbelas Seri Baginda kelimabesar Permaisuri keenambelas Ta.

Maka demikianlah sabda muafakat yang sahih-sah muktamad daripada Kerajaan Aceh Bandar Darussalam adanya.

Maka hendaklah menyampaikan sabda muafakat keputusan kerajaan kami oleh Hulubalang Menteri kami kepada sekalian rakyat kami ke seluruh Aceh iaitu daerah-daerah dan mukim-mukim dan kampung-kampung dan dusun-dusun timur dan barat tunong dan baruh kepada sekalian imam-imam dan kejrun-kejrun dan datuk-datuk dan kechik-kechik dan wakil-wakil dan sekalian orang yang tuha-tuha dan muda-muda dan sekalian orang yang ada jabatan masing-masing besar dan kecil menurut kadarnya dan ilmunya;

Iaitu mudah-mudahan insya Allah ta’ala dapat selamat bahagia sekalian umat manusia dalam negeri Aceh Bandar Darussalam khasnya dan Aceh jajahan takluk amnya iaitu siapa menjadi manusia yang baik dan berkelakuan yang baik serta tertib sopan majlis dan hormat mulia yang sempurna dengan berkat syafaat Nabi SAW supaya terpeliharalah bangsa kami Aceh dan negeri kami Aceh daripada mara dan bahaya dengan selamat sejahtera bahagia sepanjang masa dan jauh daripada lembah kehinaan dan kesusahan sepanjang hidup;

Supaya terpeliharalah negeri kami Aceh dan alam kami Aceh dan bangsa kami Aceh dengan usaha yang banyak supaya dapat mesra kesenangan bersama-sama iaitu antara rakyat dengan kerajaan dengan bersatu seperti nyawa dengan jasaad serta dengan taqwa dan tawakkal kepada Allah ta’alaa dengan menahan sabar daripada kepayahan maka tentu akhirnya insya Allah ta’ala dapat jadi kebajikan bersama-sama dengan saudara-saudara-saudara Islam yang dalam negeri Aceh dengan berkasih-kasihan dengan mengikut Syarak Allah dan Syarak Rasul dan Syarak Kerajaan.
Sanah 1272 Hijriah ( 1855 Masehi )

INONG ACEH DIMATA BELANDA

gambar 0.1 cover buku atjeh
Berbicara sejarah aceh yang begitu panjang, tidak akan juga kita melupakan pejuang perempuan aceh yang begitu tangguh berjuang berbarengan dengan suami-suami mereka. dimata mereka terpancar sebuah kebencian yang sangat besar terhadap kaphe Belanda. tidak ada kata menyerah bahkan perempuan-perempuan aceh yang tangguh ini mengutuk suami mereka sendiri jika suami mereka lari dari pertempuran,

‘Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati bahkan merekapun melampui kaum lelaki. Bukan sebagai wanita yang lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka diantara dua serbuan penyergapan.”
(sebuah ungkapan kekaguman HC Zentgraff, seorang kopral marsose veteran Perang Aceh, dalam bukunya ‘De Atjeh’)

gambar 0.2 tjut tjak meutia



kita tidak akan melupakan bagaimana pejuang perempuan aceh, Tcut Meutia,istri dari Teuku Chik di Tunong yang berperang bertahan-tahun di Keureutoe dan syahid pada tahun 1910 dalam usia 40 tahun. bahkan nisannya pun tidak diketahui keberadaannya. inilah pejuang sejati, wanita pemberani dari bumi rencong.



Begitu juga dengan Tjut Tjak Dhien, istri Teuku umur di meulaboh yang bertahun-tahun menghabiskan hidupnya untuk berperang melawan kaphe Belanda bahkan ketika suami nya telah syahid. wanita tangguh ini tetap tegar dalam memimpin pasukan pejuang aceh mempertahankan kedaulatan aceh. Menderita dalam lebatnya hutan belantara aceh hingga rambutnya beruban, mata nya tak lagi tajam menatap, kulitnya telah keriput bagaikan kulit kayu kering, namun semangat juangnya begitu luar biasa bahkan kaphe Belanda tidak berani menatap mata wanita tua ini. 

zentgraaff mengatakan " men kan gissen naar de grootte van het offer dat zij har nationale gedachte bracht " ( siapa yang melihat perjuangan Tjut Tjak Dhien, bisa memperkirakan seberapa besar pengorbanan yang sudah diberikan olehnya untuk pemikiran kebangsaan aceh)

gambar 0.2 tjt tjak dhien
satu lagi contoh pejuang wanita aceh yang begitu tangguh, beliau adalah Tjut Tjak Gambang anak dari Tjut Tjak Dhien dan istri dari Teuku Chik majet Di Tiro yang bersama suami nya berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa aceh. beliau syahid dalam peperangan di gunung Alimon pada tahun 1910. 

penulis Belanda mengatakan 
" saya berpikir tidak ada satu contoh yang sangat menyedihkan hati kita dari pada meninggalnya istri Teungku Tjhik Di tiro pada tahun 1910 yang membuktikan bagaimana wanita aceh berperang. bagaimana mereka tidak takut pada musuh dan memandang hina musuh dan tak akan pernah mau berdamai.

pada tahun 1909, kita (Belanda) mulai memerangi siapapun yang tersisa dari famili di Tiro yang sangat mahsyur dipenggunungan Tangse. Schmidt, panglima Belanda mencari bekas jejaknya dan selalu menunggu seperti anjing menuggu rusa.

pada akhir tahun 1910 mereka hampir tertangkap. Schmidt berhasil memerangi mereka yang masih bertahan. namun Teuku Tjhik majet di Tiro berhasil lolos. sementara istrinya Tjut Tjak Gambang berada dalam tangan kita dengan luka parah. beliau ditemukan setelah pembersihan medan perang. beliau menggunakan celana hitam dan baju hitam, masih sangat muda, kira-kira umur nya 30 tahun.

beliau terlentang dengan perut luka parah akibat tembakan walaupun kondisi sangat mengenaskan,raut wajahnya  terlihat sombong dan berani. tidak ada ketakutan dimatanya meski sekelilingnya dikuasai musuh. beliau menunggu ajalnya dengan tenang. 

Schmidt mendekatinya dan menawarkan air. dengan penuh hormat Schimidt bertnya dalam bahasa aceh, jika diizinkan dia akan membalut lukanya. ketika mendengar tawaran itu, beliau memalingkan wajahnya dan memarahinya " bek kamat kee kaphe ceulaka" (jangan sentuh aku hai kafir celaka )  beliau lebih memilih mati dari pada menerima pertolongan dari musuh yang ditatapnya seperti anjing. H.C. Zentgraaff, ace:63-64




Teuku Raja Angkasah, Harimau Soematra Dari Tanah Bakongan

T. Raja Angkasah siHarimau Soematra

Teuku Raja Angkasah, mendeklarasikan perang melawan Kompeni Belanda. Hingga akhirnya syahid di Buket Gadeng, Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan, 25 Oktober 1925.


Postur tubuhnya memang kecil, tapi bukan berarti tidak punya nyali dan keberanian. Sejak kecil, sahabat Teuku Cut Ali ini, sudah memiliki keberanian dan kelebihan. Kelihaian dalam memainkan pedang, menjadikan putra dari Teuku Abdurrahman itu disegani kawan-kawan seperjuangannya. Belanda menjulukinya sebagai “Harimau Sumatera” karena keperkasaannya.


Teuku Raja Angkasah mulai memimpin perang melawan marsose Belanda awal tahun 1925. Dalam perang tersebut, banyak marsose Belanda tewas ditangan Raja Angkasah. Hampir setiap hari, ada marsose Belanda yang terbunuh. Keadaaan ini, jelas membuat militer Belanda gusar dan gamang, hingga berujung didirikannya markas marsose Belanda di Bakongan.


Sebelumnya, markas marsose khusus itu hanya ada lima di Aceh, yaitu di Indrapuri (Aceh Besar), Jeuram (Aceh Barat), Tangse (Pidie), Peurelak (Aceh Timur), dan di Takengon (Aceh Tengah). Perang di Bakongan, adalah perang yang paling sulit dan menakutkan bagi marsose Belanda. Maklum, banyak marsose Belanda yang ditugaskan di wilayah ini hanya tinggal nama.


Istilah “Kapal Putih”, momok yang menakutkan bagi Marsose Belanda. Bayangkan, hampir setiap minggu mayat-mayat marsose Belanda diangkut dengan kapal tersebut dari Bakongan menuju Kuta Raja (Banda Aceh) untuk dikuburkan di Komplek Perkuburan Kerkoff di Setui, Banda Aceh. Itulah salah satu bukti dari keganasan Raja Angkasah dalam membasmi Belanda.



Menurut Teuku Ramli Angkasah, putera kandung Raja Angkasah. Ada beberapa penyebab Ayahandanya bertempur melawan Marsose Belanda. Pertama, sikap Belanda yang mulai mencengkram wilayah Aceh, kedua pendirian Tangsi Militer di Bakongan.


Ketiga, sikap Belanda yang mengadu domba keluarga Hulubalang Bakongan. Keempat terbunuhnya Ayahanda Teuku Raja Angkasah, yaitu Teuku Abdurahman yang merupakan hasil provokasi Belanda dan antek-anteknya di Bakongan. Dan yang terakhir, Belanda ingin memperkuat basis di Bakongan dengan melemahkan peran Hulubalang.


Perang Bakongan termasuk bagian Perang Aceh yang sangat menguras enerji maupun biaya bagi pihak Belanda, termasuk menewaskan Prajurit Belanda yang sedemikian banyak diantaranya terdapat beberapa Jenderal Belanda.


Teuku Raja Angkasah memiliki cara yang unik saat bertempur dengan Belanda. Strategi yang digunakan Teuku Raja Angkasah dalam Perang Bakongan adalah :
Sebelum bertempur Teuku Raja Angkasah senantiasa mengirimkan surat tantangan kepada Marsose Belanda untuk melakukan pertempuran di suatu tempat. Strategi ini merupakan bentuk perang urat syaraf (psywar) untuk menjatuhkan mental pihak lawan.

Mengingat keunggulan Teuku Raja Angkasah dalam bermain pedang dan keterbatasan persediaan senapang mesin yang dimilikinya, Teuku Raja Angkasah sering menawarkan untuk bertanding pedang dengan Komandan Marsose Belanda, diantaranya Kapten Paris yang dikenal sebagai Singa Afrika dan sebelumnya pernah menjadi Komandan Pasukan Belanda di Afrika Selatan. Teuku Raja Angkasah unggul dalam pertandingan pedang ini. Keunggulan Teuku Raja Angkasah dalam bermain pedang ini adalah kemampuannya untuk meloncat seolah-olah melayang sambil mengayunkan pedangnya kepihak musuh.

Melakukan jebakan dengan menggunakan tali pada jalur-jalur yang dilalui oleh Pasukan Marsose Belanda. Saat Marsose Belanda terperangkap pada tali-tali tersebut maka Teuku Raja Angkasah bersama Pasukannya melakukan penyerbuan dan menghabisi para Marsose tersebut.


Teuku Raja Angkasah bersama pasukannya menunggu di puncak bukit (Bukit Gading di Hulu Bakongan). Dikaki Bukit terletak sungai yang dilalui Belanda. Saat Belanda menyeberang sungai maka Teuku Raja Angkasah bersama pasukannya akan menyerbu dari atas sehingga membuat Pasukan Marsose Belanda kocar-kacir.

Berkoordinasi dengan pejuang lainnya diantaranya Teuku Cut Ali dan Teuku Datuk Raja Lelo untuk mengatur posisi secara menyebar sehingga menyulitkan pihak Belanda.



Belanda, kebingungan dan kewalahan atas perlawanan yang dilakukan Raja Angkasah beserta panglima perangnya. Acap kali, setiap peperangan berlangsung banyak marsose Belanda yang gugur. Berbagai cara pun dilakukan, agar Raja Angkasah dan pengikutnya dapat dilumpuhkan.


Kompeni Belanda, menyebut Teuku Angkasah sebagai Teuku Angkasa. Itu dikarenakan, kemahirannya melompat dan melayang sambil mengayunkan pedang. Belanda hampir kehilangan akal untuk melumpuhkan “Harimau Sumatra” tersebut. Hingga akhirnya, Komando Pusat Belanda di Batavia (Jakarta), mengirim Kapten Paris ke Bakongan.


Kapten Paris, yang di juluki “Singa Afrika” khusus dikirim untuk melumpuhkan kekuatan Raja Angkasah dan pejuang lain. Sebelumnya, Kapten Paris pernah memimpin pasukan Belanda di Afrika Selatan dan terkenal dengan ketangguhannya bermain pedang.



Diutusnya Kapten Paris ke Bakongan, tak membuat Raja Angkasah gentar dan takut. Untuk membuktikan kehebatan Kapten Paris, Raja Angkasah menantangnya satu lawan satu. Ajakan itu, tentu diterima Kapten Paris dengan senang hati. Sebaliknya, Kapten Paris, juga ingin membuktikan kehebatan Teuku Raja Angkasah.


Tanding pedang Teuku Raja Angkasah versus Kapten Paris pun berlangsung alot. Singa Afrika tersebut kewalahan menghadapi kelincahan Raja Angkasah dalam memainkan pedang. Hingga akhirnya, Kapten Paris terluka parah. Namun, Teuku Raja Angkasah tidak langsung membunuhnya.


Kapten Paris diberi kesempatan untuk memulihkan diri sampai sembuh. Dan setelah itu ditantang lagi untuk bertanding pedang. Namun, adu pedang yang kedua ini tidak dilakukan, karena Marsose Belanda mempunyai strategi lain.


Marsose Belanda, yang licik dan mahir tipu muslihat, menjebak Teuku Raja Angkasah beserta tiga panglimanya. Pengepungan di Buket Gadeng itu, melibatkan puluhan marsose Belanda dengan senjata lengkap. Diawali dengan adanya seorang pengkhianat yang mengantarkan makanan.


Kemudian pengkhianat ini dari belakang diikuti oleh Pasukan Marsose Belanda, saat Teuku Raja Angkasah bersama Panglimanya menyantap makanan yang diduga telah diracun untuk melemahkan badan, Pasukan Marsose Belanda melakukan penyergapan. Marsose Belanda dengan jumlah lebih banyak - puluhan orang - dan bersenjata lengkap menyerbu posisi kemah Teuku Raja Angkasah bersama 3 orang Panglimanya.


Marsose Belanda, yang licik dan mahir tipu muslihat, menjebak Teuku Raja Angkasah beserta tiga panglimanya. Pengepungan di Buket Gadeng itu, melibatkan puluhan marsose Belanda dengan senjata lengkap. Tembakan dilepaskan secara bertubi-tubi, mengenai tubuh Raja Angkasa dan tiga panglimanya.


Dalam kondisi terdesak ini Teuku Raja Angkasah sempat menggunakan karabinnya (senapang tua). Karena terus ditembakan karabin itu menjadi sangat panas, kemudian Teuku Raja Angkasah membuka sorbannya untuk membalut karabin yang panas tersebut sambil mulutnya mengeluarkan sumpah serapah kepada Marsose Belanda.


Sebetulnya beberapa peluru telah mengenai badan Teuku Raja Angkasah namun beliau masih bertahan. Saat dalam keadaan terdesak tersebut beliau masih terus melakukan perlawanan. Namun kemudian peluru habis dan beliau kemudian berteriak memaki Pasukan Marsose Belanda sambil mencoba menggunakan pedangnya untuk menyerbu Marsose Belanda sambil mencoba menggunakan pedangnya untuk menyerbu Marsose.



Pada saat inilah seorang penembak jitu dari Pasukan Marsose Belanda berhasil menembakan satu peluru menembus ke mulut beliau sehingga ajal pun menjemputnya. Dia syahid bersama tiga panglimanya. Salah satu panglimanya hanyut terbawa arus sungai saat marsose Belanda membombardir tempat persembunyian Teuku Raja Angkasah dan panglimanya.


Setelah syahid, pihak Belanda ingin memenggal kepala Teuku Raja Angkasah dan dibawa ke Kuta Raja. Kepala Teuku Raja Angkasah, akan diperlihatkan kepada Pejabat Tinggi Kolonial Belanda, sebagai bukti Raja Angkasah telah dilumpuhkan.


Namun, Raja Bakongan, yang saat itu dijabat pamannya (dalam bahasa Aceh Ayahcut—red) berhasil mencegah. Akhirnya Teuku Raja Angkasah dan panglimanya dimakamkan di Buket Gadeng.


Perang Bakongan yang dipimpin Teuku Raja Angkasah, membuktikan bahwa perang di Aceh tidak pernah berakhir, meskipun Sultan Aceh telah tertangkap Belanda pada tahun 1904. Setelah tahun 1904 masih banyak terjadi perang melawan Belanda di Aceh. Salah satunya adalah perang di Bakongan yang membuat Teuku Raja Angkasah syahid bersama tiga panglimanya. Jadi, sesungguhnya, Belanda tidak pernah menguasai Aceh, namun yang terjadi, perang terus menerus antara Aceh dengan Belanda. Mengenai tahun dan wafatnya Teuku Angkasah, ada beberapa pendapat. Sebagian mengatakan 25 Oktober 1925, lainnya 25 Oktober 1928. Begitulah catatan sejarahnya.

SEKELIBAT KISAH NEGERI SEUNAGAN (KERAJAAN SEUNAGAN)



 Orang yang pertama menjadi Raja di Seunagan adalah Meurah Djereunang, anak dari Meurah Mesir, cucu dari Meurah Ishak, piut dari Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah yang datang dari Meureudu. Monyangnya adalah Meurah Syahrial Salman. Meurah Djereunang (Meurah Sulaiman), dialah yang disebut dengan Teuku Meurah Seudang Geut, di antar oleh gajah ke hulu sungai Seunagan dari Lingga melalui gunung yang dinamakan Gunung Seunagan (Gunung Sedang Geut).
gambar .1 silsilah raja raja seunagan


Beliau beristirahat bersama adiknya, Cut Meurah Puteh sambil makan dan menjemur emas urai didalam kulit kambing, emas itu adalah pemberian Pari waktu mereka sampai di Paya Laloe, secara kebetulan ketika adiknya sedang makan, ada orang yang melihat dan segera mengabarkan kepada Teuku Dikulu yang Ianya lebih dulu datang ke negeri tersebut untuk menangkap emping beusoe, yang ingkar dan tidak bersedia membayar pajak kepada Sultan.

Teuku Dikulu mengirim utusannya agar kedua bersaudara dapat datang ke tempat kediamannya. Setelah makan ikan panggang yang gagang di tancap ke tanah, maka ikan panggang itu tumbuh hingga sekarang di sebut kayu panggang Teuku Seunagan (berada di punggung Gunung Seunagan). Meurah Djereunang kawin dengan anak gadis Teuku Dikulu yang bernama Cut Bungong.

Dialah raja yang Pertama memerintah negeri tersebut. Pengangkatannya dilakukan oleh Sultan Ahmad, setelah Sultan Djamalul’Alam di makzulkan.

Meurah Djereunang (Meurah Sulaiman) atau Teuku Sedang Geut wajahnya gagah menawan, maka berdo’alah orang waktu mereka kawin agar negeri Sedang Geut semua hingga sekarang tidak ada yang kaya berlebihan dan tidak ada pula yang miskin, semua berkecukupan dan tidak ada yang mengemis.

Negeri-negeri tersebut dinamakan Nanggroe Meutuah, raja adil dan pemurah, serta rakyatnya patuh dan tidak banyak tingkah, saudara Meurah Djereunang bernama Cut Meurah Puteh Ghaib, menurut cerita ianya hilang waktu badai melanda rumahnya. Orang-orang pernah bermimpi bertemu Cut Meurah Puteh yang cantik jelita.

Anak cucu Meurah Djereunang yang memimpin negeri adalah:

Teuku Meurah Maga
Teuku Meurah Tahat
Teuku Keujreun Meurah Peuseuwien
Teuku Keujreun Meurah Cut Andi
Teuku Keujreun Meurah Cinde
Teuku Keujreun Meurah Cut Banta
Teuku Keujreun Meurah Sabil
Teuku Keujreun Meurah Puteh
Teuku Keujreun Meurah Johan Syah
Teuku Keujreun Meurah Ben Abbaih, yang terakhir.

Kaum perempuan yang pernah memimpin negeri Seunagan, yaitu:

Cut Awan, memerintah sementara untuk mendampingi keponakannya Teuku Keujreun Cut Banta, disebut juga Teuku Ben, yang masih kecil belum dewasa.
Cut Nagan, atau disebut juga Cut Pudoe, sebelum sepupunya Teuku Meurah Puteh dewasa.

Teuku Keujreun Meurah Usman pernah memegang tampuk pemerintahan, sementara keponakannya Teuku Keujreun Meurah Abbaih belum dewasa. Ada lima belas keturunan mereka yang menjadi pemimpin Negeri Seunagan.

Adapun raja-raja di Seunagan dibolehkan memakai kulah kama yang terbuat dari emas, menyerupai tempurung berukir mamakai puncak dan juga Are Nukat di Seunagan lebih besar dari Are (bambu) di negeri lain di aceh. Juga kue Kekarah (Juada) di Seunagan lebih besar dari tempat lain dan begitu pula dengan akat kampaknya, mereka telah meninggalkan hasil karya bagi anak cucunya, yang sekarang dipergunakan dan dinikmati hasilnya.

Deumikian Cut Meurah Nilawati penyusun adat istiadat Aceh negeri Seunagan tanggal 5 Okteber 1993.

Jeuram, 03 Juni 2013

Di kutip kembali oleh,

T. FIRSAL T. RAJA ANSARI

Pewaris/cucu kandung dari Teuku Ben Seunagan (Raja Terakhir Seunagan)