Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Senin, 30 Desember 2013

Pertempuran mempertahankan Kuta Po Diamat (Kuta Po Diamat) tanggal 24-26 Juli 1889

Sebuah monumen di Peucut. Sebagai penanda kuburan massal tentara Belanda yang tewas di benteng Pohama
Sejak agresi kedua Belanda atas Kesultanan Aceh pada tahun 1874 hingga 1884 kedudukan Belanda di Aceh tertahan dalam wilayah terbatas yang membentang sepanjang garis pantai Alue Naga hingga Meuraksa. Tahun 1883 Belanda membangun lini konsentrasi guna mempertahankan kedudukan mereka. Lini konsentrasi ini melingkari kota dimulai dari pantai Alue Naga di bekas benteng Aceh Kuta Podiamat yang disebut Belanda dengan nama Kuta Pohama.  Terkungkung dalam lini tersebut membuat pihak Belanda sedikit aman dari serangan berat pasukan Aceh yang menyebar diluar garis pertahanan mereka. 

De Ryckholt dan Kekalahan Belanda di Bitay


A. P. A. A. F.  baron de Bounam de Ryckholt

Perang Aceh (1873-1914) adalah perang kolonial Kerajaan Belanda terpanjang dalam sejarah penjajahan mereka atas bangsa lain. Perang itu ditandai dengan pengiriman puluhan ribu tentara melalui Selat Malaka guna menaklukan Kesultanan Aceh di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Perang itu memakan korban tak sedikit dari kedua belah pihak. Penyerang dan yang diserang meninggalkan ratusan ribu korban prajurit, perwira, jenderal, orang rantai dan rakyat sipil Aceh. Tercatat bahwa perang itu telah memakan korban seorang putra Belanda bernama Alfridus Philippus Arcadus Adrianus Ferdinandus baron de Bounam de Ryckholt. Keluarga de Ryckholt adalah salah satu keluarga cukup terpandang terpandang dinegeri Belanda. 

Bounam de Ryckholt adalah seorang perwira berpangkat Letnan, ia ditugaskan ke Aceh dibawah unit batalyon infanteri ketiga Belanda dalam ekspedisi kedua.  Ketika ekspedisi pertama tahun 1873 yang berakhir dengan kematian jenderal JHR Kohler, de Ryckholt ikut tampil. Agresi Belanda yang gagal itu telah meninggalkan kesan buruk dalam batalyon infanteri ketiga, dari 26 orang perwira batalyon ketiga hanya tujuh orang saja yang selamat termasuk Letnan Bounam de Ryckholt.  Dalam surat buat keluarganya yang dikirim setelah pasukan tiba di Batavia, ia menyampaikan rasa syukur bahwa ia selamat dalam serangan yang gagal total tersebut.

Amad Leupon

Suasana tangsi militer Belanda di pinggir Krueng Keureutoe Lhoksukon

Pada tahun 1933 Schmid seorang kapten KNIL meninggalkan rumahnya di Lhoksukon. Kapten ini seorang yang berwajah tenang dan dengan tenang ia melewati orang-orang Aceh yang dengan ramah pula menyambutnya. Tidak ada yang menyangka, tidak juga si Kapten bahwa sejurus kemudian seseorang diantara orang-orang Aceh yang berkumpul itu akan segera menusuknya dengan  sebilah rencong. Amad Leupon sang pembunuh yang pejuang Aceh itu dengan segera pula ditebas dengan kelewang oleh tentara KNIL lain yang berada ditempat tersebut. Schmid mati pembunuhnya juga mati, darah keduanya membasahi bumi Pase. 

Pembunuhan Kapten Schmid

Kapten CE Schmid seorang tentara Belanda terbunuh di depan mata istrinya oleh seorang Aceh fanatik Agama di Lhoksukon, Aceh. Pembunuhan itu telah membuat kengerian meliputi seisi kabupaten.
Rincian lebih lanjut keadaan sekitar pembunuhan telah diterima dalam pengiriman. Kejahatan itu rupanya hati-hati direncanakan . Selama berhari-hari pembunuh mondar-mandir di sekitar barak untuk memperoleh informasi.

Suatu hari ia mendekati Kapten Schmid, membungkuk rendah hati, tapi mencengkeram sebilah pisau besar yang telah ia sembunyikan di bawah pakaiannya, lalu tiba-tiba ia melompat pada korban dan menusuk dan mengiris dirinya.

Perwira Schmid berteriak untuk meminta bantuan. Dia terluka parah tetapi masih mampu bergulat dengan berani melawan penyerang dalam hiruk pikuk nya. Para penjaga segera berlari membantunya (Schmid), dan seorang penjaga telah menjatuhkan orang Aceh itu dengan kelewang mereka, dan membunuhnya. Korbannya segera dilarikan ke rumah sakit .

Kematian penghargaan kami

"Ini adalah penghargaan kami di negara ini" Kapten Schmid bergumam tak lama sebelum ia meninggal. Dengan lemah ia beralih kepada tentara berduka yang berdiri di samping ranjangnya, ia menambahkan: " Jadilah selalu waspada Jangan pernah percaya orang Aceh" Lalu ia menyanyikan beberapa bait Manise, lagu tentara KNIL ketika sedang dalam cobaan dan kesulitan.

Diluar sana sang pelaku pembunuhan itu telah dipenggal oleh para penjaga yang menyelamatkan Kapten Schmid. Beberapa orang Aceh lainnya kemudian berusaha untuk minum darah si pembunuh, mereka percaya bahwa ia telah menjadi seorang suci yang telah membunuh seorang kafir. Demikian beringasnya mereka sehingga harus dengan susah payah dilepaskan oleh tentara KNIL.

Kemudian hari ditemukan bahwa kuburan pembunuh telah ditutupi dengan karangan bunga.


Artikel asli: The Straits Times, 6 August 1933, Hal 10