Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Kamis, 18 Desember 2014

INISIATOR PEMBENTUK LEMBAGA WALI NANGGRO


Sulthan Muhammad Daud Syah saat itu masih berusia 11 tahun diangkat menjadi raja. Karena sulthan masih muda maka dibentuklah lembaga wali nanggroë.
Pembentukan itu dilakukan pada 25 Januari 1874 melalui musyawarah Majelis Tuha peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad Raja Keumala, Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala dan Teungku Tjik Di Tanph Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha peut itu menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut.
Tiga hari kemudian pada 28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh diangkatlah Al Malik Al Mukarrah Tfk Tjik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroë Aceh yang pertama.
Di tempat upacara penobatan itu pula, Teuku Umar diangkat sebagai amirulbahri atau panglima laut untuk wilayah Aceh Barat dan Tuanku Mahmud Bangta Kecil, adik Tuanku Hasyim Bangta Muda, sebagai Wakil Sultan.adifa Pada kesempatan itu, Sultan berseru kepada para uleebalang agar meneruskan dan menggiatkan pengumpulan harta benda untuk keperluan perang sabil.Teungku Chik Di Tiro yang dipercaya oleh Sultan Muhammad Daud Syah untuk memimpin perlawanan
Pada tanggal 6 September 1903, bersama Tuanku Raja Keumala dan 150 orang pengikutnya, Teuku Panglima Polem berdamai dengan Belanda. Pada tanggal 6 September 1903 di Lhokseumawe, nota perdamaian ditanda tangani dihadapan Kapten Colijn.ketika TR keumala dan panglima polem menyerah,kepemimpinan kesultanan aceh dipegang oleh wali negera secara turun temurun dari keluarga tgk chik Ditiro sampai kepada wali negara terakhir TGk chik maat ditiro(dari berbagai sumber)foto TR keumala)

KETIKA SULTAN DIPAKSA MENYERAH




Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambar Gadeng binti Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (6) disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1875-1939) menyerah diri kepada Belanda. Akhirnya Sultan setelah bermusyawarah dengan penasihatnya datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz dan menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Saat itu, Sultan menjadi tahanan kota dimana dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di Aceh Besar. Bahkan dibuatkan rumah tinggal, lengkap dengan perabotan dan menerima gaji bulanan sebesar 1.200 florin. Adapun anaknya mendapat biaya belajar dari Pemerintah Belanda. Semua fasilitas dan gaji yang diberikan dimaksudkan agar Sultan Muhammad Daud Syah membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun usaha tersebut ternyata hanya sia-sia.
Dari hasil penyelidikan intelijen Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907 ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Radja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T. Ibrahim Alfian, 1999 : 141).
Pengaruhnya yang masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Militer Aceh Letnan Jenderal Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas (ke Ambon, Bandung, dan terakhir – Admin) ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog). (M. Adli Abdullah)(foto sultan Toeankoe Mohammed Daud, didampingi Mayor K. van der Maaten penyerahan kepada Pemerintah Belanda pada tahun 1903.)

Jumat, 05 Desember 2014

4 DESEMBER LANJUTAN PERJUANG PERANG KEMERDEKAAN ACEH


4 Desember,Itu lah hari setelah Belanda menembak dan membunuh kepala negara Aceh sumatra yang terakhir,tgk Chik maat ditiro dan sebuah pertempuran sengit di alue bhot.Tangse 3 desember 1911.karena itulah belanda menganggap 4 desember 1911 sebagai hari berakhirnya kedaulatan negara aceh dan sebagai hari kemenangan terakhir Belanda atas kerajaan aceh sumatra.sebagaimana yg ditgas kan oleh Kolonel J schimidt,Komandan perang belanda dalam pertempuran alue bhot.
akan tetapi semua ini tdk benar,,,negara aceh tak pernah menyerah kepada Belanda baik secara de jure atau de facto.pemerintah aceh tdk pernah menanda tangani pasal pasal persetujuan penyerahan atau perdamain dengan Belanda.perjuangan tetapberlanjut,bendera aceh tetap berkibar setengah tiang untuk menghormati kenangan kepahlawanan Kepala negara aceh yang masih muda. TGK CHIK MAAT DITIRO yang gugur dalam mempertahan kan tanah airnya,pada umur yang masih sangat muda,16 tahun.
setelah TGK chik mayeddin ditiro dan istrinya Pocut putro Gambang wafat dan TGK Chik dibuket ditiro syahid di tangse pada tahun1910,dan setelah TGK maat ditiro syahid pada tgl 3 desember 1911.perlawanan rakyat aceh terhadap belanda berlanjut tanpa komando.
Sebelum sultan menyerah pada tahun 1903.sultan muhammad daudsyah telah mendelegasikan kepemimpinan negara aceh kepada Dewan konsersium kerajaan yang terdiri dari;
1. teuku panglima polim sri muda perkasa Muhammad daud.
2.Teuku raja Keumala.
3.Teungku chik Ditiro mahyeddin dan teungku dibuket(tgk muhammad ali zainal abidin sebagai mudabbirul mulki(kepala negara).adifa

Kemudian jabatan mudabbirul mulki ini jatuh ketangan teungku Chik maat ditiro,ketika panglima polem dan raja keumala menyerah pada tahun 1903.kepemimpinan secara praktis jatuh kepada Tgk mahyeddin dan teungku dibuket,dan ketika ulama ini syahid,kepemimpinan di ambil alih oleh Tgk Maat ditiro.pemuda berusia 16 tahun keturunan dari TGK chik ditiro.SELAMAT MILAD PERJUANGAN KEMERDEKAAN YG KE 38.hari ini bertepatan dengan hari wafat nya pahlawan Tgk maat ditiro. alfatihah untuk beliau.
'uronyo geutanyo angkatan aceh mardeka yang po tanggong jaweub,peuselamat pusaka iskandar mudanyo.uronyo,jeumnyo.gatakeuh yang po nibak ateuh pusaka nibak sultan iskandar muda,beutatupu yum,beutapham makna nibak pusaka rajanyo,(pidato HT pada hari peringatan 350 thn wafat nya iskandar muda)

IDEOLOGI TAK PERNAH MATI.


Mariyah seorang perempuan dari Nisam diaceh utara yang tdk tamat madrasha aliyah,menuliskan impian nya tentang masa depan aceh, pada tanggal 5 agustus 2003 yang lalu kepada penduduk jakarta .mengikuti metode ideologi yang diwariskan oleh hasan tiro.
" Lalu aku belajar tentang sejarah masa lalu aceh yang mardeka bersama dengan perempuan dari desa lain.Kami mulai merajut mimpi,andai kami nanti merasakan kemardekaan yang sebenar nya.rakyat aceh akan mengantur hidupnya sendiri dalam sebuah negara kecil,rakyat lebih cepat sejahtra dari hasil bumi yang ada,keadilan ditegakkan,satu orang mati dikampung"presiden" kami prihatin,dan polisi kami mengusut nya dengan sungguh sungguh".
Reflexi perasaan itu di pertontonkan kepada kita bahwa ideologi itu tdk pernah mati. sebagai mana gagasan ideologi yg disemaikan oleh Hasan tiro mulai tumbuh dan berkecambah sampai ke pelosok desa yg terpencil sekalipun diaceh,namun para pejuang ideologi tersebut sekarang sdh mulai luntur ketika mareka sudah mendapatkan kekuasan yang dulu mareka perjuangkan.berbeda dengan rakyat yg masih memimpikan sebuah kebebasan untuk menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat,sebagai mana kerajaan aceh zaman dahulu yg gilang gemilang meucuhu ban sigom donya.ideologi ini tidak pernah mati dalam sanubari rakyat acehkarena UUD45 RI mengatakan bahwa penjajahn di atas dunia harus dimusnahkan.
Setiap bangsa berhak menentukan nasib nya sendiri.hari kemederkaan yg mareka peringatai setiap tahun nya pada tanggal 4 desember seperti nya sudah hambar dan tak bermakna,dulu mareka dengan ancaman dan pemaksaan kepada penduduk untuk mengibarkan bendera itu sebagai sebuah lambang kemerdekaan,sekarang mareka sendiri yang melarang dengan seruan2 yang selalu di ulang ulang,makna sebuah indentitas diri lenyap bersama nikmatnya kursi kekuasaan.bagi rakyat yg masih memiliki ideologi itu bendera adalah darah,the flag is blood,kata teman sayaadifa.SELAMAT MILAD YG KE 38,semoga perjuangan masih berlanjut dan damai selalu dalam bingkai NKRI,karena kita tdk lagi berjuang untuk kemardekaan teritory.mimpi untuk itu sdh kami hilangkan kan semenjak kursi kami dapat masih sangat empuk.

Rabu, 26 November 2014

De Ryckholt dan Kekalahan Belanda di Bitay

A. P. A. A. F. Baron de Bounam de Ryckholt
Perang Aceh (1873-1914) adalah perang kolonial Kerajaan Belanda terpanjang dalam sejarah penjajahan mereka atas bangsa lain. Perang itu ditandai dengan pengiriman puluhan ribu tentara melalui Selat Malaka guna menaklukan Kesultanan Aceh di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Perang itu memakan korban tak sedikit dari kedua belah pihak. Penyerang dan yang diserang meninggalkan ratusan ribu korban prajurit, perwira, jenderal, orang rantai dan rakyat sipil Aceh. Tercatat bahwa perang itu telah memakan korban seorang putra Belanda bernama Alfridus Philippus Arcadus Adrianus Ferdinandus baron de Bounam de Ryckholt. Keluarga de Ryckholt adalah salah satu keluarga cukup terpandang terpandang dinegeri Belanda.
Bounam de Ryckholt adalah seorang perwira berpangkat Letnan, ia ditugaskan ke Aceh dibawah unit batalyon infanteri ketiga Belanda dalam ekspedisi kedua. Ketika ekspedisi pertama tahun 1873 yang berakhir dengan kematian jenderal JHR Kohler, de Ryckholt ikut tampil. Agresi Belanda yang gagal itu telah meninggalkan kesan buruk dalam batalyon infanteri ketiga, dari 26 orang perwira batalyon ketiga hanya tujuh orang saja yang selamat termasuk Letnan Bounam de Ryckholt. Dalam surat buat keluarganya yang dikirim setelah pasukan tiba di Batavia, ia menyampaikan rasa syukur bahwa ia selamat dalam serangan yang gagal total tersebut.
Tanggal 12 Februari 1874 batalyon infanteri dimana Bounam de Ryckholt bertugas melakukan serangan terhadap pertahanan pejuang Aceh di Gampong Bitay. Serangan pada hari itu atas permintaan sekutu Belanda, Teuku Nek Ulee Balang Meuraksa. Serangan itu dilakukan sebagai bagian penaklukan total keraton Aceh dari tangan pejuang Aceh. Sepanjang ekspedisi penaklukan keraton pihak Belanda selalu dibayang-bayangi oleh serangan brutal para pejuang yang bermarkas di Bitay. Selain membahayakan gerakan Belanda, pertahanan pejuang Aceh di Bitay juga mengancam posisi Teuku Nek Meuraksa yang berpihak pada Belanda.
Awalnya Belanda tanpa kesulitan berarti telah mampu menguasai Bitay dan menyerahkan wilayah pertahanan itu ketangan pengikut Teuku Nek. Menjelang malam di Bitay, Pasukan Belanda kembali ke benteng Peunayong. Namun ketika para tentara itu sedang dalam perjalanan menuju Peunayong, pasukan Aceh kembali menyerang Bitay dari berbagai penjuru. Mereka berhasil mengusir pengikut Teuku Nek pada malam itu juga bahkan sebelum tentara Belanda tiba di Peunayong.
Mengetahui pasukan Aceh telah kembali ke Bitay, batalyon infanteri ketiga kembali diperintahkan menyerang Bitay. Namun kali ini tak semudah kali pertama ia mengambil alih Bitay. Malam hari sekitar pukul tujuh malam pasukan itu telah berada di sekitar Keutapang, didekat sebuah kedai nasi di Bitay pasukan tersebut dihadang oleh sekitar 800 orang pejuang Aceh yang menyerang dengan segala jenis senjata. Satu tembakan senjata berat dari meriam pejuang Aceh menghantam de Ryckholt dan Letnan Kolonel Engel.
Peluru meriam itu meledak begitu dekatnya dengan kedudukan de Ryckholt sehingga ia terluka parah karenanya. Melihat rekan dan pemimpin mereka telah jatuh, pasukan Belanda semakin kalang kabut dan memilih mundur dari Bitay. Pasukan itu kini mundur ke Peunayong dengan dikejar oleh pejuang Aceh dibelakangnya. Selain beberapa perwira yang terluka ringan dan parah, dalam pertempuran itu jatuh korban dipihak Belanda sebanyak 56 tentara yang terluka parah sementara 6 orang lainnya ditewaskan oleh pejuang Aceh.
Sesaat tiba di Peunayong Bounam de Ryckholt tewas akibat lukanya di benteng Peunayong tak lama setelahnya menyusul Letnan Kolonel Engel dan beberapa prajurit lain. De Ryckholt dan korban lainnya dikuburkan didalam benteng Peunayong keesokan harinya, kelak ia dipindahkan ke Peucut dan berkubur disana hingga kini. Janda beserta anaknya yang selama ia bertugas tinggal di Batavia akhirnya kembali ke negeri Belanda pada tahun 1875.
Sumber: Wikipedia Netherland

Minggu, 23 November 2014

Jepang Datang ke ACEH Karena "Geupeulet Bui Ngon Asee"

Tentara Jepang melintasi Mesjid Raya
Pengurus Besar PUSA mengirim dua orang utusannya ke Singapoera menjemput Bala Tentara Jepang datang ke Aceh yaitu: pertama Sayeed Aboe Bakar dari Aceh Besar; kedua Tgk.Abdoel Hamid (Ajah Hamid) di Aceh Utara. Kedua orang utusan PUSA diterima baik oleh Jepang, sambil bertanya dimana jalan mendarat ke Aceh.Oleh kedua utusan PUSA menunjukkan jalan mendarat ke Aceh, yaitu: pertama di Koeala Boegak Peureulak; Kedua di Ujong Raya (Oelee Kareueng) Tambu; dan ketiga  di Krung Raya, Aceh Besar.
Panglima Tentara Jepang menganjurkan kepada kedua utusan POESA itu bahwa ketika menyambut kedatangan Bala Tentara Jepang, oleh orang Aceh harus memasang letter F diatas kain merah disematkan pada lengan baju sebelah kiri. Ali Hasjmy menamakan letter F itu dengan “Fadjar”.
 Dengan sebab Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 13 Maret 1942, Belanda yang berada di Aceh patah semangatnya. Assistent Resident di Sigli dan Controleur di Seulimum di bunuh oleh rakyat di masing-masing tempat itu. Dipersipangan jalan dari Beureunoen ke Lam Meulo terjadi pertempuran Belanda dengan Jepang. Belanda lari terbirit-birit. Bagi orang Aceh, ide memasukkan Jepang untuk mengusir Belanda adalah ide orisinal dan berakar dalam paradigma kultural cara berpikir orang-orang Aceh: Geupeulet bui ngon asee (mengusir babi dengan menggunakan anjing)
POESA menjemput Jepang datang ke Aceh untuk mengusir Belanda yang disangka sangat kejam, tetapi kenyataannya Jepang lebih kejam lagi dari Belanda. Karena Jepang sudah berkuasa di Aceh, susunan pemerintahan berubah menurut yang ditetapkan oleh Jepang sendiri. Landschape di masaBelanda diubah menjadi sun, kepala pemerintahan disebut suncho Untuk menguatkan pertahanannya Jepang membuat dua buah lapangan terbang: (1) di Blang Peutek Gaki Seulawah; (2) di Tamboe Aceh Utara. Untuk mengerjakan lapangan terbang itu Jepang memakai tenaga rakyat Aceh, sedang Belanda ketika membuat membuat Jalan Kereta Api dan Jalan Raja (B.O.W.) dipakai tenaga Tionghua, tidak berani Belanda memakai tenaga rakyat Aceh, karena rakyat Aceh bermusuhan dengan Belanda
Pemuda membentuk suatu jaringan rahasia, Gerakan “F” Kikan, yang berbasis pada organisasi POESA (Persatuan Oelama Seluruh Atjeh). Di Aceh terkenal adanya adagium yang menyebutkan: “Yang Peutamong Beulanda Panglima Tibang, Yang Peutamong Jepang Pemuda Poesa.” Pada tanggal 11 Januari 1942, berdiri Himpunan Anak Sumatra di Kuala Lumpur di bawah pimpinan Said Abu Bakar. Ia menyebut dirinya sebagai utusan atau delegasi dari Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (POESA). Jenderal Fujiwara Iwaichi, Komandan Barisan F, menulis dalam bukunya Fujiwara Kikan, Japanese Army Intelegence Operations In South East Asia During World War Ii: “Dengan menduduki bagian pusat Malaya, sebagian dari Selat Malaka berada di bawah pengawasan Jepang.
Tokoh PUSA dan Jepang
 Latihan para pemuda Sumatera di bawah pimpinan Said Abu Bakar telah rampung dan semangat mereka meninggi. Anak muda itu semua berusia 40 tahun dan Usman Basyah 18 tahun. Mereka memandang Masubuchi dan Letnan Makayima dengan rasa kagum dan hormat terhadap kebaikan dan ketulusan keduanya,seolah-olah kedua orang itu ayah dan abang mereka.
Dari Aceh diputuskan mengirim Ahmad Abdullah dan Teuku Zainal Abidin Samalanga dengan tugas menghubungi Said Abu Bakar di Medan. Teuku Zainal Abidin inilah yang sesungguhnya berkeinginan kuat mengusir Belanda dengan memasukkan Jepang sebagai kekuatan eksternal bagi Aceh. Maka, bukan hanya “pemuda Pusa” saja yang berperan dalam masuknya Jepang ke Aceh. Said Abu Bakar, secara rahasia, menceritakan kepada Teuku Zainal Abidin bahwa ia bersama sejumlah teman diutus oleh Fujiwara (kepala Intelijen Jepang) untuk mendirikan gerakan perlawanan terhadap tentara Belanda melalui pendaratan bala tentara Jepang Said Abu Bakar bersama teman-teman lainnya akhirnya melanjutkan perjalanan ke Aceh menemui Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah tokoh kharismatik Aceh, yang mendirikan POESA, memberikan dorongan semangat bagi para pemuda untuk mewujudkan niatnya. Namun, tanpa disadari, ternyata ajaran Tenno Heika telah merasuki aqidah mereka Rombongan pertama diikuti rombongan berikutnya yang berangkat dari Malaya, pada tanggal 25 Januari 1942 dan mendarat di Pelabuhan Teluk Nibung, dipimpin oleh Nyak Neh. Sebelum berangkat, Nyak Neh berseru dengan penuh semangat: “Tenno Heika Banzai”
Seluruh utusan dari Aceh yang berjumlah 20 orang naik kapal perang Jepang bersama Pasukan Pengawal Kekaisaran di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sawamura. Pasukan Pengawal itu sendiri berjumlah tak kurang dari 20.000 orang. Di antara utusan dari Aceh tampak Teuku Ali Basyah, uleebalang Langsa dan Masabuchi. (foto; @ tokoh pusa dan petinggi Jepang @tentara Jepang di Masjid Raya. foto sumber buku Syamaun Gaharu

KUBURAN MASSAL BELANDA KORBAN TEUKU NAGO


KuburanMassal Beulanda di Kroeng Batee
Kuburan bersama anggota-anggota brigade dari Singkel dibawah pimpinan sersan Gruneveld yang disergap pada tanggal 1 Maret 1926 oleh anggota-anggota pasukan Teuku Nagó di
Krueng Batèe dekat Gunong Kaphö, Aceh Selatan. Dalampertempuran itu pihak Belanda menderita kerugian: tewas 9orang marsose termasuk sersan Gruneveld sendiri dan 2 oranghukuman, luka-luka 7 orang; 16 pucuk karaben serta sejumlahpeluru direbut.
Pada pihak pejuang Aceh: 2 orang gugur dan 4 orang luka luki.

Sementara di pertempuran lainnya Letnan W.A.M. Molenaar. Tewas dalam adu tembak dengan pasukan Teuku Nagö juga di Kampung Teureubangan, Bakôngan,yang berlangsung pada tanggal 10/11 Agustus 1926. Kerugian pada pihak Belanda: 1 letnan tewas (Molenaar sendiri), 3 orang marsose dan 1 orang hukuman luka-luka; pada pihak Aceh 3
orang gugur. Sebelumnya, pada tanggal 10 November 1925, Molenar menembak mati Teuku Angkasah dekat Bukét Gade'ng, Bakôngan. Sehari setelah menembak Teuku Angkasa,dia pun tewas dalam aksi Teuku Nago anak buah Teuku Raja Angkasa. hutang nyawa terbalas sudah. (Massagraf Nl Di Kr Bate)

Jumat, 21 November 2014

Seulawah, Modal Indonesia Yang di Lupakan

Seulawah, RI 001, Modal Indonesia
PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.

Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.
Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh--Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo--dalam format provinsi.

Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat--alasan klasik, karena karismanya--di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.
Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel--sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan angker, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh preman gampong sekitar.
Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik--usai shalat dua rakaat--juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan sayap-sayap Seulawah NAD untuk mengepak kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena sayap Seulawah patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.
Maskapai Garuda Indonesia saat ini

Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh--Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh--yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama, kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.
Dan ternyata proyek Seulawah RI-001--cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang--itu cuma satu yang dapat terbeli. Satu unit lagi entah di mana rimbanya, gugat Abu Mansoer agak sesal, pada cucunya itu.
Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.
Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan--maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.

Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.
Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh.
Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu. Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu.
Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN kap igoe, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.
Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk--mengutip kata-kata Bung Karno--jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada kakakmu Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang melahirkanmu.

Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat replikanya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali;
Setelah Seulawah Aceh milik Pemda jatuh; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing--tanpa deviden (pembagian hak) apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena kepak-kepak sayap yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada burung besi; Garuda, turunlah!
* Muhammad Yakub Yahya, 
Direktur TPQ Plus Baiturrahman, Banda Aceh; serambinews

MASJID LUENG BATA, PUSAT KOMANDO PERANG VS BELANDA

Mesjid Imum Leung Bata
Masjid ini didirikan oleh Teuku Imum Lueng Bata Ia salah seorang kepercayaan Sultan Aceh yang berjuang sampai penghabisan.Ia memimpin Kemukiman Lueng Bata yang kala itu berstatus daerah bibeuh atau bebas. Walaupun Lueng Bata berkategori mukim dan dipimpin uleebalang bernama Teuku Raja, wilayah ini diperintah langsung oleh sultan. Biarpun berbeda dengan sagi XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim, kedudukan pimpinannya setara dengan panglima tiga sagi tersebut.
Kepahlawan Imum Lueng Bata sangat di takuti oleh Belanda. Sejarah mencatat pada 14 April 1873 Jendral Kohler tewas tertembus timah panah di bawah pohon glumpang di depan Masjid Baiturrahman. Kohler tewas karena ditembak salah satu sniper yang juga putar Teuku imum leung bata yang bernama teuku nyak raja imum leu batta .
Namun Teuku Nukman, cucu Imum Lueng Bata membantahnya. Menurut Nukman, sang kakeklah yang menembak Kohler. Jarak Kohler dengan Imum Lueng Bata sekitar 100 meter.
Ketika agresi Belanda kedua terhadap Kerajaan Aceh, Sultan, Panglima Polem, dan Teuku Baet menyingkir ke Lueng Bata. Selain menghindari bombardir dari Belanda, kala itu wabah kolera pun sedang berjangkit. Salah satu korban adalah Sultan Mahmud Syah. Ia mangkat pada 29 Januari di Pagar Air atau Pagar Aye, tak jauh dari Lueng Bata. Sultan Mahmud dimakamkan di Cot Bada, Samahani, Aceh Besar. Setelah itu, langsung digantikan posisi sementara sultan oleh Tuwanku Hasyim Bantamuda.

Tuwanku Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri pada 1878. Namun, Daud Syah dianggap belum cukup umur. Di masjid tuha Lueng Bata itulah, pelantikan Tuwanku Hasyim Bantamuda digelar.masjid ini pernah menjadi pusat komando dalam perang menghadapi belanda.

Jumat, 14 November 2014

TUANKU RAJA IBRAHIM BIN SULTAN ALAIDIN MUHAMMAD DAUDSYAH PUTRA MAHKOTA KERAJAAN ACEH


TUANKU RAJA IBRAHIM
BIN SULTAN ALAIDIN MUHAMMAD DAUDSYAH
Sultan ‘Alaidin Muhammad Daud Syah, tahun 1904 dibuang Belanda ke Jakarta. Sultan Muhammad Daud atau biasa juga disebut Tuanku Muhammad Daud, resminya diangkat sebagai calon raja oleh Majelis Kerajaan Aceh semasa kanak-kanak menggantikan pamannya Sultan Mahmud Syah yang meninggal tahun 1874. Majelis Kerajaan Aceh yang berkuasa menurunkan dan mengangkat raja Aceh itu terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem (sekaligus wali Tuanku Muhammad Daud) dan Teuku Panglima Polem.Majelis ini menyerahkan kekuasaan untuk memerintah dan memimpin Aceh melawan Belanda kepada Teuku Tjhik Di Tiro. Ketika Tuanku Muhammad Daud ditawan Belanda, dia memberikan kekuasaan itu kepada Teuku Tjhik Mahyeddin Di Tiro (putera terakhir Teuku Tjhik Di Tiro). Belanda menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teuku Maat Tjhik Di Tiro (cucu Teuku Tjhik Di Tiro tewas di medan laga.
Perihal Sultan Muhammad Daud sendiri, setelah berpindah-pindah tempat pembuangan (Jakarta, Bandung, Ambon),pada hari senin tanggal 6 february tahun 1939 meninggal di Jakarta, tanpa pernah kembali ke tanah kecintaannya. Raja terakhir ini punya seorang anak sulung, calon Putera Mahkota Kerajaan Aceh Raya, Tuanku Raja Ibrahim. Sebagai putera raja, kehidupan nya cukup beragam. Pernah misalnya berkunjung ke negeri Belanda , karena Ratu Wilhelmina menyatakan ingin berjumpa dengan sang Raja Muda.Dan Ratu memberinya pangkat Letnan. Tapi ini bukan berarti kompromi: menjelang Tuanku Ibrahim menginjak dewasa, dia sering ikut sang ayah bergerilya di hutan. Juga ketika sang ayah dibuang ke Jakarta, Tuanku Ibrahim turut serta.
Bermukim di Pisangan lama, Jatinegara, ayahnya sempat menikahi seorang dara Banten yang mempunyai nama panggilan Neng Effi. Dari wanita ini lahirlah lima orang adik tiri Tuanku Ibrahim. TWK IBRAHIM di tahun 1937 kembali ke Aceh walaupun sang ayah melarangnya. Sampai 1960, Tuanku Ibrahim menjabat Mantri Tani di Sigli. Biarpun putera raja, nyatanya kehidupan beliau tidaklah kaya. TWK RAJA IBRAHIM.menikah delapan kali, dan menetap di Lam Lho bekas Putera Mahkota kerajaan aceh ini hidup dalam keadaan sangat jauh dari gambaran hidup layak nya pangeran, Beliau meninggal di Banda Aceh tahun 1982 dan dimakamkan di Pekuburan Raja-raja Komplek Baperis, Banda Aceh.
TR IBRAHIM meninggalkan delapan orang istri dan16 orang anak,dari 16 orang anak tersebut sepuluh orang masih hidup dan enam orang lainnya sudah meninggal dunia(november 2013) ke enam belas putra tersebut adalah; .
1. Tengku Putro Safiatuddin Cahya Nur ALAM (beliau tinggal di mataram
2. Tengku Putro Darma Kasmi Cahya Nur Alam (Almarhum)
3. Tuanku Raja Zainal Abidin (Almarhum, dan dimakam kan di riweuk pidie)
4. Tengku Putro Rengganis Jaya Kusuma (Tinggal di Tangse Pidie) 
5. Tuanku Raja Kamaluddin (Almarhum, meninggal di Banda Aceh saat Tsunami 2004)
6. Tengku Putro Sariawan Ratna Keumala (Tinggal di banda aceh)
7. Tuanku Raja Mansyur (Almarhum)
8. Tuanku Raja Johan (Almarhum,dimakamkan di Cot Sukon Langga Pidie)
9. Tuanku Raja Iskandarsyah (Almarhum. dimakam kan di Riweuk Pidie disamping makam abang nya TR Zainal abidin)
10. Tengku Putro Sukmawati (Tinggal di Banda aceh)
11. Tuanku Raja Syamsuddin (Tinggal di Lhok Seumawe)
12. Tuanku Raja Muhammmad Daud (Tinggal di Lhok seumawe)
13. Tuanku Raja Yusuf (Tinggal di banda aceh)
14. Tuanku Raja Sulaiman (Tinggal di Kota Bakti Pidie)
15. Tengku Putro Gamba Gading (Tinggal di sabang)
16. Tuanku Raja Ishak Badruzzaman (Tinggal di kota bakti Pidie )

Sultanah Tengku Putro Safiatuddin cahya Nur Alam 
Sebagai anak pertama Tengku putro Safiatuddin cahya Nur Alam diangkat sebagai Sultanah mengantikan Ayahanda nya untuk memimpin keturunan dan ahli waris kesultanan aceh darussalam,beliau ditabalkan saat berumur 44 hari oleh kakek nya, dan di saksikan oleh rakyat dan ulama serta para ule balang. disaksikan pula oleh T. Umar Lhok Reu ( anak Tgk Ditiro.). Tgk Ujong Rimba, Teuku Raja keumangan, Tgk Ali, Tgk Umar Leungputu Dll, namun surat penabalan tersebut hilang ketika banjir melanda aceh saat itu. beliau sudah sepuh dan tinggal di mataram, tapi beliau di beri kekuasaan oleh Allah swt memiliki daya ingat yg sangat kuat. Beliau mengenal dan ingat semua keturunan-keturunan Ulee Balang besar Aceh beserta silsilah nya (Sumber; wawancara Adi Fa dengan TP Safiatuddin CA)

Rabu, 15 Oktober 2014

PERJUANGAN TEUNGKU RAJA SILANG ( T.ACHMAD SYAILANI) MELAWAN PENJAJAH BELANDA

Paduka Raja Silang
Awal sejarah Belanda ikut campur dalam urusan pemerintahan di Tamiang, dikarenakan terjadinya perpecahan atau perang saudara antara T. Achmad dengan T. Usman di Kerajaan Bendahara, hingga mengakibatkan tewasnya Raja Usman pada tahun 1864, istri & puteranya T Sulung lari ke Langkat meminta bantuan kepada Tengku Musa ( Pangeran Langkat ). Sejak kejadian tersebut, Belanda mulai berkuasa di Sumatera Timur ( disebabkan mulai terpecahnya kerajaan-kerajaan di Tamiang) dan adanya hubungan T Sulung Laut degan Langkat, maka Negeri Seruway yang selama ini menjadi bagian dari Kerajaan Bendahara ingin menjadi bagian dari kerajaan Langkat.
Langkat yang semula merupakan bagian dari Kerajaan Siak telah memutuskan diri dari kerajaan tersebut dan Belanda menetapkan Langkat menjadi sebuah kesultanan, maka Langkat di jadikan Belanda sebagai pintu gerbang agar dapat masuk dan mencampuri urusan pemerintahan di bumi Tamiang secara bertahap.
Peristiwa ini sungguh mengecewakan raja-raja di Tamiang, akan tetapi T. Sulung Laut tidak menyadari, sebenarnya dia telah di jadikan umpan oleh Sultan Langkat untuk kepentingan ekspansi kolonial Belanda. Hasil kesepakatan yang di lakukan semua raja Tamiang, memutuskan hubungan dengan T. Sulung. Raja-raja Tamiang juga menghubungi Teuku Itam yang pada masa itu menjadi wakil Sultan Aceh, agar dapat hadir dalam pertemuan di pulau Kampai guna membahas kapal-kapal perang Belanda yang dengan leluasa melalui perairan laut Tamiang dan teluk Haru serta menangkap kapal-kapal tongkang milik nelayan pribumi pada saat itu melakukan pelayaran perdagangan ke Malaka dan Penang ( malaysia ).
Tindakan belanda sudah sangat melampaui batas, melalui T. Sulung dan Sultan Langkat, Belanda dan raja-raja Tamiang mengadakan pertemuan di atas kapal perang Belanda. Dalam pertemuan tersebut di putuskan bahwa belanda tidak mencampuri urusan dalam negeri kerajaan – kerajaan yg ada di Tamiang, akan tetapi Belanda meminta kepada raja-raja Tamiang untuk untuk menyetujui beberapa kata sepakat antara lain :
1. Mengakui T. Sulung Laut sebagai Raja Seruway dan bergabung dengan Kesultanan Langkat dan         terpisah dari Kerajaan Bendahara.
2. Kerajaan Bendahara harus bertanggung jawab atas kematian T. Usman.
3. Raja-Raja Karang wajib membayar pajak kepada Belanda atas perdangan luar negeri (ekspor )
Kerjasama yang di tawarkan Belanda kepada raja- raja Tamiang di tolak dgn tegas oleh raja-raja Tamiang, maka pertemuan tersebut tidak mencapai kata sepakat, Raja Bendahara ( T. Achmad ) bersama Raja Muda Wakil dari Sungai Iyu tetap melakukan perniagaan dengan kerajaan tetanga ( Malaysia ) dan sering terjadi bentrokan dengan tentara patroli Belanda di perairan Tamiang. Untuk kedua kalinya pertemuan dengan raja- raja Tamiang di lakukan, kali ini pertemuan di adakan di pulau Kampai. Wakil dari Kerajaan Karang Raja Ben Raja, wakil dari Kejuruan Muda Raja Nyak Cut, hasil kesepakatan dari pertemuan tersebut adalah :
1. Raja Tamiang Hulu dan Raja Karang mengakui t sulung laut Bergelar Sultan Muda Indera Kesuma       II sebagai Raja Tamiang Hilir/ Seruway
2. Raja-raja Tamiang bekerjasama dengan belanda hanya dalam urusan dagang
Raja Bendahara menolak kata kesepakatan, maka situasi di perairan tamiang kurang kondusif dan belanda meningkatkan patrolinya di perairan tersebut. Dalam rangka perang melawan Aceh, Belanda juga memutuskan melakukan penyerangan ke daerah Karang, Kejuruan Muda dan Bendahara, dengan mengharapkan bantuan dari Sultan Muda Seruway. Maka pada tahun 1874, peperangan di Tamiang mulai terjadi. pada bulan januari 1874, pemerintah Belanda memilih seruway sebagai Controleur yang mewakili Belanda dan menyatakan seruway masuk ke Sumatera Timur (Deli)
Controleur tersebut ialah “Neuman” di bawah Asisten Resident Van Deli. Belanda mulai membangun benteng-benteng pertahanan. melihat situasi seperti ini, Raja Karang dan Bendahara mulai meminta bantuan dari Lamnga dan Peurelauk jika Belanda melakukan penyerangan. Pada bulan Desember 1878 secara mendadak Laskar Tamiang melakukan penyerangan dan menewaskan 14 orang serta 5 orang luka-luka dari pihak tentara belanda di bukit selamat.dari peristiwa ini belanda memperkuat pasukannya dan aktif melakukan patroli, tetapi Belanda belum mampu melewati sungai Tamiang untuk dapat mendarat di bagian utaranya.
Pada tanggal 8 Desember 1885 Laskar Tamiang melakukan penyerangan ulang di seruway. penyerangan kantor pabean Belanda di pulau Kampai dan pos Belanda di salah haji. belanda segera mengerahkan personilnya sebanyak 42 Opsir,1 pasukan Brigade atas 3 orang personil dan 121 serdadu bumi putera. terjadi peperangan yang sangat dasyat, laskar tamiang maju tanpa takut, karena telah mendapat dukungan dari aceh yaitu kedatangan panglima nyak makam dari lam-nga. belanda menambah pasukannya sebanyak 200 personil serta senjata lengkap.sebuah stombargs milik militer belanda di tembaki oleh laskar tamiang di seruway, rumah penduduk yg selama ini membantu belanda juga di bakar oleh laskar tamiang,3 sekoci yang berisi serdadu belanda yang akan mendarat di seruway dari kapal HM Sindoro di Rantau Pakam di tenggelamkan dan semua personil tewas tak luput juga rumah kapten cina Seruway ( Lie Sen Se ) di bakar Laskar Tamiang.
Melihat situasi Belanda telah memperkuat pasukannya di seruway dan Kuala Tamiang, pada tanggal 16 november 1889 Raja Silang memutuskan perdagangan dan menyatakan angkat senjata melawan Belanda. Raja Umar adik dari Raja Silang yang beribu orang Gayo meminta bantuan pasukan dari Gayo ( pinding & lokop ) bersama dengan raja silang melawan Belanda. pada tanggal 13 febuari 1893 puluhan sekoci Belanda mendarat di seruway beserta team kesehatan dan senjata lengkap. pada hari jumat pagi, tanggal 13-2-1925, telah berpulang kerahmatullah di kota Tanjung Karang, Paduka Tengku Raja Silang bergelar Kejuruan Karang

TEUKU MUHAMMAD DAUD CUMBOK,.

Teuku Muhammad Daud Cumbok


Dia sangat berani, kalau tidak boleh dibilang nekat dan sembrono," kata Reid, Direktur Asia Research Institute (ARI), Singapura. Di tengah-tengah suasana gandrung kemerdekaan, Daud Cumbok malah gembar-gembor Indonesia belum siap merdek. Desember 1945, pemerintah pusat memaklumkan Teuku Daud Cumbok pengkhianat Republik dan harus dihukum. Daud cumbok menyangkal semua tuduhan pemerintah RI tersebut.
Alasan alasan terjadi nya perang cumbok tersebut adalah;  T Cumbok memprakarsai perang karena uleebalang saat itu menginginkan Status Quo sebagai Landlord dan elit politik ingin mempertahankan "kekuasaannya" terlebih banyak Uleebalang (Teuku) merupakan 'gelar pemerintahan militer Hindia Belanda' sebagai penguasa lokal / administratif (politik Belanda untuk memecah struktur masyarakat di Aceh atas anjuran Snouck Hargrunje) yang disuplai sebelumnya (persenjataan dan legitimasi) oleh Belanda sehingga khawatir apabila NKRI merdeka , peranan dan kepentingan sosial politik dan kekuasaannya menjadi terganggu; atau
 T. Cumbok tidak setuju atas bergabungnya Aceh kepada NKRI, yang sewaktu itu didukung PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang didukung penuh oleh Tgk Daud Beureueh
Pada 10 Januari 1946, ribuan rakyat, ulama, dan tentara Angkatan Perang Indonesia (API)-sebagian komandannya kaum ningrat menyerang markas Cumbok di Lam Meulo. Tiga hari pertempuran sengit berlangsung. Senapan, meriam saling berbalas. Hari ke-empat, mereka kabur ke hutan. Pertempuran resmi berakhir 17 Januari 1946. Nama Lam Meulo diganti menjadi "Kota Bakti" guna menghormati ratusan orang yang gugur di sana.
Tapi, kemarahan massa tak lekas reda, revolusi sosial meletup. Rumah indah milik Teuku Oemar Keumangan beserta seluruh isinya-senilai Rp 12 juta saat itu-dibakar habis. Tapi Teuku Ahmad Jeunib, yang jelas-jelas menyatakan setia pada Republik-tidak luput dari pembantaian. Para korban termasuk orang tua dan anak-anak uleebalang yang tak berdosa.
Pada 10 Januari 1946, Pidie dikepung dari berbagai penjuru. Perang besar-besaran antara kedua kubu tak lagi terhindarkan. Dengan dukungan yang besar, hanya dalam tiga hari, pasukan ulama berhasil menguasai Pidie. Daud Cumbok pun berhasil ditangkap pada 16 Januari 1946 di kaki Gunung Seulawah

TEUKU MUHAMMAD JOHAN ALAMSYAH AMPON CHIK PEUSANGAN


Teuku Muhammad Johan Alamsyah dan  Gen.Swart
Setelah menamatkan pendidikan di kuta raja atas bimbingan guru muhammad djam Teuku Muhammad Djohan Alamsjah serta kawan dan pengawalnya yang setia diantar kembali ke Nanggroe Peusangan. Jenderal van Heutz menganggap uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil dijinakkannya. Kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan kembali jabatan uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan Aceh. Dalam pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku uleebalang Nanggroe Peusangan.
Teuku Djeumpa dengan cermat mulai memutar roda pemerintahan Nanggroe Peusangan sepeninggal Teuku Tjhik Sjamaun. Kepada kemenakannya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dijelaskannya posisi Peusangan dalam peta politik terbaru tanah Aceh. Walaupun dikemas dalam untaian kata-kata yang indah, bahwa Kerajaan Belanda bersahabat dengan Nanggroe Peusangan melalui Korte Verklaaring, tak berarti Nanggroe Peusangan masih berkedaulatan penuh seperti yang tercantum dalam surat sarakata Cap Sikureung Sultan Aceh. Secara militer, Nanggroe Peusangan sudah terkalahkan oleh Kerajaan Belanda. Teuku Djeumpa juga menjelaskan kepada Teuku Djohan Alamsjah, kekalahan nanggroe–nanggroe uleebalang lain di tanah Aceh hanya tinggal menunggu waktu saja. Perlawanan secara terbuka terhadap Belanda akan mengorbankan seluruh rakyat Peusangan baik harta maupu nyawa, dan cara ini harus dihindari.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk terpukau merenungkan posisi Negara Aceh yang lemah berhadapan dengan Belanda. Uleebalang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan, tak ada jalan lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis. Maka, uleebalang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu Belanda itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan lugas terhadap siapapun, baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun terhadap rakyat Peusangan yang dibelanya.

Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung. Sebaliknya Belanda, sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan ini sebagai sahabatnya. Sebagai uleebalang di dalam surat “Cap Sikureung” ditegaskan bahwa Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat Kejreuen berhak mengambil hasil dari laut, darat, dan hutan di wilayah Nanggroe Peusangan

TEUKU MUDA DAWOT ULEE BALANG SEULIMEUM XXII MUKIM


Teuku Moeda Dawud
Awal bulan Juli 1896 kawasan XXII Mukim, tempat dimana Sultan Muhammad Daud Syah berada mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda. Penyerangan ini memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke Pedalaman Seulimeum pada tanggal 29 Juli 1896 Panglima Polim-dan penasihatnya T. Moeda Ali bin T. Ayer-Alang, para Imam Gle jueng dan Tanah-Abe, selain T Musa Anak-Bate,  Brahim-Montassik T. dan T. Moeda-Daud membuatpertahanan. sementara sultan ke Padang-Tidji di VII Moekims Pedir ikut serta T. Mahmood Tjoet-Lam-Tengah, dengan anak-anak Toekoe Moeda-Baid dan T. Rajoet, berada di pegunungan barat pada Gle-Moenda
Pihak Belanda dengan kekuatan 1,5 batalion infantri kemudian menyerang kawasan Seulimeum setelah mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana. Mendapatkan penyerangan itu, pada bulan September Sultan hijrah ke Pidie. Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu.

Sejak awal September hingga akhir bulan Oktober 1896 Belanda rnenyerang XXII Mukim. Belanda dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh, hingga mereka berhasil menduduki Jantho. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Dari sini Panglima Polem berhasil menduduki Kuta Ba’Teue  (Adi Fa )

Selasa, 07 Oktober 2014

ALMANAK/PENANGGALANpenangglan atjeh BANGSA ATJEH

penanggalan atjeh

Menurut Snouck Hurgronje dalam bukunya “The Atjeher” Snouck menyatakan bahwa keunong diawali dengan keunong dua ploh lhee (23 Jumadil Akhir, menurut tahun Hijriah). Pada keunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang rebah dan menjadi puso karena angin timur yang sangat kencang
Dalam membagi bulan, musim dan iklim, masyarakat Aceh sejak zaman dahulu mempunyai penanggalan tersendiri, yang disebut dengan keunong atau keuneunon

keunoeng dua ploh sa (21 Ra’jab). Pada musim ini biasanya padi di sawah mulai panen, atau khanduri blang (kenduri turun ke sawah) untuk memulai penyemaian benih. Dekade ini sering juga disebut sebagai musem luah blang dalam artian sawah-sawah sudah selesai panen
keunong sikureung blah, biasanya keadaan iklimnya hampir sama dengan keunong dua ploh sa. Para petani mulai turun ke sawah.
keunong tujoh blah, pada dekade ini awal bertiupnya angin barat. Mengawali musim ini, para nelayan biasanya mengadakan khanduri laot (kenduri turun ke laut) karena pada musim barat ombak tidak besar.
keunong limong blah. Pada musim ini sawah-sawah sudah siap digarap dan siap tanam dan di laut mulai ada badai. Pada pertengahan bulan Zulkaidah akan beralih ke keunoeng lhee blah, berlanjut ke keunong siblah dan terus ke keunong sikureung. Suatu hal yang sangat ganjil, mungkin juga fenomena alam, keunong sikureung ini menurut masyarakat pedesan, ditandai dengan banyaknya keureungkong (ketam darat) yang keluar dari lubangnya (keureungkong woe), entah sejauh mana korelasi antara keunong sikureung ini dengan keureungkong woe, tapi yang jelas pada dekade ini, suhu sangat panas.
Keunong tujoh lain lagi, pada dekade ini, ditandai dengan banyaknya anjing yang menggonggong di malam hari. Karena biasanya jatuh pada bulan Safar, pada keunong tujoh biasanya tidak diadakan acara-acara pesta pernikahan, khitanan dan lain sebagainya, karena dianggap bulan yang naas. pada akhir bulan ini masyarakat biasanya manoe rabu abeh.
keunong limong, ditandai dengan mulai bertiupnya angin timur dan para nelayan mulai melaut kembali. Terus beralih ke keunong lhee. Terakhir keunong sa, pada musim ini, hujan sangat lebat dan cangguek poe (katak) akan bersuara di setiap kubangan.
Keunong siblah tabu jareung, keunong sikureung rata-rata, keunong tujoh pih jeut mantong, keunong limong ulat seuba.

Selain keunong ada juga penanggalan Aceh yang berdasarkan tahun Hijriah. Bisa dikatakan penanggalan ini adalah penanggalan Arab yang di-Aceh-kan, yaitu; Bulan Muharram, menurut penanggalan Arab dalam penaggalan Aceh disebut Asan-Usen, hal ini diambil dari nama cucu nabi Hasan dan Husen. Bulan Safar menurut tahun Hijriah di Aceh disebut Safa. Bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Aceh disebut buleun Molot, diambil dari kata maulud yakni memperingati hari lahirnya nabi Muhammad. SAW
Rabiul Akhir, dalam bahasa Aceh disebut adoe molot atau rabi’oy akhe.

Jumadil Awal dalam penanggalan Aceh disebut molot seuneulheuh.
Jumadil Akhir dalam penanggalan Hijriah, dalam bahasa Aceh disebut buleun khanduri boh kayee yaitu kenduri atau persembahan buah-buahan secara keagamaan. Bulan Rajab tahun Hijriah, dalam penanggalan Aceh disebut buleun khanduri apam, yaitu bulan kenduri kue apam. Bulan Sya’ban disebut buleun khanduri bu (kenduri nasi,

Bulan Ramadhan, dalam bahasa Aceh disebut langsung buleun puasa, karena pada bulan inilah puasa diperintahkan. Bulan Syawal, disebut uroe raya, karena pada awal bulan inilah perayaan hari raya idul fitri dilaksanakan. Selanjutnya bulan Zulkaidah, dalam bahasa Aceh disebut sebagai buleun meuapet.seuneleuh adalah bulan haji
berikut nama nama bulan dalam bahasa aceh:
1.Asan-Usen (nama untuk memperingati
Hasan dan Husein pada tanggal 10 Muharram)

2. Sapha
3. Mo'lot (dari Maulud: memperingati hari lahir Muhammad. Ada kalanya disebut: Rabi'öy away).
4. Adoë mo'lot (yaitu adik lelaki Mo'lot, sebab lahirnya Nabi juga diperingati
dalam bulan ini. Ada kalanya disebut: Rabi'öy akhe)

5.Mo'löt Seuneulheiïh (yakni akhir Mo'lot, sebab bulan inipun masih dipakai
untuk memperingati lahirnya Muhammad. Kaum wanita sebagai pemelihara
segala sesuatu yang lama atau kuno di Aceh, menamakan pula bulan ini
Madika phön, berarti "yang pertama
bebas": asal-usulnya tidak jelas .Adakalanya disebut: Jamadoaway

6. Kanduri boh kayeë (yakni kanduri atau persem
penanggalan atjeh
bahan buah-buah secara keagamaan.( Madika Seuneuheuëh) yaitu Jamadi akhe
7.Kanduri Apam ('kanduri kueh apam', juga Rajab atau Ra'ja
8.Kanduri Bu (kanduri nasi', juga disebut Sya'ban
9.Puasa atau Ramalan 
10. Syawwal Uroë Raya (bulan perayaan) atau Syaway
11.Meu'apet (terjepit/terhimpit, terkurung atau Dul ka'idah
12.buleun haji atau dulhijah.

Adapun nama nama hari dalam bahasa aceh adalah;
Aleuhat= Minggu
Seunayan= Senin
Seulasa= Selasa
Rabu- Rabu
Hameh =Kemis
Jeumeu'ah= Jum'at
Sabtu=sabtu(almanak aceh col tropen musium