Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Kamis, 25 September 2014

KISAH DIBALIK DIBUANGNYA SULTAN

Pada 6 Januari 1903, sultan mengirim surat kepada Van Heutsz bahwa ia bersedia tunduk pada tekanan Van Heutsz meminta anak dan keluarganya tidak diganggu. Van Heutsz sangat gembira mendapat surat dari Sultan dan Muhammad Daudsyah. Diperintahkanlah Van Der Maaten menjemput sultan di Sigli dan dibawa ke Kuta Raja. Sultan terkejut setelah bertemu istri-istri dan anaknya, Tuanku Raja Ibrahim, bahwa kondisinya sehat dan dalam keadaan baik .
Rabu tanggal 21 Agustus 1907 Vaan daalen sibuk dengan pelaksanaan rencana penangkapan Sultan aceh Tuanku Muhammad dausyah yang telah menyerahkan diri kepada Belanda.Melalui sebuah jebakkan yang sudah direncanakan melalui Sultan tidak akan merasa curiga sedikit pun. Secepatnya Rijckmans menyanggup, terlaksananya perintah ini, lalu Van Daalen memerintahkan asisten  Belanda untuk Banda aceh L JF Richjkmans.pembesar sipil bawahan ini diperintahkan untuk mengundang sultan pagi harinya kekantor  asisten residen. Perintah itu diingini oleh van Daalen agar dijalankan sedemikian hati-hatinya sehingga kepada bawahan supaya menyampaikan instruksi kepada komanda meliter kota kuta raja Letnan Kolonel R G Doorman agar menyiapkan dua brigade morsese yang dipimpin oleh seorang Letnan dan berbaris menunggu di depan kantor komandan.Van Daalen berbohong dengan mengatakan bahwa atase militer Jepang Mayor Inouye akan di perkenalkan kepada korp morsase

Mayor Inouye melalkukan kunjungan muhibbah nya dari padang pada tanggal 19 agustus dan menginap dihotel aceh.Tidak seorang pun curiga atas tipu daya Van Daalen bahkan dari kalangan Belanda sendiri.karena memang Mayor Inouye sudah berada diaceh. Diperintahkan oleh van Daalen supaya persis pada jam 9 pagi besoknya, Doorman harus sudah melapor dengan telepon kepada van Daalen bahwa instruksi menyiap sediakan dua brigade pasukansudah dijalankan. van Daalen memerintahkan Doorman supaya datang ke tempat kediamannya.Ketika Doorman tiba di depan rumah van Daalen, sudah siap berbaris seluruh komandan pasukan yang berada di Kutaraja, dalam keadaan siap untuk "diperkenalkan" dengan mayor Inouye.

Tapi berlainan dari apa yang sudah disebutkan kepada Doorman kemarennya, van Daalen pun memerintahkan Doorman supaya membawa pasukannya untuk menangkap sultan, yang ketika itu sepanjang kata van Daalen sedang berada di kantor asisten residen. Sebuah kereta api ekstra sudah diperintahkan  olehvanDaalen supaya disediakan menunggu padawaktunya di stasiun, ke mana Doorman haru membawa sultanselanjutnya dengan kereta api itu (tanpa singgah di halte Uleulhue) langsung ke pelabuhan.

Di sana sudah menunggu stoombargas yang akan membawa Doorman dan orang yang ditangkapnya(sultan) naik ke kapal. Sebab kenapa sultan harus ditangkap tidak diberitahukan kepada Doorman. Menurut kisah Doorman sendiri yang menulis peristiwa ini dalam suatu majalah Belanda kepadanya diserahkan pula sepucuk surat penangkapan ("bevel tot arrestatie"). Ketika mana (sebagai biasa dilakukan oleh seorang
atasan militer kepada bawahannya ketika memberi instruksi) van Daalen bertanya: masih ada sesuatu yang hendak kau Tanya.

            Doorman pun membawa pasukannya ke kantor asisten residenRijckmans. Sambil mengepung kantor itu diperintahkannya letnanJ.E. Scheffers supaya masuk dengan sebagian pasukan dengan pedang terhunus menyerbu ke kamar langsung ke dekat meja dimana asisten residen duduk dan sedang bercakap-cakap di depannya sultan Aceh, Tuanku Muhammad Dawot. pembantunya Scheffers telah menyerahkan surat, tangkap dan diperintahkannya supaya sultan jangan melawan. Sultan terkejut karena sama sekali tidak menyangka akan terjadi perbuatan sekhianat dan sepengecut itu atas dirinya Setelah dibacakan surat tangkapan atas dirinya, dia pun berteriak keras: "Saya tidak bersalah, tidak mau ditangkap Sultan melawan ketika hendak ditangkap
tapi Scheffers segera mengancam dan menyuruh supaya sultan meletakkan kerisnya ke atas meja. Dia dikepung dan ditodong dengan bajonet terhunus lalu didorong terus keluar, di tengah tengah teriakan sultan yang terus mengatakan tidak mau ikut.Doorman mengancam akan menembak sultan jika tidak menurut dan melawan terus menerus.dlama keadaan diancam sultan berhasil dinaikan kedalam kereta api.lalu berangkat menuju ke pelabuhan ole lheu.Sultan didudukan di dalam coupe kelas satu ,tapi beliau menolak,karena beliau hanya seorang kecil yang bukan lagi Sultan,dan beliau memilih duduk dikelas ekonomi. setelah kereta-api tiba di pelabuhan, sultan dipaksamasuk bargas untuk naik ke kapal gubernemen "Java". Setiba di sana dia menolak untuk masuk ke kamar yang ditunjuk padanya sebelum keluarganya naik ke kapal. Doorman menyatakan bahwa keluarganya dan rombongannya akan turut serta menemani sultan.
Jakarta .Pukul 12 istri bersama rombongan serta barang barang diangkut dari kediaman sultan.dan kapal pun berlayar menuju Batavia.di dalam kapal tersebut sudah ada Teuku johan dan Teuku Husin dan empat orang anak nya.mareka mengalami nasib seperti sultan.tiba di Jakarta sultan dan rombongan nya tdk di perlalkukan secara terhormat sebagai Sultan,tapi diperlalkukan sebagai seorang tahanan.

            Pada tanggal 30 agustus Sultan di periksa (diperbal) oleh residen Betawi J Hofland.Didepan asisten residen L.J.F Rickjmans.Yang ikut serta membawa Sultan ke Batavia bersama sekretaris H Van santwijk.dalam pemeriksaan itu ternyata Van daalen telah menyusun alas an alas an kenapa sultan harus di internirkan dan harus di singkirkan dari kutaraja.

Van Daalen menuduh Sultan melakukan kegiatan subversive.Sultan dituduh sering bertemu dengan panglimanya untuk meneruskan perjuangan anti Belanda yaitu bertemu dengan keuchik seuman dan Panglima usoih.dikatakan oleh Van daalen Sultan juga menghimpun kekuatan dengan mengadakan pertemuan di Kuala aceh di dekat rumah kepala kampong kuala keuchik Syeh. menurut tuduhan tersebut di bulan Sa'ban, ketika diadakan kenduri, sultan mengadakan perundingan di makam Teungku Musapi di Kuala Musapi. Ketika itu hadir Teuku Djohan, Teuku Meurah Lamgapong, Teuku Sjech Tjut Putu, Teuku Berahim Tigang, Teuku Daud Silang. Juga hadir isteri sultan, Potjut Di Murong, Panglima Ma Asan dan Nya' Abaih.Selanjut nyan malam berikut nya Sultan bertemu dengan seorang saudagar cina     dikuta Bum bongki,tempat dimana sultan juga bertemu dengan Keuchik seuman dan Panglima usoih.ketika itu lah Sultan memrintahkan Keuchik seuman dan pang usoih berserta pejuang pejuang untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda.disebutkan juga bahwa Sultan telah memberikan Uang sebesar 270 dollar melalui perantara  pang Asan dan si Mega kali.

Didalam pemeriksaan perbal tersebut,sultan membantah semua tuduhan dari fihak Belanda.Sultan hanya membenarkan bahwa beliau pernah ke Kuala untuk berburu.tuduhan selanjut nya didakwakan bahwa Sultan telah memungut uang dana sabil dengan perantara Teungku Mat Said dan Bung cala. Tuduhan lainnya lagi mengatakan bahwa pada suatu ketika ditahun 1906, tidak berapa lama sehabis bulan puasa sultan telah menyatakan kepada Ngah Arsjad, Keutjhi' Tjot Lamgua ucapanucapan yang membusuk-busukkan van Daalen. Antara lain menurut keterangan itu, sultan telah mengatakan bahwa van Daalen adalah seorang penjahat, karena di Gayo banyak laki-laki dan perempuan dibunuhnya. Di Pidie dan di Peusangan, demikian menurut tuduhan itu telah dikatakan oleh sultan, bahwa van Daalen telah menindas. Dikatakannya bahwa van Daalen pasti akan mengalami kesulitan. Karena van .Daalen terus membunuh kaum Muslimin maka dia kelak akan dicerca oleh dunia     luar berhubung karena dunia luar bakal mengetahuinya. Tanggal 7 September sultan mendapat kesempatan untukmengirimkan "memorie Van verdediging" kepada gubernur jenderal van Heutsz, yaitu suatu pembelaan yang rupanya ada juga dibenarkan menurut ketentuan undang-undang kolonial Belanda, tapi pada perakteknya hanya sekedar pro forma belaka.

Sultan telah mempergunakan kesempatan ini, tapi berhubungan karena dipakainya seorang pokrol Belanda untuk menyusun memorie pembelaan tersebut maka lebih banyaklah dikemukakan bagian bagian yang tujuannya merupakan kepentingan pribadi.biaya pembelaan yang sultan keluarkan sebesar tiga ratus ribu gulden dan sultan bayar dengan emas hanya sia sia.Belanda tidak menghiraukan pembelaan dari sultan. Harian Bataviaasch-Niewusblad di Jakarta yang mencoba menempatkan tajuk rencana yang berupa kecaman dalam penerbitan tanggal 20 Januari 1908, telah membanding peristiwa Tuanku Muhammad Dawot dengan peristiwa perkara Dreyfuss yang pernah terjadi di Perancis, peristiwa seorang perwira yang harus dijahanamkan
(walau pun dia tidak bersalah) demi. Kepentingan prestise tokoh-tokoh atasan.

Harian Belanda itu mengupas adanya kekuasaan istimewa bagi seorang gubernur jenderal "Hindia Belanda" yang berhak menangkap dan menahan seseorang menurut pasal 47 "regeeringsreglement", walau pun belum terdapat tindak pidana dilakukannya. Kekuasaan gubernur jenderal dimaksud demikian luasnya, karena asal saja dianggapnya membahayakan keselamatan
umum dia boleh mengasingkan seseorang. Terhadap peristiwa Tuanku Muhammad Dawot, tajuk rencana harian "Bataviaasch Hieuwsblad" tidak melihat adanya bahaya itu, tapi dikatakannya bahwa "er schijn alle reden te zijn om te nemen dat de leer "macht boven recht" wederom gehuldigd is in het drama, dat wij onbewogen in ons midden het eerste bedrijf een einde neemt. Dat drama heet: de verbanning van den pretendent sultan van Atjeh, Tuanku Muhammad Dawot, naar Amboina." ("Nampaknya "kekuasaan di atas keadilan" kembali merupakan pedoman dalam drama yang telah berlangsung secara tak kentara di tengah-tengah kita, yang babak pertamanya sedang berakhir. Drama itu ialah terbuangnya sultan Aceh ke Ambon).

Setelah penulis tajuk rencana dimaksud mengingatkan tulisan berupa kecaman dari Wekker yang mengatakan bahwa di Aceh hanya berlaku kesewenang-wenangan, lalu si penulis pun menyingkap keburukan penangkapan tersebut. Dikemukakannya bahwa menurut peraturan bahwa orang yang hendak diasingkan harus diberi kesempatan membela diri sebelum ditangkap, tapi kejadian dengan sultan tidaklah demikian.kepada sultan tdk di tunjukkan surat penagkapan.

Sultan telah ditipu dan di tangkap semena mena dengan todongan bayonet naik ke kapal unt dibawa ke Batavia. Setelah penulis tajuk rencana dimaksud mengingatkan tulisan berupa kecaman dari Wekker yang mengatakan bahwa di Acehhanya berlaku kesewenang-wenangan, lalu si penulis pun menyingkap keburukan penangkapan tersebut. Dikemukakannya bahwa menurut peraturan bahwa orang yang hendak diasingkan harus diberi kesempatan membela diri sebelum ditangkap, tapi kejadiandengan sultan tidaklah demikian. Sehubungan dengan tuduhan-tuduhan yang dilancarkan, sultan menangkis yang sasarannya ditujukan kepada van Daalen dan Tuanku Mahmud.

 Sultan memungkiri bahwa dia pernah mengadakan pertemuan dengan Keutjhi' Seuman dan Pang Usoih. Keterangan dari Nia' Abaik yang mengatakan bahwa dia mengetahui pertemuan itu ternyata
merupakan keterangan yang dibikin-bikin hasil pemerasan van Daaen. Nja' Abaih mengatakan bahwa dia takut karena dipukul kalau tidak membuat keterangan. Sultan mungkir bahwa dia baik langsung maupun tidak
langsung pernah mengadakan hubungan dengan s-iapa pun juga yang menyebabkan terjadinya penyerangan Keutjhi' Seuman dan pasukannya terhadap Kutaraja tanggal 6 Maret 1907. sultan mengatakan bahwa Sultan telah menyerah kepada Belanda menurutnya karena menginsafi bahwa pribadinya yang tidak berarti itu tidaklah memungkinkan Beliau akan bisa menjalankan peranan sebagai pahlawan rakyat.

 Selama di Kutaraja sultan berselisih dengan Habib Badai, yang kawin dengan seorang janda Teuku Husin, pengikut Teuku Umar Teuku Husin pernah berhutang uang tunai kepada sultan sebanyak
$ 1000. Sesudah Teuku Husin meninggal dunia, hutang itu dibayar oleh jandanya dengan barang-barang perhiasan. Tapi ketika Habib Badai mengawini janda Husin, Habib Badai mempengaruhi isterinya supaya meminta barang-barang perhiasan itu kembali dari sultan.Menurut sultan, Tuanku Mahmudlah yang menjadi gara-gara dan mencelakakannya. Seorang puteri Tuanku Mahmud dikawini oleh sultan, kemudian diceraikannya. Perceraian ini tidak menyenangkan Tuanku Mahmud karena memalukannya. Mahmud kepada van Daalen, dengan surat bertanggal 7 Pebruari 1907, van Daalen memaksa sultan supaya merujuki jandanya. Sultan tidak mau, sebab tidak bisa dirujuki lagi, kecuali, katanya, jika pendapat para ulama membenarkan perujukan sedemikian. Karena sultan berani menentang putusan van Daalen, itulah sebabnya van Daalen
benci kepada sultan. Lalu setiap jalan digunakan oleh van Daalen untuk menyulitkan sultan, jalan mana tidak susah diperoleh bagi seorang pembesar yang berkuasa sebagai van Daalen
Tuanku Mahmud mendapat kabar dari gubernur bahwa sultan ada memperoleh tanah seluas lima bahu dari mayor van der Maaten. Tanah itu diolah oleh sultan dan untuk kepentingan ini sudah mengeluarkan ongkos sebanyak $ 2000. Tiba-tiba Potjut Meurah (isteri Tuanku Mahmud) mendakwa bahwa tanah itu miliknya, dan wakil sultan yang menyelenggarakan tanah itu dituntutnya supaya keluar. Terhadap sengketa ini van Daalen campur tangan, yaitu dipengaruhinya sultan supaya berdamai dengan Potjut Meurah. Kepada sultan dibayar ganti kerugian
sebanyak $ 900,- tapi karena jumlah itu amat sedikit, sultan tidak bersedia berdamai. Akibat van Daalen bertambah benci sultan.

Persengketaan lain dengan Potjut Meurah, ialah mengenain tanah yang telah diberikan oleh Teuku Husin di Geudong uleebalang Sigli, terletak di Ptukan Pidie. Tanah ini dapat dimiliki oleh Potjut Meurah dengan bantuan van Daalen. Itulah antara lain beberapa fakta di mana ternyata adanya gencatan van Daalen terhadap pribadi sultan  pembelaan sultan fihak Belanda baik di Jakarta maupun di Den Hague tidak mengubris tentang nasib Sultan.

Menurut cerita Dr. Snouck Hurgronje menjelang Tuanku Muhammad Dawot menyerah lebih dulu telah ditanyakan oleh sultan ini kepada mayor van der Maaten, pembesar militer yang bertugas di Sigli, apakah Belanda akan
membuangnya keluar daerah Aceh bila umpamanya dia menyerah, sebab kalau toh dia akan terbuang keluar Aceh, dia akan memilih lebih baik tidak menyerah. Sepanjang adat adalah hina rasanya kalau sampai terbuang seperti itu. Snouck mengatakan bahwa mayor van der Maaten telah menanyakan kepada gubernur vanHeutsz telah berjanji bahwa sultan tidak akan dibuang, melainkan sebaliknya dia akan diberi uang bantuan tetap setiap bulan.
Menurut pendapat Dr. Snouck karena sudah adanya perjanjian maka fihak Belanda terikat dengan perjanjian tersebut.
Harian Inggeris Strait Times di Singapura kembali menumpahkankejengkelannya kepada Belanda mengenai perang colonial di Aceh sehubungan dengan penangkapan secara pengecut atas diri Tuanku Muhammad Dawot, dalam penerbitannya bulan Agustus1907, antara lain:
“suasana di Aceh kembali menggelisahkan. Bekas sultan telah ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Golongan yang bersahabat dari rakyat Aceh telah diperas dengan kerja paksa (rodi) dan mereka ditindas supaya memikul beban-beban berat untuk mengangkut barang-barang militer. Begitu pula mereka merasa berat terhadap penutupan pelabuhan yang tujuannya melemahkan perdagangan. Kini penguasa militer sedang berusaha menindas setiap maksud perlawanan”
Tanggal 5 September 1907, kubu Belanda di Seudu diserang lagi secara hebat oleh pihak pejuang.Ini pun membuktikan bahwa kerugian van Daalen tentangTuanku Muhammad Dawot tidaklah pada tempatnya yang tepat.
Bahwa Tuanku Muhammad Dawot mempunyai' keinginan yang terus-terusan untuk melawan Belanda, tidak perlu didustakan. Tapi bahwa dengan dia saja baru ada perlawanan, tidaklah benar adanya. Meningkatnya penyerangan-penyerangan gerilya sesudah dia dibawa ke Jakarta adalah buktinya.
Pada hari senin tanggal 6 february 1939 Sultan wafat sebagai tawanan BElanda dan di kebumikan di pemakaman Umum kemiri Rawamangun.setelah dibuang oleh Belanda sampai akhir hayat nya beliau tidak pernah menginjakkan kaki nya lagi di tanah lelulhur nya,tanah indatu,tanah Sultan iskandar Muda bumi Seuramo mekkah.


 
Saat Sultan Muhammad Alaidin Daudsyah dikapal "Java" di Ulee lheu

Rabu, 17 September 2014

PERJUANGAN SULTAN ALAIDDIN MUHAMMAD DAWODSYAH


Penangkapan Sultan di stasiun kereta api Sigli 
Sultan Mahmud Syah mangkat tidak berapa hari setelah sempat istana dikosongkan oleh pejuang denganmembawa semua yang diperlukan untuk regalia (alat alat untuk melanjutkan pemerintahan) Dalam merampungkan strategi politik, para pejuang terutama yang langsung mendampingi sultan, berhasil  dengan cepat direalisi, terkhusus adalah untuk mengganti sultan yang mangkat.pilihan jatuh pada Tuanku Mohammad Dawot Syah yang masih berusia sekitar 7 tahun.  dan dipilih menjadi sultan dalam pangkuan DewanPemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim.Demikianlah pimpinan dan perjuangan berjalan terus dengan lancar sebagaimana ditentukan semula oleh hukum adat dan agama sampai masa usia Tuanku Mohammad DawudSvah mencapai akil balig Tuanku M. DawudSvah ditabalkan menjadi sultan dalam  sebuah upacara yang diadaan di mesjid Indrapuri. Sultan yangmemperoleh pendidikan untük ketrampilan pemerintahan dan perang dari Tuanku Hasyim mulai aktif sejak awal dewasa itu menyelenggarakan tugas. Ketika itu berlangsung pula pengangkatan wewenang dan tanggung jawab bagi beberapa tokoh tingkat atas yang belum resmi berlangsung dalam pemerintahan kesultanan yaitu:
1. Teungku Syekh Saman Di Tiro menjadi menteri perang, ( Pada bulan Desember kopral Ambon bernama Nussy, seorang pelacak jejak yang termasyhur yang biasanya jalan mendahului brigade, disergap oleh sekelompok Muslim yang terdiri dari tiga orang. Nussy menembak dua orang di antaranya. Seorang dari mereka ini ternyata adalah orang terakhir keluarga Tiro. Namanya Cit Ma'at. Usianya lima belas tahun. Dengan kematiannya, tiga generasi Teungku Tiro diabadikan dalam Perang Aceh)  
2. Teuku Umar menjadi laksamana (wazirulbahri), dan
3. Panglima Nya' Makam menjadi panglima urusan Atjeh Timur
Semenjak Belanda memasuki Dalam   istana di awal tahun 1874, setel (kedudukan) pemerintahan telah berpindah-pindah untuk beberapa waktu dari satu tempat ke tempat lain, di mana induk pasukan menempatkan markas besarnya. Setelah konsolidasi baik semula, dipilihkan setel pemerintahan di Indrapuri (XXII Mukim). Ketika Montasik jatuh di tahun 1878 dan Habib menyeleweng terasalah bahayanya kedudukan Indrapuri. Segeralah dipilih pula setel baru. Sekali ini dipilihlah pekan Keumala dan di awal 1879 sultan, Tuanku Hasyim (bersama putranya Tuanku Raja Keumala) dan Panglima Polim (bersama putranya Teuku Raja Kuala) sudah berada di sana menggerakkan aparatur pemerintahan. Juga berada di Keumala, Teuku Paya ketua bekas Panitia Delapan di Penang dan putranya Teuku Asan, serta Iman Leung-bata dan putranya Teuku Usen.
Teuku Nanta, selain menjadi uleebalang VI Mukim juga menjadi panglima XXV Sagi.  Bulan Desember 1894 Bentara Keumangan memaksa Sultan ke luar dari Keumala, istananya dibakar.  Terpaksalah Sultan memindahkan setel pemerintahan pusat Aceh ke Rebee. Di sana ada sebuah istana tua yang dibangun oleh almarhum Sultan Iskandar Muda. Di tempat ini Sultan tidak dapat berdiam lama, dia pindah lagi ke Padang Gahan (Padang Tid- Ji), Mukim VII. Setelah berada di sini para panglima dari Sultan merasa tersinggung atas perlakuan terhadap Sultan.
 Dua di antara Panglima itu, Habib Lhong dan Teungku Pante Gelimah telah mengerahkan pasukannya sejumlah 500 prajurit, sambil mengadakan pembersihan lewat Meutareuem, Andeue dan Lala menuju Keumala, serta memulihkan kedudukan Sultan di sana Semenjak itu pengaruh Sultan bertambah baik, sampai menjelang serangan Belanda secara besar-besaran ke Keumala kemudia Pada bulan Januari 1897 diadakan musyawarah besar para pemimpin-pemimpin perang Aceh di Garot (Pidie).
Musyawarah dipimpin langsung oleh Sultan Mohammad Daud sendiri dengan didampingi oleh Panglima Polim. Teuku Umar mendapat undangan supaya turut mengambil bagian selain untuk memberi laporan hasil-hasil perang juga untuk mengatur koordinasi dan strategi perlawanan terhadap Belanda. Teuku Umar telah didiskusi lebih lanjut tentang kesungguhannya dan tentang kemampuannya meneruskan perjuangan. Dalam tahun 1900 diketahui oleh Belanda bahwa Sultan Muhammad Daud memilih tempat Samalanga untuk markas melanjutkan perlawanannya. Sebagai diketahui benteng Batu Ihe yang terletak di bukit di luar Samalanga yang telah dicoba oleh van der Heijden dan pasukannya untuk merebutnya sampai tiga kali masih tetap dikuasai oleh pihak Aceh.
Harus diakui di samping daya juang rakyat di daerah ini tidak kalah hebatnya dengan daerah lain dan benteng pertahanannya cukup kuat, maka tepat bila sultan memilih basis pertahanan di situ. Begitu diketahui oleh raja-raja pedalaman, maka raja-raja kecil berdatanganlah ke Samalanga untuk memberikan dukungan perjuangan, tidak ketinggalan dua orang raja, yaitu Aman Nya' Ara dan Penghulu Sikulon dan Serbajadi. Setelah mengetahui bahwa Sultan berada di Samalanga ia pun melancarkan serangan. Kelihatannya van Heutsz berhasil melakukan penyerangan ke Samalanga, membuat Sultan terpaksa memindahkan markas perjuangannya ke Peudada dan dari sini ke Peusangan (Pebruari 1901). Van Heutsz berhasil lagi melemahkan perlawanannya membuat Sultan harus memilih pusat pertahanan yang lebih terjamin, yaitu mudik ke Tanah Gayo1 (September 1901).
Di sini para kejuruan (raja) setempat memberikan dukungan sepenuhnya. Ketika mayor Belanda, van Daalen memimpin serangan dengan 12 brigade ke Gayo yang memakan tempo dari bulan September sampai akhir November 1901 ia tidak berhasil mematahkan perlawanan Sultan. Juga kolonel Scheepena gagal menghadapinya, Sultan kembali ke Pidi. Di Hulu Beuracan Belanda lagi-lagi tidak berhasil mematahkan perlawanannya. Christoffel berhasil menculik salah seorang istri Sultan, yaitu Pocut Putrue (26 November 1902). Dia dibawa ke Sigli dari situ ke Uleulhue. Peristiwa tersebut didahului oleh serangan pasukan kapten Belanda Kramers terhadap markas Sultan Muhammad Daud Syah di hulu Pante Raja, Pidie. Sultan lolos.
  Pada tangal 25 Desember 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan mayor van der Maaten melancarkan kegiatan pencari seorang lagi permaisuri Sultan, yaitu Pocut Murong di sekitar kompleks kampung Lamlo Peureula'. Belanda berhasil memergokinya. Dengan demikian Belanda sudah menyandra 2 permaisuri Sultan dan seluruh keluarganya, termasuk putera Sultan yang masih di bawah umur,  Tuanku Ibrahim. Van Heutsz mengumumkan bahwa semua keluarga yang menjadi tangkapannya itu tidak akan dibunuh seandainya Sultan sendiri datang melapor dan menyerah diri sebagai Penebusnya.  pada    tanggal 6 Januari 1903, di situlah Sultan menetapkan hati untuk mengirim surat pada van Heutsz bahwa ia bersedia menyerah, untuk mana ia menginginkan diberlakukan upacara terhormat untuknya.
Besoknya, sebuah kapal perang "Sibolga" datang menuju Sigli, di mana turut Tuanku Mahmud, bekas wali Sultan, Tuanku . Husin, Tuanku Ibrahim, puteranya, dua kepala Sagi XXV dan XXVI Mukim. Tanggal 8 Januari mereka tiba di Sigli ketika itu sudah menunggu raja Pidie, Samalanga dan Meureudu. Sultan lalu dijemput ke desa Arusan, Ie Leubeue. Sabtu 10 Januari Sultan tiba di Sigli, disambut oleh mayor van der Maaten dan para perwiranya. Tanggal 13 Januari Sultan, Pocut Murong, Tuanku Ibrahim dan anggota rombongan sebanyak 175 orang dibawa ke kapal perang "Sumbawa" menuju Uleulhue. Dari sini ia naik kereta api menuju Kutaraja (Banda Aceh).
Turun dari situ menuju Kampung Keudah, untuk mendiami sebuah rumah yang sudah disediakan lebih dulu. Pada tanggal 15 januari berlangsung uparaca penyerahan Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah, yang oleh Belanda sejak awal hanya disebut berstatus "pretendent" ini telah diminta supaya menandatangani suatu pengakuan yang sudah disiapkan lebih dulu dalam mana disebut bahwa Aceh adalah menjadi bagian Hindia Belanda, dan ia berada dalam pengawalan gubernur van Heutsz.  Dikatakan bahwa sejak itu Tuanku disebut beroleh tunjangan f. 1000.- sebulan. ; Ditetapkan oleh gubernur bahwa putera Sultan, Tuanku Ibrahim yang usianya 14 tahun sudah, dibawa ke Jakarta, sebuah kalimat dari kapten artileri Belanda yang turut berperang di Aceh sejak awal, yaitu G.F.W. Borel, dalam bukunya yang menghantam kebijaksanaan komandan tertingginya masa mereka menyerang itu, jenderal van Swieten.3Katanya: "De ondervinding heeft bovendien bewezen, dat Atjeh geen Sultan noodig had om zich kractig tegen ons te blijven verzetten." ("Pengalaman telah membuktikan bahwa Aceh tidak membutuhkan Sultan untuk terus segigih-gigihnya menentang kita, Mayor J.B. van Heutsz, bekas kepala staf Jenderal Van Teijn di Aceh.
Pada tahun 18 92 dia menulis dua buah artikel dalam Indisch Militair Tijdschrift, yang kemudian terbit sebagai brosur dengan judul De onderwerping van Atjeh (Penaklukan Aceh). Semboyan yang mereka gunakan adalah: "Perang Aceh menggerogoti tanah jajahan kita dan harus berakhir. Marilah akhirnya kita tunjukkan kepada dunia yang beradab bahwa kita mampu melakukannya."  Pada tanggal 10 Februari 1903 Sultan menyerah. Pada tanggal 6 Desember tahun itu juga dia diikuti oleh Panglima Polim. Dari kedua mereka ini mulamula istri dan anggota-anggota keluarga lainnya yang ditahan. Polim lapor diri tertulis pada penguasa Lhok Seumawe di Pase, Kapten H. Colijn. Dia diberi ampun dan dipulihkan jabatannya yang turun-temurun menjadi Panglima Sagi Mukim XXII. Tugasnya diselesaikannya dengan memuaskan hati Pemerintah Belanda.
Pada tahun-tahun berikutnya dia memperoleh bintang kesatriaOranye Nassau Orde maupun Bintang Jasa Mas Besar, yang merupakan pemberian tanda jasa di Hindia. Ketika ia meninggal pada dalam tahun 1940, pada mulanya Pemerintah Hindia merasa ragu-ragu mengangkat putranya sebagai penggantinya. Tidak lama kemudian ternyata bahwa keraguan sikap Belanda itu tepat. Panglima Polim yang ketiga dari Perang Aceh ini pada tahun 1942 adalah juga yang ketiga dari wangsanya, yang memimpin suatu pemberontakan anti-Belanda. Sepuluh Tahun yang Berdarah bagi Aceh. Jumlah yang tewas di pihak Belanda, 508, tidak banyak naiknya di atas rata-rata seluruh perang. Tetapi dari tahun 1899 sampai 1909, 21.865 orang Aceh yang terbunuh, yaitu hampir empat persen dari penduduk.
Angka-angka ini resmi. Van Heutsz adalah gubernur pertama yang menyuruh memuat kerugian pihak Aceh. Pada tahun 1907 pada konsul jenderal Belanda di kota ini disampaikan surat-surat yang konon ditulis oleh Muhammad Daud kepada kaisar Jepang. Untuk hubungan ini, digunakan seorang Inggris sebagai perantara di Singapura, bernama Ghouse, yang sebelum tahun 1903 sudah bertindak sebagai agen rahasia Sultan. Snouck Hurgronje dilibatkan sebagai penasihat menteri di Negeri Belanda pada penyelidikan ini.
Pendapatnya (dalam sebuah nota tertanggal 4 Mei 1908) adalah bahwa surat-surat ini pada hakikatnya tidak lebih artinya daripada upaya-upaya semacam dulu terhadap Turki - dalam hal ini berkalikali sultan diperdayakan oleh penipu-penipu68 - Van der Maaten pun menganggap surat-surat ini sebagai kerja penipu-penipu dan tukang-tukang provokasi  kehadiran Muhammad Daud di Kutaraja merupakan sumber keresahan. Gerakan perlawanan tetap berhubungan dengan dia. Dia sendiri menaruh banyak harapan berdasarkan perlakuan yang diterimanya selama Van Heutsz. Gubernur Van Daalen yang curiga dan bersikap keras terhadap kaum hulubalang menganggap Sultan sebagai awal semua kesulitan.
 Berdasarkan 'pengkhianatan terhadap negara' —  yaitu adanya surat-surat ke Jepang — disuruhnya menangkap Sultan padatahun 1907 dan membuangnya ke Jawa. Sultan meninggal di sini pada tahun1937. Sama sekali tidak ditempuh jalan pengadilan, bahkan pemeriksaan yangagak mendalam tentang surat-surat ke Jepang pun tidak dilakukan. Tentang ini Snouck Hurgronje baru setahun kemudian dapat melaporkannya


Sabtu, 13 September 2014

SEPUCUK SURAT DARI KOTA PENDUDUKAN BELANDA


Tahun 1903 Sultan Aceh Muhammad Daud Syah, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, Tuwanku Raja Keumala dan beberapa orang pemimpin penting lainnya ditawan tentara Belanda dengan suatu tipudaya yang kotor. Dalam tahun-tahun berikutnya sepucuk surat dari "KotaPendudukan", yaitu Banda Aceh, Ibukota' Kerajaan yang telah diduduki Belanda, melayang ke daerah pedalaman, dimana Komando Tertinggi Perang Gerilya berkedudukan.

Surat penting tersebut ditandatangani Tuwanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Tuwanku Mahmud Banta Kecil. Surat yang ditujukan kepad Panglima Tertinggi Komando Perang Gerilya, Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin , mengandung pesan* pesan penting untuk dipertimbangkan. Antara lain, surat tersebut menjelaskan bahwa sekarang telah banyak putera-puteri bangsa yang tidak mendapat pendidikan karena pusat-pusat pendidikan sudah tidak berfungsi lagi; sudah porak poranda semenjak terjadi Perang Kolonia l di Aceh. 

Kalau keadaan berlanjut terus demikian, Angkatan Muda Aceh yang akan datang menjadi jahil dan dapat condong ke arah kekafiran, demikian maksud surat tersebut.Selanjutnya surat mengharapkan agar dipertimbangkan pemberian kesempatan kepada sejumlah ulama untuk melapor kepada penguasa pendudukan, yang dengan demikian mendapat kesempatan membangun dayah-dayah kembali, hatta putera-puteri Aceh dapat belajar. Surat yang ditandatangani tiga orang tokoh penting yang 'telah ditawan itu, dibicarakan dalam satu rapat Komando Tertinggi Perang Gerilya, yang kemudian menghasilkan keputusan penting dalam kebijaksanaan pelaksanaan Perang Gerilya terhadap tentara pendudukan Belanda. 

Yang sangat menggembirakan Komando Tertinggi Perang Gerilya, bahwa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah tidak mau menandatangani "Sarakata Penyerahan Kedaulatan Aceh Kepada Belanda" yang telah dipersiapkan komando tentara pendudukan Belanda. Sultan menolak menurunkan tandatangannya atas sarakata tersebut dengan alasan bahwa "Kedaulatan" berada di tangan rakyat dan beliau tidak berhak menyerahkannya kepada siapa pun.Dengan demikian, menurut pendapat Komando Tertinggi Perang Gerilya, Aceh masih berdaulat sekalipun sebahagian wilayah Kerajaan telah diduduki tentara Belanda ; tentunya suatu pendudukan yang tidak sah menurut hukum Intemasional. 

Atas dasar itu, perang yang akan dilanjutkan di bawah Pimpinan Komando Tertinggi Perang Gerilya adalah untuk mempertahankan Kemerdekaan dan Kedaulatan yang hendak direbut Belanda; suatu peperangan suci (Qitaal fi Sabilillah) menurut Syari'at Islam.Dengan kebijaksanaan baru itu, sejumlah Ulama turun, melapor dan membangun dayah-dayah kembali di seluruh Tanah Aceh, sebahagian yang lain tetap di "Daerah Merdeka" untuk memimpin Perang Gerilya, yang menyebabkan tentara pendudukan Belanda tidak pernah aman selama mereka menduduki Tanah Aceh.Sesuai dengan suratnya kepada Pimpinan Komando Tertinggi Perang Gerilya, maka Tuwanku Raja Keumala memulai sendiri anjurannya itu. Dalam tahun 1916, beliau mempelopori pembangunan Pusat Pendidikan Islam yang dinamakan "Jam'iyah Khairiyah", berlokasi dalam Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh ; mungkin mengambil sempena dari ".lam'ah Baiturrahman" yang dalam zaman Kerajaan AcehDarussalam, merupakan Perguruan Tinggi Islam ternama di Asia tenggara.

Jumat, 05 September 2014

PERJUANGAN JENDRAL BESAR TUANKU HASYIM BANTA MUDA DAN KELUARGANYA
Jendral Besar Tuanku Hasyim Bangta Muda, Panglima tertinggi Angkatan Perang Aceh, Waziruddaulah, Wazirul-harb, Tadbiratussulthan
Mulki alsyi dan Mangkubumi Kerajaan Aceh, yang telah mengucapkan
Perentah Harian tanggal 1 Muharram 1290 H :
"Tidakmengakui kedaulatan Belanda atas Aceh; dan berperang menantang
penjajahan Belanda demi agama, bangsa dan Tanah Air " , yang telah
menghadapi penjajah Belanda 15 tahun lamanya dalam bentuk konfrontasi di Sumatera Timur dan Aceh Timur (I858-I873) dan 25 tahun
lamanya dalam bentuk perang resmi total dan frontal(1873-1897)•
Almarhum telah mengorbankan segala2nya,
Beliau juga dibantu oleh keluarga nya dan Ulama ulama Tiro dalam menghadapi serangan Belanda yg semakin brutal dan biadab,bersama sultan Muhammad Alaidin Daudsyah bertekad membela negara dan bangsa sampai titik darah penghabisan. Oleh Jendral Van Swieten di gelari sebagai "todleben van atjeh" panglima genius yg dilahirkan memiliki keunggulan leluhur bangsa nya,de atjehsche general,pahlawan yg sangat ditakuti oleh Belanda,bersama Sultan Muhammad daudsyah dan pejuang mempertahankan aceh dr penjajah kaphe selama 40thn. beliau jg sbg wali nanggro wilayah aceh timur langkat serdang,pd hari jumat tgl 22 jan 1891 beliau wafat dan dimakamkan di padang tiji disamping masjid .Jika beliau dan Tgk Chik Ditiro tdk dilahirkan sesungguhnya Belanda sudah mengusai Aceh dengan sangat cepat.
Cut Nyak'Puan, istri almarhum Jendral Besar Tuanku Hasyim Bangta
Muda, yang t e l a h mengambil bahagian dalam bidang pengobatan korban perang. Almarhumah mempunyai pengetahuan dalam bidang ketabiban, mampu melakukan pembedahan untuk mengeluarkan peluru,

menjahit luka dan mengobatinya.
Tuanku Itam, adik kandung Tuanku Hasyim Bangta Muda. Almarhum adalah Panglima Pulau Kampai;dan lain2; dan terakhir Panglima Gunong Biram dalam daerah Sagl XXII Mukim.
Panglima Tuanku Budiman, anak dari Tuanku Abdul Majid (abang dari Tuanku Mahmud, bekas volkrad, Ketua Komite Nasional NRI Daerah Aceh, pensiunan Residen). Almarhum tertangkap dalam pertempuran, ditahan dalam penjara dengan hukuman siksa dan meninggal dunia dalam penjara penjajah Belanda
Tuanku Nurdin, adik dari Panglima Tuanku Budiman. Almarhum tertangkap dalam perkelahian bersama ibunya bernama Pocut Di-Biheuej
diasingkan ke Jawa; dan meninggal dunia dalam pengasingan di Rembang (Jawa Tengah) dalam tahun 1959
Pocut Mat Tahé. Almarhum s e r t a keluarganya y a i t u seorang istri
dan empat orang anaknya, semuanya syahid dalam pertempuran di Blang Rakal, Aceh Tengah. Almarhum adalah keturunan Pocut Kleng anak dari almarhum Sulthan Alaidin Ahmad Syah.
Panglima Polim Ibrahim Muda Kuala, anak dari Panglima Polim Mahmud
Cut Banta. Almarhum mendampingi ayahnya dalam agressi Belanda
yang pertama, dan bersama ayahnya mendampingi Panglima Besar Angkatan Perang Aceh Tuanku Hasyim Bangta Huda dalam ekspedisi Belanda yang kedua sampai almarhum meninggal dunia pada h a r i yang
sama dan jam yang sama dengan meninggalnya Panglima Tengku^Chik
DlTiro Mohammad Samman. Almarhum dikebumikan dicot leupeung,Lamsie.
Teuku Raja Abdullah; anak tertua dari Panglima Polim Mahmud Cut
Banta; calon Panglima Polim. Almarhum syahid d i Kuta Aneuëk Galong.
keluarga Panglima Polim lainya , diantaranya: Teuku Muda
ië Alang, Teuku Muda Bintang, Teuku Muda B i n ; dan l a i n 2 yang kesemuanya telah mengambil bahagian dalam menantang ekspedisi Belanda yang pertama dan kedua
Panglima Polim Mohamad Daud Syah, putera Panglima Polim Ibrahim
Muda Kuala dan menantu Jendral Besar Tuanku Hasyim Bangta Muda.
Almarhum berperang bahu membahu dengan iparnya Tuanku Raja Keumala dan Sulthan Alaidin Mohammad Daud Syah, baik dalam perang total dan frontal sebelum Tuanku Hasyim Bangta Muda meninggal dunia maupun dalam perang geurilya 1897-1903
Tengku Ratna Keumala, putri almarhum Tuanku Hasyim Bangta Muda,
itri Panglima Polim Mohammad Daud Syah. Almarhumah bergeurilya enam tahun lamanya bersama suami dan abangnya, dan pernah menembak mati sejumlah Belanda dalam suatu pertempuran sengit dan mendadak d i Gunong Lipêh (antara Tangsé-Takengon) dimana almarhumah sudah terkepung bersama suami dan abangnya dan dua orang pengikutnya.Satu diantara dua pengikutnya syahid ditempat. pengikut yang setia itu tidak menembak lagi dan ternyata syahid,
Tengku Ratna Keumala mengambil senapangnya dan menembak Belanda yang sebenarnya sudah dekat sekali dengan mereka, Setelah peluru habis pasukanpun kocar kacir .beliau bersama para pengikut nya berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dengan cara melompat kejurang dan terselamatkan krn tersangkut di akar pohon.
Tuanku Raja Keumala, putera Panglima Tuanku Hasyim Bangta Muda.
Almarhum bergerilya bersama2 dengan adik perempuan dan iparnya
Panglima Polim Mohamad Daud Syah,bahu-membahu dengan Sultan
Alaidin Mohammad Daud Syah enam tahun lamanya (1897-1903).
Almarhum menghentikan perlawanan dalam tahun 1903.adifa

Senin, 01 September 2014

SERANGAN BELANDA JANG KEDUA DAN KEKALAHANNJA JANG TERAKHIR

Sebagaimana jang terdjadi, sesudah kekalahannja dalam serangan pertama itu, Belanda melakukan
serangan jang kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam, dengan tidak pernah mentjapai
kemenangan jang sesunguhnja terhadap bangsa Atjeh jang mempertahankan dirinja itu. Perang
Belanda (sebagai bangsa Atjeh melihatnja) atau Perang Atjeh (sebagai bangsa Belanda melihatnja)
berdjalan hampir satu abad, sehingga oleh madjallah Amerika, HARPER´S MAGAZINE, sudah
dinamakan sebagai perang “SERATUS TAHUN MASA INI”.

Achirnja bangsa Belanda sudah dikalahkan oleh bangsa Atjeh dalam pertempuran-pertempuran jang terdjadi di seluruh Atjeh pada bulan Mart, 1942, sebelum Djepang masuk ke Atjeh dalam perang Dunia ke-II demikianlah, Belanda tidak pernah mentjapai tudjuan perangnja di Atjeh: Negara Atjeh tidak pernah menandatangani surat menjerah kepada Belanda, dan perlawanan tidak pernah dihentikan sampai achirnja Belanda diusir dari bumi Atjeh dengan segala kehinaan.

Tetapi diantara dua tanggal itu, njakni antar tanggal 26 Mart, 1873 (ketika Belanda menjatakan
perang kepada keradjaan Atjeh jang merdeka dan berdaulat) dan bulan Mart 1942 (ketika semua
Belanda dan kaki-tangan-nja di usir dari Atjeh) Beland apernah membuat propaganda bohong jang
mengatakan bahwa mereka sudah dapat “menaklukan” Negara Atjeh dan bahwa mereka sudah sah
menduduki Atjeh, jaitu setjara “legal”. Propaganda Belanda ini adalah palsu dan bohong sama
sekali. Belanda tidak pernah dapat berbuat sebagai apa jang di propagandakanja itu Sebagaimana
sudah di ketahui, serangan Belanda jang pertama, dibawah pimpinan djenderal Kohler, sudah
dihantjur-leburkan oleh tentera Atjeh dan Kohler sendiri di hukum mati di Kuta Rdja. Serangan
Belanda jang kedua dibawah pimpinan djenderal Van Swieten, jang dimulai pada tanggal 25
Desember, 1873, dengan kekuatan jang djauh lebih besar lagi dari serangan pertama, djuga tidak
mendapat kemenangan, sebagai mana jang sudah diakui sendiri oleh Van Swieten dalam buku-nja.

Dalam bulan Djanuari, 1874, segera sesudah ia mendarat dipantai Atjeh,Van Swieten
menjatakan kepada dunia bahwa ia sudah mengambil (annexed) keradjaan Atjeh dan mamasukannja
kedalam Hindia Belanda (alias Indonesia). Ini telah dilakukannja untuk menjenangkan hati bangsa
Belanda jang telah begitu malu dimata dunia atas kekalahan-kekalahan jang mereka terima dari
tangan bangsa Atjeh. Tetapi karena Negara Atjeh dan Tentara Atjeh jang sangat kuat itu masih
berdiri dan mengalahkan tentara Belanda dalam setiap medan perang jang terdjadi sesudah nja,
maka propaganda bohong dari Van Swieten itu tidak dapat disembunjikan kebohongannja dimata
dunia, sehingga pernjatan Van Swieten itu mendjadi masjhur dengan nama “Van Swieten Illegal
Annexation of Acheh”.

Kemudian daripada itu, pada tahun 1879, Van Swieten sendiri mengaku bahwa ia sebenarnja tidak pernah dapat menaklukkan Atjeh, dan ia meminta kepada bangsa nja supaja ia djangan lagi dipanggil dengan nama djulukan “Penakluk Atjeh”sebab katanja ia malu - karena ia tidak pernah dapat menaklukan bangsa Atjeh. Berdasarkan atas pengalamannja sebagai panglima tertinggi Angkatan perang Belanda di Atjeh,

Van Swieten mengatakan bahwa ia sudah jakin bangsa Atjeh itu tidak mungkin dapat dikalahkan dalam medan perang. Sekarang ia mengatakan perang Atjeh itu satu satu kesalahan dari pemerintah Belanda. Belanda wadjib menarik diri dari Atjeh dan mengakui Atjeh sebagai Negara Merdeka kembali. Perang Atjeh bukan sadja menghancurkan tentera Belanda di Atjeh, tetapi akan menghantjurkan kekuasan Belanda di “Indonesia”. Van Swieten begitu jakin pada pendiriannja itu hingga ia menjusun satu gerakan politik di negeri Belanda untuk mempengaruhi pemerintahan Belanda supaja mengikuti kebidjaksanaan politik jang diandjurkannja.

Kata Van Swieten: “
une nation ne meurt pas de reconnaitre une faute, mais d’y persister” - satu bangsa tidak akan mati karena menginsafi satu.kesalahan jang sudah dibuatnja, tetapi akan mati djika bangsa itu terus menerus melakukan kesalahan itu! Seorang djenderal Belanda jang sudah menjatakan bahwa ia sudah “megambil” dan sudah “menaklukan” dan sudah “memasukkan” Negara Atjeh Merdeka kedalam “indonesia”-nja,kini menuntut supaja Atjeh diakui sebagai Negara Merdeka kembali! Pemerintah Belanda tidak mengikuti nasihatnja dan perang berdjalan terus.

Tetapi lagi-lagi, pada tahun 1881, pemerintah Belanda menjatakan bahwa Atjeh sudah dapat
ditaklukan dan bahwa perang Atjeh sudah selesai dengan kemenangan bagi pihak Belanda. “Ini
adalah angan-angan jang bukan-bukan, jang tidak berdasarkan kenjataan, jang dibikin-bikin oleh
kaum pendjadjah,” tulis Professor M.C. Ricklefs. Seterusnja ia memberi komentar sebagai berikut :
„Perang Atjeh adlah suatu peperangan jang lama dan pahit sekali. Ketika tentera Belanda madju
sambil mendjatuhkan bom dan membakar kampung- kampung, penduduk lari ke gunung-gunung
tetapi tetap meneruskan perlawanan mereka ….Perlawanan dipimpim oleh ulama-ulama dan jang
paling masjur adalah Tengku Tjik di Tiro (1836-91),dan perlawanan mendjadi perang sutji antara
umat Islam dan kafir. Achirnja Belanda mendjadi sadar bahwa mereka tidak menang apa-apa, dan
tidak menguasai sedjengkal tanah dari tangsi-tangsi mereka. Biaja peperangan ini besar sehingga
pada tahun 1884-5 Belanda terpaksa menarik mundur tenteranja ke benteng-benteng, dan dengan
demikian maka negeri Atjeh kembali ke dalam tangan bangsa Atjeh sendiri.”

Surat kabar London MORNING POST, menulis dalam editorialnja pada hari 2 Juli 1874 sebagai
berikut:
„Sudah mendjadi satu kenjataan bahwa bangsa Atjeh itu bukanlah satu bangsa jang mudah
dikalahkan orang. Mereka sudah memperlihatkan kekuatan dan kesangupan jang hampir-hampir
tidak ada tjontohnja dalam melawan dan menentang si pendjadjah negeri mereka. Laporan jang
terachir, jang kami terima dari suber-sumber jang di pertjajai, memperlihatkan betapa besar
kekuatan dan bagaimana keras tekad mereka untuk menerus peperangan: mereka muntjul kembali di
tempat-tempat dimana tadinja mereka sudah dikalahkan dan dan ditempat-tempat jang sama sekali
tidak di sangka-sangka oleh Belanda….

 Kabarnja kenjataan-kenjataan ini sudah begitu besar
mempengaruhi dan mengobah pendapat djenderal Van Swieten mengenai semangat perang bangsa
Atjeh. Satu bangsa jang sanggup berperang dengan semangat jang sematjam ini tidak akan segera
menjerah, dan kini sudah terang bahwa Belanda sudah salah terka dengan pernjataan-pernjataannja
jang mengatakan peperangan akan segera berachir.... Keberanian bangsa Atjeh memaksa kita
mengankat tangan, memberi hormat: dan ada sesuatu dalam semangat bangsa jang baik ini jang
menjebabkan mereka tidak mau merendahkan diri kepada sipendjadjah dan musuh-musuh mereka.
Dengan penuh kesabaran orang Atjeh memperbaiki kembali benteng-benteng mereka jang sudah
rusak, atau mendirikan jang baru ditempat benteng lama jang sudah roboh, dan dari sana membalas
tembakan-tembakan Belanda walaupun tidak kena, tetapi mesti ada balasan! Oleh karena itu apakah
perlu diherankan bahwa “kemenangan” Belanda itu begitu tidak menjakinkan? Ketika sedjarah
perang Belanda dengan Atjeh ini ditulis dan sibukukan, kita pikir, hal itu tidak akan menambah
kebesaran bangsa Belanda.”

Hal ini sebenarnja sudah kedjadian. Sampai sekarang sudah lebih 500 buku sedjarah ditulis dalam
bahasa Belanda mengenai Perang Belanda dengan Atjeh itu dan sungguhlah bangsa Belanda tidak
keluar dari halaman-halaman sedjarah itu lebih baik dari sudut moral dan militer. Sebaliknja bangsa
Atjeh-lah jang ternjata lebih besar dan lebih baik dari sudut moral dan militer, dalam tekadnja untuk
hidup sebagai bangsa jang merdeka. Dalam satu diantara buku-buku sedjarah Perang Atjeh (Perang
Belanda) jang terachir, pengarangnja,

Paul Van´t Veer, membuat kesimpulan sebagai berikut:
“Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan jang lebih besar
dari pada peperangan dengan Atjeh. Menurut pandjang waktunja, perang ini dapat dinamakan
perang delapan puluh tahun. Menurut djumlah korbannja - lebih seratus ribu orang jang mati
-perang ini ada satu kedjadian militer jang tidak ada bandingnja dalam sedjarah bangsa Belanda.
Untuk negeri dan bangsa Belanda, Perang Atjeh itu lebih dari pada hanja pertikaian militer: selama
satu abad inilah persoalan pokok politik Internasional, politik nasional, dan politik kolonial
Belanda.”
“Atjeh bukanlah Djawa. Sebenarnja sudahlah terang benderang bahwa dalam bagian dunia jang
setjara umum dan jang tidak berketentuan disebut Hindia Belanda („indonesia“) tidak ada satu
keradjaan jang dapat dibandingkan dengan Atjeh. Ini kita tahu sekarang ini. Satu peperangan jang
lamanja lebih setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah miljar rupiah Belanda abad ke-
19 jang mahal itu, sudah mendjadi bukti dari hal ini. Kita sudah tahu ini sekarang, tetapi kita tidak
tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenjataan-kenjatan ini tegak berdiri - djangan sembunjikan - supaja
orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di pulau Djawa, dapat mengetahui manusia jang
bagaimana bangsa Atjeh itu.

Paul Van´t Veer menulis dalam bukunja itu semua kedjadian-kedjadian di Atjeh antara tahun 1873
dan 1942 ketika bangsa Belanda diusir dari Atjeh untuk kali jang terachir. Ia membuat kesimpulan:
“Atjeh adalah jang paling achir ditaklukkan tetapi jang pertama sekali merdeka kembali!” - sebab
sehabis perang dunia jang ke-II , ketika Belanda kembali menduduki tanah djadjahan mereka jang
kini sudah diberi nama baru sebagai “indonesia” mereka tidak berani kembali ke-Atjeh. Sebab itu
adalah sebagai hak bangsa Atjeh untuk merdeka dan berdaulat kembali - seperti dimasa sebelum
Belanda datang menjerangnja. Tetapi hal jang adil dan lumrah ini tidak terdjadi karena kedustaan
dan tipuan bangsa Belanda dan bangsa djawa atas bangsa Atjeh(sumber perkara dan alasan.oleh Teungku Muhammad Hasan Ditiro)
Sultan Muhammad Alaidin Daudsyah.Sultan Terakhir Kesultanan Atjeh Darussalam