Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Minggu, 15 Maret 2015

KOELI JAWA DAN MARSOSE


Untuk membantu serangan ke Aceh, ratusan pekerja paksa dikirim dari Jawa. Belanda menyebutnya beer atau beeren. Orang Aceh menyebutnya Simeuranté. Orang-orang yang dirantai.
Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. 
Gubernur Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang 
hingga sekarang ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk 
mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada 
Perang Aceh mendapat hukum-an tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah. Besa r sekali kebutuhan 
pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan harus 
dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana kerja paksa Jawa tid ak dapat terus-menerus mengantar penyediaa yang di-serap oleh Aceh.

rang hukuman dari Pulau Jawa yang dibawa ke Aceh, tidak hanya menderita karena kerja paksa dan kelaparan. Sebagian ada yang meninggal karena dicambuk karena ketahuan mencuri.
H C Zentgraaff, manggambarkan penderitaan pekerja paksa tersebut, yang sehari-hari dipanggil dengan nama binatang; si babi lanang. Sebagian besar pekerja paksa pada kelompok ini mati secara mengenaskan di rimba-rimba Aceh. Mayat mereka pun dibiarkan tergeletak begitu saja di jurang-jurang bebatuan, menjadi santapan binatang buas.
Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecah-kan semua rekor. Kekuatan 
pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, 
lima ribu pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai 
tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan t iga ribu narapidana, dan lima 
ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang atau 
Jawa.

Menurut Zentgraaff mereka yang dicambuk itu biasanya para beer yang kedapatan mencuri makanan atau barang-barang milik Belanda. Kadang-kadang mereka juga mencuri senjata untuk dijual kepada pejuang Aceh. “Penipu-penipu yang tak dapat dipercaya ini terdapat pula dalam pasukan, serta tidak dapat meninggalkan kebiasaan merampok dan mencuri,” lanjutnya.
Diantara beer-beer itu terdapat pula cukup banyak orang –orang pemberani, yang seringkali mendapat perintah–perintah berbahaya. Saat Belanda menerapkan taktik perbentengan terpusat untuk melawan pejuang Aceh, saban pagi para pekerja paksa itu menyusuri rel trem untuk memeriksa ganjalan-ganjalan rel dan memperbaiki sekrup yang longgar.
Hal itu harus mereka lakukan karena pasukan Aceh pernah sering meletakkan bahan peladak di rel trem, yang bila tersentuh roda tren akan meledak dan menyebabkan kematian di pihak Belanda. Bahan-bahan peledak itu didapatkan pejuang Aceh dari serdadu-serdadu Eropa bayaran Belanda yang menyebrang ke pejuang Aceh.
Untuk membersihkan ranjau-ranjau dan bahan peledak di rel trem, setiap malam para beer harus menjaga lampu yang terdapat di luar benteng pertahanan. Sering kali mereka juga harus mengantarkan surat-surat dari satu pos ke pos lainnya melalui daerah-daerah berbahaya yang dikuasi gerilyawan Aceh.
Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897 menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi; semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.
Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentara yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Heutsz lebih besar daripada kekuatan–kekuatan sebelumnya.
Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade Marsose, yang mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang terbunuh secara menyedihkan.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar Marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek (bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan rencong) sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan Marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.
Pasukan Marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Mereka pun merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan yang terjahat berasal dari pasukan Marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh penguasa kolonial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan.(Foto van een groep koelies 1874.jpg)

SUSUNAN MAJELIS MAHKAMAH RAKYAT DIMASA RATU TAJUL ALAM

.
Pada tahun 1059 H. atau 1649 M. • Ratu Tadjul Alam Safiuddin
Sjah mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif atau
Madjelis Mahkamah Rakjat jang terdiri dari 73 orang tetapi jg didalam
nja ditempatkan 16 orang wanita turut duduk dalam madjelis itu untuk
turut sama2 dengan kaum pria mengatur urusan negara guna mempertimbangkan kebidjaksanaan Sulthanah
Adapun susunan Badan Perwakilan Rakjat Parlemen Atjeh adalah;
1. Sjahil
2. Budjang Djumat Turki)
3. Ahmad Bungsu
4. Ahmad Jatim
5. Abdul Rasjid
6. Faimis Said
7. Iskandar
8. Ahmad Dewan )
9. Majur Thalib (orang Turki)
10. Si Njak Bunga (wanita)
11. Si Halifah (wanita)
12. Ahdal
13. Abdul
14. Abdul Madjid
15. Si Sanah (wanita)
16. Gudjah Hamid
17. Isja
18. Hiajat
19. Si Njak Bunga (wanita)
20. Maimunah (wanita)
21. Siti Tjahja (wanita)
22. Mahkiah (wanita)
23. Buket
24. Manan
25. Ahmad Djalii
26. Ben Muhammad
27. Si Njak Apakat
28. Gudjah Nazir (orang Turki)
29. Si Njak Puan (wanita)
30. Abdul Hamfd
31. Malik Saleh Samir
32. Chatib Muadzam
33. Imam Muadzam
34. Abdul Rahman
35. Badaja
36. Budjang Aramsjah
37. Nadisah (wanita)
58.Majur Muhammad (orang turki)
39. Dapa Ahmad Sjah.
40. Penghulu Mu'aüm
41. Seri Dewa
42. Sjahad
43. Manjak
44. Njakti Tjaja (wanita)
45. Ahmad Ratib
46. Minhan
47. Si Habibah (wanita)
48. Mustafa.
49. Si Sjadin
50. Si Radjuna
51. Si Aman Pana
52. Si Njakrih
53.zamzami
54.gudjah ruhsia(orang turki)
55.raja megat
56.abu gaseh
57. Badal Mustup
58. Umi Puan (wanita)
59. Siti Awan (wanita)
60. Umi Njak Angka (wanita)
61. Si Aman
62. Si Njak Tjampli
63. Abdul Hakim
64. Si Mawar (wanita)
65. Si Manis (wanita)
66. Abdul Madjid
67. Ibrahim Rasia
68. Abdullah.
69. Umar
70.Abdul Rahim.
71. Mahjudin
72. Harun.
73.Abdul muthalib.
diantara 73 anggota dewan perwakilan itu 9 orang memegang
fungsi wazir atau menteri duduk dalam kabinet Sulthanah jaitu:
JANG PERTAMA : 1. Si Njak Tjampli, 2. Ibrahim Rasia, 3. Abdullah,
ketiga mereka itu masuk bahagian (seksi) Paduka Tuan: JANG KEDUA-
1. Umar, 2. Abdul Rahim, 3. Mahjudin, ketiga mereka ini masuk bahagian
Sri Rama; JANG KETIGA: 1. Harun, 2. Abdul Muthalib, 3. Abdul majid.
ketiga mereka ini fungsi martabat Wazir/Menteri, sedang jang
lain 64 orang sebagai anggota dewan perwakilan Rakjat,
nama tersebut dipetik dari naskah Qanun Al Asji Darussalam jang tersimpan dalam
chazanah kitab2 di dajah Marhum Tengku tanoh Abeë.(dikutip dari buku srikandi atjeh zainuddin)

BELANDA;SUSU DI BALAS DENGAN TUBA


ketika Belanda berperang selama 80 tahun merebut kemerdekaannya
dari Spanyol (1568—1648) adalah Sultan Aceh
yang pertama kali memberikan pengakuan internasional atas
kedaulatan Belanda, dengan suatu surat pengakuan yang disampaikan
oleh Ambassador Laksamana Abdul Hamid) pada tahun 1602 kepada
Prins Maurits van Oranje Nassau ketika itu Kepala Negara dari
Republik Belanda Serikat.Belanda sudah membalas susu dengan tuba,kata multatuli dalam pidatonya mencela Belanda yang bernafsu untuk menyerang Kerajaan aceh Darussalam.

het was in den grond dezelfde goedkope eigenwaan als is gematerialiseerd
in de figuren op de vier zijden der onsmakelijke "Sieges
Saule" in de even onsmakelijke" Sieges Allee" te Berlin,kata H.C.Zentgraaff,kepada bangsa nya yg tdk tahu berterima kasih.nederland koppig.lukisan Anno 1602. De gezanten van Atjeh bezoeken Maurits bij Grave.jpg)

TEUNGKU AMIR HUSEN AL MUJAHED,KETUA PENGURUS BRSAR PEMUDA PUSA

Teungku Amir Husin Al-Mujahid, selaku Ketua Pengurus
Besar Pemuda PUSA, datang ke Kutaraja dari Idi,
Aceh Timur, tidak lama sesudah proklamasi kemerdekaan.
Kedatangannya bertujuan untuk memimpin rapat Pemuda
PUSA seluruh Aceh, dalam rangka menyambut kemer-dekaan
Republik Indonesia. Rapat tersebut tidak dapat berjalan
seperti yang telah direncanakan. Ternyata jumlah undangan
yang hadir sangat jauh dari yang diharapkan.

Teungku Amir Husin Al-Mujahid dikenal sebagai
seorang yang militan dan ambisius, tetapi kontroversial. Ia
lahir di Idi, pendidikan terakhirnya pada suatu maktab di
Tanjung Pura, sebuah perguruan yang banyak menghasilkan
ahli agama yang kemudian menjadi ulama dan mubalig terkenal,
tapi juga menghasilkan ahli agama yang kemudian
menjadi tokoh komunis seperti Ali Hanafiah, tokoh PKI
Kalimantan Selatan; dan Samakidin, tokoh PKI di Kutaraja.
Amir Husin Al-Mujahid punya pergaulan yang luas.
Selain dengan para ulama, terutama ulama PUSA, ia juga
bergaul rapat dengan tokoh komunis seperti Nathar Zainuddin,
Xarim M . S, dan Sarwono. Pada masa pendudukan Jepang, Teungku Amir Husin Al-Mujahid membantu Ke -pala Jawatan Rahasia Jepang di daerah Langsa.

Dalam "Revolusi Sosial" ia mengambil alih pangkat
dan kedudukan Teuku Nyak Arief selaku anggota Staf
Umum Komandemen Sumatera. Tapi kemudian, setelah ia
memangku jabatan itu, ia tidak pernah tahu harus berbuat
apa selain menyandang pangkat Jenderal Mayor yang direbutnya
itu. Ia mengaku bahwa gerakannya untuk meng-hapuskan
feodal,

Tetapi di Kuala Simpang ia memperebutkan
seorang puteri kaum feodal dengan Nurdin Sufi, orang kepercayaannya
yang terdekat. Tentu saja dalam perebutan itu
Nurdin Sufi tersikut dan harus mengalah pada komandannya,
sang Jenderal Mayor Tituler Husin Al-Mujahid.
Amir Husin Al-Mujahid merasa telah mencapai
puncak kejayaan dengan pangkat dan kedudukan yang
tinggi dalam zaman revolusi fisik itu. Namun ia tidak punya
peran apa-apa lagi sesudah itu, kecuali ikut memperjuangkan
status tambang minyak Pangkalan Brandan serta ikutikutan
pula berbicara dalam mempertahankan provinsi
Aceh yang dihapuskan pemerintah pusat pada waktu itu

Ketika Teungku Daud Beureueh berontak dan mendirikan
Darul Islam di Aceh, Teungku Amir Husin Al-Mu -
jahid ditunjuk sebagai Ketua Majelis Syura (semacam
DPR) negara bagian dari NII (Negara Islam Indonesia).
Tetapi ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilancarkan
oleh Gani Usman dan Hasan Saleh terhadap
Teungku Muhammad Daud Beureueh selaku Wali Negara
Darul Islam, maka Teungku Amir Husin Al-Mujahid pun
segera saja meninggalkan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Bersama A . Gani Usman serta Hasan Saleh.mareka membentuk Dewan Revolusi.

Semangat yang ada dalam diri para Pemuda PUS A
dimanfaatkan oleh Tengku Amir Husin Al-Mujahid. Mereka
membentuk Tentara Perjuangan Rakyat (TPR), di bawah
pimpinan Amir Husin Al-Mujahid. TPR lahir di Idi dan
bertujuan untuk memperbaiki Pemerintahan Daerah Aceh
yang masih labil, dan menurut mereka tidak dapat dipercaya
meneruskan revolusi nasional seperti yang dikehendaki
oleh rakyat banyak. Mereka menganggap dalam aparat
pemerintahan di Aceh masih terdapat anasir-anasir feodal
dan yang pro feodal, yang dikhawatirkan merupakan hambatan
bagi jalannya revolusi.

D i samping itu TPR juga bermaksud
menghapuskan sistem pemerintah feodal yang berjalan
berabad-abad di tanah Aceh dengan jalan menurunkan
seluruh Uleebalang yang masih ada, walaupun mereka tidak
segolongan dengan Uleebalang Cumbok(sumber biografi mayjen Syamaun Gaharu)