Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Rabu, 26 Agustus 2015

KEGANASAN DI KEUREUTO


Dataran rendah Keureuto pada masa perang melawan Belanda adalah basis utama para pejuang yang tak kenal kata menyerah. Tersebutlah nama sepasang sejoli muda bernama Cut Meutia dan suaminya yang bernama Teuku Cut Muhammad, mereka bergerilya tanpa henti di Rimba Pasee bersama-sama.  Meski perang agak mereda di ujung barat Aceh, nun di bagian utara perang itu baru saja menemukan moment permulaannya.


Kancah tempur pertama pasangan ini terselip rapi dalam tulisan kisah hidup seorang penginjak rem kereta api Belanda yang merupakan pribumi.  Pada saat itu Belanda mulai membuka jalur kereta api uap yang menghubungkan Lhokseumawe, Matang Kuli dan Lhoksukon. Sepanjang jalur baru itu hanya hamparan rawa yang ditanami setahun sekali dengan padi serta hutan rumbia dan pinang saja adanya. Pada jalur seram inilah Karim si penginjak rem ini mengalami saat-saat tragis hidupnya, kereta api tempat dia bekerja dihadang dan disergap oleh kelompok gerilyawan Aceh pimpinan Teuku Cut Muhammad ditengah hutan pinang tak jauh dari Lhoksukon.

Karim mencatat kengerian yang mendadak datang setiap kali kereta melintasi hutan-hutan pinang dan tanaman rendah pandan di kiri kanan rel. Mata para tentara Belanda yang mengawal kereta api awas memeriksa rerumputan yang tumbuh meninggi. Mereka sangat sadar bahwa kapan saja dibalik rerimbunan semak para pejuang setiap saat telah siap dengan moncong bedil dan kilap kelewangnya. Para pejuang ini sama sekali tak dihantui oleh ketakutan akan kematian. Seakan kematian adalah ekspektasi terindah yang hendak dicapai manusia semacamnya. Karena itu pada saat-saat kereta merangkak pelan disela bebatang pinang para penumpang kereta seakan memasuki detik-detik horor tak terperikan.

Benar saja pada sebuah hari berhujan kecil dan mendung serta pucuk-pucuk rumput masih dinodai lumpur bekas banjir. Disebuah hutan pinang kecil lepas dari perkampungan Lhoksukon, kereta disergap oleh gerilyawan pada siang bolong. Meski telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan itu tak urung para penumpang yang terdiri dari tentara dan beberapa tenaga sipil medis tidak mampu bertahan mendapatkan serangan mendadak itu. Satu demi satu tubuh para manusia kolonial itu dicacah kelewang dan rencong penyerangnya.

Karim yang malang tertangkap hidup oleh pasukan Teuku Cut Muhammad namun nasibnya masih lebih baik dibandingkan dengan nasib tentara Belanda dan para penumpang lain kereta api tersebut, mereka yang tak selamat terpaksa menjemput ajal diujung bedil dan tetakan kelewang para prajurit Aceh. Nasib malang Karim terbantu pula oleh keislamannya, karena ia mampu mengucapkan dua kalimat syahadat ketika para penangkap menyergapnya maka ia tidak segera dibunuh pada saat itu. Setelah ia sembuh dari luka-lukanya konon pula ia mampu melarikan diri ke induk pasukan Belanda di Lhokseumawe.

Kiprah lain Teuku Cut Muhammad setelah insiden kereta api itu adalah saat terjadinya penyerangan malam di krueng kecil yang melintas dipinggiran kampung Sampoyniet. Tipuan gerilyawan Aceh yang termakan oleh Belanda adalah strategi dalam penyergapan yang tidak biasa ini. Pihak Aceh mengerahkan intelejen dalam strategi ini, intelejen Aceh menyiarkan khabar bohong akan adanya kenduri besar selamatan pasca kesuksesan gerilyawan menyerang kereta api beberapa tempo sebelumnya. Kenduri besar itu dilakukan di kampung Piyadah, sebuah kampung yang terkenal dalam kisah Malem Diwa.

Tipuan ini hanya umpan tak urung menarik minat perwira Belanda untuk segera mengirimkan tentaranya ke kampung Piyadah. Dibawah komando Letnan P.R.D. de Kok para infanteri yang terdiri dari bangsa Eropa dan pribumi itu bergerak, mereka sama sekali tidak menyadari taktik licik ini. Tujuan mereka hanya satu, menghancurkan pejuang Aceh yang sedang larut dalam kenduri besar kampung Piyadah. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pesta sesungguhnya tidaklah dikampung Piyadah, tetapi pada lereng sungai dan semak gelagah krueng Sampoyniet.

Guna menghindari pengintaian pihak Aceh, tentara Belanda memilih perjalanan pada waktu malam hari dari tangsi Lhoksukon. Perkiraannya bila tidak meleset mereka akan tiba di Piyadah menjelang subuh. Saat yang tepat untuk menyergap musuh yang sedang lelah setelah pesta besar. Malam itu masih dalam musim penghujan didataran rendah Keureutoe. Jalanan adalah persawahan becek yang dipenuhi lintah darat. Tengah malam mereka tiba di Sampoyniet dan segera hendak menyeberangi sungai kecil yang sedang banjir airnya bergejolak, air lumpur kiriman dari gunung Geureudong diselatan.

Beruntunglah mereka mendapati beberapa sampan yang cukup untuk menyeberangkan keseluruhan pasukan yang jumlahnya tidak seberapa itu. Para pemilik perahu dibangunkan dari tidur mereka dirumah-rumah panggung mereka disekitar kampung Sampoyniet. Nyatanya para pendayung perahu ini bukanlah pemilik sampan yang sebenarnya, mereka adalah para pejuang Aceh yang telah meyiapkan kejutan tak terlupakan buat tentara Belanda. Belasan sampan yang teronggok dipinggir sungai pun bukan sampai seperti biasanya. Sampan kayu ini telah dilobangi pada bagian tengah, lubang yang cukup besar untuk menenggelamkan keseluruhan sampan bila sumbatnya dicabut.

Dengan satu perintah dari mulut De Kock sampan melaju tenang membelah arus sungai membanjir itu, tepat pada pertengahan sungai tiba-tiba terdengar salak senapan, para pendayung serentak mencabut sumbat sampan mereka lalu seisi sampan berlompatan ke air deras. Susah payah para tentara Belanda yang tidak menyangka kejadian ini berenang ke pinggiran. Namun begitu menjangkau pucuk gelagah disisi sungai mereka segera dihadiahi pelor panas dan tebasan kelewang Aceh.

Hingga menjelang subuh gerilyawan Aceh berpesta darah para musuhnya ditepi sungai itu. Dalam gelap dan dingin itu dua puluh delapan nyawa lepas dari jasad tentara-tentara malang. Sementara puluhan pucuk senapan mereka segera beralih tangan, para pemilik baru senapan itu tersenyum puas bertakbir mensyukuri kemenangan besar malam itu. Pesta kenduri yang digadang-gadangkan telah tuntas. Para jasad tak bernyawa dionggok disepanjang tepi sungai menjadi santapan buaya muara. Tubuh-tubuh tercincang sesuka penyerang ganas itu menciutkan nyali bala bantuan yang dikerahkan guna mengumpulkan jenazah tentara korban perang.

Keganasan Teuku Cut Muhammad berikutnya adalah bivak kecil Belanda di gampong Meurandeh Paya. Korban kali ini adalah seorang perwira beringas bernama Sersan Vollaers yang baru saja menyelasaikan misi penyerangan terhadap pejuang Aceh di sekitar pinggiran rimba Samarkilang. Vollaers memimpin tidak kurang dari tujuh belas prajurit dan beberapa orang manusia rantai. Dalam perburuan melelahkan itu Vollaers dan pasukannya mencapai gampong Meurandeh Paya dan mendapati bahwa gampong itu agak ramai sehingga membuat hatinya merasa nyaman mengambil tempat istirahat pada meunasah gampong.

Selama beberapa hari menempati bivak meunasah itu Sersan Vollaers benar-benar mengistirahatkan diri dan pasukannya. Meurandeh Paya adalah kampung yang tenang dan aman menurut catatan Belanda. Sersan Vollaers yakin akan hal itu terlebih ketika ia melihat diluar komplek meunasah para pedagang dengan semarak menjajakan dagangannya, bahkan para pedagang itu dengan ramah seakan penuh kesenangan hati menawarkan dagangannya buat pasukan yang kelelahan itu. Vollaers yang kenyang asam garam perang kolonial di Aceh tahu betul bahwa tidak mungkinlah dikampung senyaman Meurandeh Paya para rakyatnya berpikir nekad menceburkan diri dalam kancah perang yang brutal ini.

Karena keyakinan itu kepada pedagang-pedagang baik hati oleh Vollaers dibebaskan keluar masuk komplek meunasah yang sementara dijadikan bivak para prajurit. Meski para pedagang terlihat membawa rencong dan kelewang, namun sebagaimana adat orang-orang Aceh di Pasee hal itu bukanlah sebuah ancaman melainkan kebiasaan semata, demikian agaknya dibenak Vollaers sehingga ia dan bawahannya tidak menaruh curiga sama sekali.

Keramah tamahan warga Meurandeh Paya begitu menenangkan membuat Vollaers lengah.  Perwira yang sedang melepas lelah setelah berpekan-pekan dihutan itu tidak mempedulikan kewaspadaan seorang perwira. Ia bahkan lebih menyibukan diri dengan bacaan yang dibawanya dari Batavia. Hingga suatu ketika yang tak diduga keributan itu terjadi. Keramahan orang-orang Aceh mendadak beralih rupa menjadi keberingasan yang tak terperi. Para pedagang dengan rencong dan kelewang menyerbu meunasah. Membunuhi setiap Belanda dan pribumi bersenjata maupun tak bersenjata dari pihak Belanda. 

Penyerangan itu membuat seluruh pasukan Belanda dalam bivak menanggalkan nyawa ditempat itu, hanya satu orang saja yang lolos melarikan diri ke Lhokseumawe. Lagi-lagi oleh pejuang Aceh senjata-senjata mereka dirampas dan jenazah para korban dicincang hingga tak berbentuk. Hari itu bertanggal 26 Januari tahun 1903, berselang bulan dari dua peristiwa di Lhoksukon dan Sampoyniet. Belanda telah kehilangan puluhan prajuritnya di medan gerilya Keureutoe.

Dua bulan kemudian melalui sebuah taktik licik Belanda yang mengundang Teuku Cut Muhammad ke Lhokseumawe namun menangkap tokoh Aceh itu di Geudong. Setelah melalui pengadilan militer kolonial Teuku divonis hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan kemudian di pantai kota Lhokseumawe. Sebelum menjalani hukuman eksekusi mati, Teuku masih sempat menerima kunjungan terakhir isterinya tercinta Cut Meutia. Kepada Cut Meutia diwariskan perjuangan yang diembannya selama ini. Wanita baja dari Pirak itu pula kelak yang namanya harum keseluruh kepulauan Nusantara sebagai wanita pejuang yang mengabdikan hidup demi kemerdekaan anak cucu bangsanya.



Selasa, 25 Agustus 2015

SURAT PADUKA SRI SULTAN MUHAMMAD DAUDSYAH KEPADA KHALIFAH TURKYE

Membaca surat ini sepintas lalu, maka kesan yang pertama sekali terbetik dalam benak: surat ini berisi keluhan. Apalagi di dalamnya, secara jelas, penulis surat menyatakan ia mengadukan perihal kesulitan dan kepedihan yang sedang dialami oleh diri dan bangsanya. Boleh jadi, karena itu, ada orang yang akan menganggap penulisnya adalah seorang yang berkepribadian lemah, tidak tegar, bukan pahlawan dan berbagai prasangka lain semisalnya. Namun apakah orang yang membuat penilaian demikian telah benar-benar membaca surat ini dan memahaminya? Saya menyangsikan hal itu, malah yakin ia belum benar-benar membacanya.
Sejatinya, penulis surat adalah seorang yang sangat tegar, kuat dan pahlawan dalam makna yang sesungguhnya. Bahkan lebih dari itu, ia adalah seorang yang amat setia. Setia kepada Agamanya, kepada umatnya, dan kepada rakyat bangsanya. Suatu sikap yang terus ia buktikan sampai nafas terakhirnya ia hembuskan di pembuangan. Dan tentu saja perayaan 17 Agustus akan melewatkan orang-orang semisal penulis surat ini, di samping saya yakin dia juga tidak pernah berharap dirinya dikenang dalam perayaan semacam itu. Batu pijakannya lain, arah haluannya lain, dan cita-citanya juga lain.
Bergunung kekecewaan dan ketidakberuntungan menindih perjalanan hidupnya namun harus diakui ia adalah seorang yang tegar, kuat dan setia. Lain dari itu tentang dirinya, saya tidak percaya. Sungguh tidak mudah bagi seseorang bertahan untuk melalui tahun-tahun kepedihan seperti yang ia lalui; saat tanah negerinya direbut oleh musuh Allah, saat bangsa-bangsa Islam kemudian harus kehilangan Amirul Mu'minin dan khilafahnya, dan saat ia melihat rakyatnya berangsur berpaling untuk mengikuti langkah musuhnya. Ia harus menahan perih fisik dalam pengasingan, sementara perih batinnya adalah sesuatu yang takkan terkira.
Dalam surat ini, Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah melaporkan dan mengadukan perihal yang dialami oleh diri dan bangsanya kepada Khalifatul Muslimin dan Amirul Mu'minin.
Selain kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada siapakah lain yang layak ia lapor dan adukan halnya? Kepada Belanda seperti para raja negeri-negeri lain yang tunduk kepada Pemerintah Hindia-Belanda? Tentu tidak, dan tak pernah akan. Baginya, Belanda adalah kafir mal'un 'aduwullah (kafir terkutuk, musuh Allah).
Atau ia akan memilih berlayar dengan angin nasionalisme yang sudah mulai berhembus sejak penghujung abad ke-18 dan menguat di abad ke-19? Tentu, tidak. Ia sama sekali bukan pengagum Mustafa Kamal Ataturk (1881-1938), dan tidak pernah sepertinya! Malah, saya yakin sampai dengan wafatnya pada 6 Februari 1939, ia masih memimpikan kebangkitan Islam dan umatnya sebagaimana mimpi Sultan Abdul Hamid II (1842-1918) ke mana surat ini ditujukan pada tanggal 25 Muharram 1315 (26 Juni 1897).
Dengan demikian, bukankah ia seorang yang teguh dalam pendiriannya, seorang yang memiliki kepribadian kuat, dan lebih dari itu ia adalah orang yang setia kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada umat dan rakyatnya. Ia tetap berdiri dan melangkah di garis para leluhurnya, para sultan yang besar, dan tidak pernah menyimpang. Jika kemudian kita sering mendengar tentang cerita penyerahan diri Sultan Muhammad Dawud Syah, saya malah jadi bertanya-tanya kenapa hanya peristiwa ini yang sering diceritakan sementara perjalanannya yang panjang dalam tahun-tahun kepedihan justru seolah tersaput kabut. Lagi pula, setelah "penyerahan dirinya", ia tidak memerintah di bawah Belanda tapi justru dibuang ke Betawi, pusat pemerintahan kolonial. T. Ibrahim Alfian telah menuturkan sebab pembuangannya ke Betawi yang menjadi tanda dan bukti ia tidak pernah melepaskan kesetiaan kepada apa yang telah dijadikannya sebagai prinsip dalam hidupnya.
Hari ini, kita masih berkesempatan untuk menyimak kembali penuturan Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud tentang tahun-tahun kepedihan yang beliau lalui, tentang penyebab langsung perang Aceh-Belanda (panjangnya dapat dibaca dalam beberapa kepustakaan yang telah tersedia), tentang asal muasal kesetiaan Sultan Aceh kepada Khalifah Muslimin di Istambul dan hubungan di antara keduanya, tentang kebiadaban dan kekejian Belanda yang sampai pada tingkat menangkap, merampas dan membunuh nelayan yang pergi mencari ikan di laut. Dan pada saat beliau mengisahkan tentang bagaimana peluru yang ditembakkan dengan mesin menghujani beliau dan rakyat Aceh, saat beliau menuturkan itu, saya jadi seperti benar-benar menyaksikannya. Semoga rahmat Allah senantiasa terlimpahkan kepada beliau, Sultan dalam tahun-tahun kepedihan.
Berikut ini adalah surat Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah ditulis dalam Bahasa Jawi disertai cap mohor beliau:
Bahwa ini waraqah Al-Ikhlas yang dipesertakan di dalamnya dengan beberapa2 hormat dan selamat yaitu daripada hamba yang hina Sri Paduka Yang Dipertuan Raja 'Alauddin Muhammad Dawud Syah Ibnu As-Sultan Al-Marhum 'Alauddin Manshur Syah dan Sri Paduka Bangta Muda bersemayam di atas singgahsana tahta kerajaan Negeri Aceh Darussalam, yaitu Pulau Sumatera, barangdisampaikan Allah Tuhan seru sekalian alam datangkan mendapat kehadapan majlis hadrat Sri Paduka Yang Mulia Maulana Al-Khaqan Al-A'zham Al-Mu'azhzham Khadimul Haramain Asy-Syarifain Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin (Tuan kami Khaqan yang agung lagi dipertuan agung pelayan dua Tanah Haram yang mulia, khalifah Muslimin, Amirul Mu'mini--MZ.) Maulana Al-Mu'azhham Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid Khan Ibnu Al-Marhum Maulana Sultan Abdul Majid Khan yang ada sekarang di dalam Negeri Istambul yang memerintah Agama Allah dan Syari'at Muhammad bin 'Abdullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam--Sallamahullah fid darain (semoga Allah menyelamatkanya di dunia dan akhirat).
Wa Ba'dahu, daripada itu maka hamba merafa'kan (mengangkat/mengirim--MZ) secarik kertas ke hadapan Hadarat ke bawa cerpu (sandal kulit yang bentuknya seperti terompah--MZ) Sri Paduka Tuan hamba karana harap hamba bahwa akan tilik dan pandang dan kenangan Hadarat Sri Paduka hamba yang mahamulia di atas hamba satu raja Islam min ahli La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah (dari pemeluk La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah--MZ) yang dha'if, dan lagi vizir (wazir) hamba yang dha'if2 dan segala orang ra'yat hamba Islam yang ada mereka itu di dalam Negeri Aceh Darussalam yang telah dianiayai oleh kafir mal'un 'aduwullah (kafir terkutuk, musuh Allah--MZ.) Bangsa Belanda dengan tiada kesalahannya telah jadi peperangan dan bermusnah2an dengan beberapa2 negeri dan beberapa2 masjid dan segala zawiyah, dan sekalian makam aulia2 habis dibakarnya dan beberapa2 makam yang tinggi habis diratakannya, dan sekalian makam raja2 habis dibinasakannya diratakannya.
Demikianlah diperbinasakan di atas Agama Islam hingga sampai kepada tarikh surat ini kepada dua puluh lima tahun (25) lamanya tiada berhenti2 dengan perang. Tambah lagi sekarang ini diperanginya kita dengan peluru hujan tiada ada di dalam hadat (adat/kebiasaan) sekali kali. 
Dengan sebab hal ini hamba merafa'kan sembah ke hadapan Hadarat Sri Paduka Tuan hamba yang maha mulia daripada asalnya yang telah jadi demikian ini sebab seorang Hindu yang sudah masuk Islam namanya Panglima Tibang maka mereka itu telah dipercaya oleh ayahanda hamba yang bernama Sultan Mahmud Syah maka Hindu itulah membuat sepucuk surat kepada Hulanda diperbuatnya dengan nama ayahanda hamba itu Sultan Mahmud Syah serta diambil cap dengan tiada diketahui oleh saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah maka Hindu itu pun keluarlah dari Aceh pergi ke Negeri Riau mendapatkan wakil Hulanda yang di situ lalu pergi ke Betawi kepada gubernur jendral yang besar daripada Raja Hulanda.

Maka dengan hal itu apabila Gubernur Jenderal mendapatkan surat yang ada dengan cap mohor ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah itu percayalah Gubernur Jenderal maka disuruhilah seorang wakilnya serta dengan berapa bacik (nakhoda--MZ.) kapal perang pergi di Aceh maka apabila sampai di Aceh baciklah wakil jenderal itu ke darat berjumpalah ia dengan pegawai yang kecil2. Maka Wakil Jenderal Hulanda pun menyatakan yang Gubernur Jenderal sudah menerima surat daripada Sultan Mahmud Syah. Sekarang ini ia hendak masuk ke Negeri Aceh.
Apabila diterima oleh wazir2 yang di dalam Negeri Aceh terkejutlah dengan hal itu. Bermusyawaratlah wazir2 Aceh yang besar2 itu. Setelah putus musyawaratnya dipinta tunggu tiga tahun kepada Hulanda oleh sebab wazir2 itu tiada berani menerima Hulanda masuk ke Negeri Aceh karana saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah umurnya pada masa itu tujuh belas (17) tahun, belum lagi sempurna aqalnya. Kedua perkara, wazir2 hendak merafa'kan sembah dahulu ke hadarat yang maha mulia Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dari karana pada zaman yaitu Daulat Al-Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghaziy Salim Khan, Nenekda hamba pada zaman masa dahulu yang bernama Sultan Iskandar Muda telah mengaku menjadi khadam serta menerima karuniai daripada Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan AL-Ghaziy Salim Khan satu meriam tembak mirah panjang dua belas (12) hasta, dan nobat (gendang besar--MZ) dan satu (?) seruas (?) nafiri daripada perak, dan empat puluh empat (44) orang yang bersama2 [?] daripada Bangsa Turuki. Dan lagi kemudian daripada itu pada masa Nenekda hamba yang bernama Sultan Ibrahim Manshur Syah telah menyuruh seorang yang bernama Sayyid Muhammad Ghuts mengadap ke Hadarat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi Abdul Majid Khan. Maka mekaruniakan [pada?] oleh Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi 'Abdul Majid Khan kepada Nenekda hamba itu Sultan Ibrahim Manshur Syah suatu bintang Majidi (bintang kehormatan Sultan 'Abdul Majid Khan--MZ) serta sebilah pedang besarung emas. 
Dengan sebab itulah musyawarat wazir2 segala ada dipinta tunggu kepada Hulanda tiga (3) tahun maka permintaan itu tiada dikabulkan, kemudian lagi dipinta tunggu (tangguh) enam bulan tiada juga dikabulkan, kemudian dipinta tunggu (tangguh) tiga bulan tiada juga dikabulnya permintaan itu. Maka peranglah oleh Hulanda Negeri Aceh. Sampai tarikh surat ini, berperang bangsa Islam2 Aceh dengan bangsa kafir mal'un 'aduwullah Hulanda.

Lagi diperbuatnya macam2 di atas hamba yang tiada patut yang di dalam adat aturan di atas sekalian raja2 berperang dengan satu raja, diperbuatnya seperti seorang perempuan telah diikat dipukulnya, di atas hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah, yang tiada kuasa usahakan diwushul (dicapai) diperiksanya apa2 yang kurang yang tiada cukupnya pekakas itu peperangan, dan sekalian kuala2 jajahan hamba ditutup daripada awalnya dan sekalian saudagar2 yang ulang pergi datang berniaga barang makanan pun tiada boleh, habis ditangkap dibuangnya.
Maka dengan sebab itulah tiada boleh lepas bicara hamba mengadukan untungan hamba yang di dalam aniaya kafir Hulanda kepada Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dan kepada segala raja-raja Islam yang lain.
Dan ini tambahan lagi di dalam ini tahun makin berganda2 keras hukumnya hatta sekalian orang2 miskin mencari ikan di tepi laut pun habis ditangkap rampas dan bunuhnya. Demikianlah diperbuat zhalim di atas hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah. 
Dan bertambah lagi ini tahun dia ujani hamba dan rakyat2 hamba dengan ujan peluru dengan "engine" (mesin) hamba yang tiada kuasa. 
Maka sekarang ini berserahlah untung nasib sendiri kepada Allah dan Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan kepada Maulana Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghazi 'Abdul Hamid Khan di Istambul adanya.

Maka hamba haraplah diterima perserahan hamba ini oleh Tuan hamba yang maha mulia supaya terpeliharalah Agama Allah dan Syariat Al-Muhammadiyyah dan untungan hamba dan sekalian Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang di dalam aniaya mal'un 'aduwullah kafir Hulanda ini.
Hendaklah dengan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia di atas hamba yang dha'if, satu raja Islam dengan sekalian wazir2 Islam dan sekalian rakya2 Islam yang di dalam Negeri Aceh ini, yang telah haraplah hamba seperti langit dan bumi akan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia Khalifatullah fil Ardh Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid Khan di atas hamba sekalian yang dha'if yang di dalam 'azaban syadidan ("siksa yang pedih") adanya. Wassalam, khitam. Tammatil Kalam bil khairi Ajma'in. Amin Allahumma Amin.
Tersurat di dalam Negeri Aceh Darussalam kepada 25 bulan Muharram kepada sanah 1315 (H)(Musafir zaman)