Dataran rendah Keureuto pada masa perang melawan Belanda adalah basis utama para pejuang yang tak kenal kata menyerah. Tersebutlah nama sepasang sejoli muda bernama Cut Meutia dan suaminya yang bernama Teuku Cut Muhammad, mereka bergerilya tanpa henti di Rimba Pasee bersama-sama. Meski perang agak mereda di ujung barat Aceh, nun di bagian utara perang itu baru saja menemukan moment permulaannya.
Kancah tempur pertama pasangan ini terselip rapi dalam tulisan kisah hidup seorang penginjak rem kereta api Belanda yang merupakan pribumi. Pada saat itu Belanda mulai membuka jalur kereta api uap yang menghubungkan Lhokseumawe, Matang Kuli dan Lhoksukon. Sepanjang jalur baru itu hanya hamparan rawa yang ditanami setahun sekali dengan padi serta hutan rumbia dan pinang saja adanya. Pada jalur seram inilah Karim si penginjak rem ini mengalami saat-saat tragis hidupnya, kereta api tempat dia bekerja dihadang dan disergap oleh kelompok gerilyawan Aceh pimpinan Teuku Cut Muhammad ditengah hutan pinang tak jauh dari Lhoksukon.
Karim mencatat kengerian yang mendadak datang setiap kali kereta melintasi hutan-hutan pinang dan tanaman rendah pandan di kiri kanan rel. Mata para tentara Belanda yang mengawal kereta api awas memeriksa rerumputan yang tumbuh meninggi. Mereka sangat sadar bahwa kapan saja dibalik rerimbunan semak para pejuang setiap saat telah siap dengan moncong bedil dan kilap kelewangnya. Para pejuang ini sama sekali tak dihantui oleh ketakutan akan kematian. Seakan kematian adalah ekspektasi terindah yang hendak dicapai manusia semacamnya. Karena itu pada saat-saat kereta merangkak pelan disela bebatang pinang para penumpang kereta seakan memasuki detik-detik horor tak terperikan.
Benar saja pada sebuah hari berhujan kecil dan mendung serta pucuk-pucuk rumput masih dinodai lumpur bekas banjir. Disebuah hutan pinang kecil lepas dari perkampungan Lhoksukon, kereta disergap oleh gerilyawan pada siang bolong. Meski telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan itu tak urung para penumpang yang terdiri dari tentara dan beberapa tenaga sipil medis tidak mampu bertahan mendapatkan serangan mendadak itu. Satu demi satu tubuh para manusia kolonial itu dicacah kelewang dan rencong penyerangnya.
Karim yang malang tertangkap hidup oleh pasukan Teuku Cut Muhammad namun nasibnya masih lebih baik dibandingkan dengan nasib tentara Belanda dan para penumpang lain kereta api tersebut, mereka yang tak selamat terpaksa menjemput ajal diujung bedil dan tetakan kelewang para prajurit Aceh. Nasib malang Karim terbantu pula oleh keislamannya, karena ia mampu mengucapkan dua kalimat syahadat ketika para penangkap menyergapnya maka ia tidak segera dibunuh pada saat itu. Setelah ia sembuh dari luka-lukanya konon pula ia mampu melarikan diri ke induk pasukan Belanda di Lhokseumawe.
Kiprah lain Teuku Cut Muhammad setelah insiden kereta api itu adalah saat terjadinya penyerangan malam di krueng kecil yang melintas dipinggiran kampung Sampoyniet. Tipuan gerilyawan Aceh yang termakan oleh Belanda adalah strategi dalam penyergapan yang tidak biasa ini. Pihak Aceh mengerahkan intelejen dalam strategi ini, intelejen Aceh menyiarkan khabar bohong akan adanya kenduri besar selamatan pasca kesuksesan gerilyawan menyerang kereta api beberapa tempo sebelumnya. Kenduri besar itu dilakukan di kampung Piyadah, sebuah kampung yang terkenal dalam kisah Malem Diwa.
Tipuan ini hanya umpan tak urung menarik minat perwira Belanda untuk segera mengirimkan tentaranya ke kampung Piyadah. Dibawah komando Letnan P.R.D. de Kok para infanteri yang terdiri dari bangsa Eropa dan pribumi itu bergerak, mereka sama sekali tidak menyadari taktik licik ini. Tujuan mereka hanya satu, menghancurkan pejuang Aceh yang sedang larut dalam kenduri besar kampung Piyadah. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pesta sesungguhnya tidaklah dikampung Piyadah, tetapi pada lereng sungai dan semak gelagah krueng Sampoyniet.
Guna menghindari pengintaian pihak Aceh, tentara Belanda memilih perjalanan pada waktu malam hari dari tangsi Lhoksukon. Perkiraannya bila tidak meleset mereka akan tiba di Piyadah menjelang subuh. Saat yang tepat untuk menyergap musuh yang sedang lelah setelah pesta besar. Malam itu masih dalam musim penghujan didataran rendah Keureutoe. Jalanan adalah persawahan becek yang dipenuhi lintah darat. Tengah malam mereka tiba di Sampoyniet dan segera hendak menyeberangi sungai kecil yang sedang banjir airnya bergejolak, air lumpur kiriman dari gunung Geureudong diselatan.
Beruntunglah mereka mendapati beberapa sampan yang cukup untuk menyeberangkan keseluruhan pasukan yang jumlahnya tidak seberapa itu. Para pemilik perahu dibangunkan dari tidur mereka dirumah-rumah panggung mereka disekitar kampung Sampoyniet. Nyatanya para pendayung perahu ini bukanlah pemilik sampan yang sebenarnya, mereka adalah para pejuang Aceh yang telah meyiapkan kejutan tak terlupakan buat tentara Belanda. Belasan sampan yang teronggok dipinggir sungai pun bukan sampai seperti biasanya. Sampan kayu ini telah dilobangi pada bagian tengah, lubang yang cukup besar untuk menenggelamkan keseluruhan sampan bila sumbatnya dicabut.
Dengan satu perintah dari mulut De Kock sampan melaju tenang membelah arus sungai membanjir itu, tepat pada pertengahan sungai tiba-tiba terdengar salak senapan, para pendayung serentak mencabut sumbat sampan mereka lalu seisi sampan berlompatan ke air deras. Susah payah para tentara Belanda yang tidak menyangka kejadian ini berenang ke pinggiran. Namun begitu menjangkau pucuk gelagah disisi sungai mereka segera dihadiahi pelor panas dan tebasan kelewang Aceh.
Hingga menjelang subuh gerilyawan Aceh berpesta darah para musuhnya ditepi sungai itu. Dalam gelap dan dingin itu dua puluh delapan nyawa lepas dari jasad tentara-tentara malang. Sementara puluhan pucuk senapan mereka segera beralih tangan, para pemilik baru senapan itu tersenyum puas bertakbir mensyukuri kemenangan besar malam itu. Pesta kenduri yang digadang-gadangkan telah tuntas. Para jasad tak bernyawa dionggok disepanjang tepi sungai menjadi santapan buaya muara. Tubuh-tubuh tercincang sesuka penyerang ganas itu menciutkan nyali bala bantuan yang dikerahkan guna mengumpulkan jenazah tentara korban perang.
Keganasan Teuku Cut Muhammad berikutnya adalah bivak kecil Belanda di gampong Meurandeh Paya. Korban kali ini adalah seorang perwira beringas bernama Sersan Vollaers yang baru saja menyelasaikan misi penyerangan terhadap pejuang Aceh di sekitar pinggiran rimba Samarkilang. Vollaers memimpin tidak kurang dari tujuh belas prajurit dan beberapa orang manusia rantai. Dalam perburuan melelahkan itu Vollaers dan pasukannya mencapai gampong Meurandeh Paya dan mendapati bahwa gampong itu agak ramai sehingga membuat hatinya merasa nyaman mengambil tempat istirahat pada meunasah gampong.
Selama beberapa hari menempati bivak meunasah itu Sersan Vollaers benar-benar mengistirahatkan diri dan pasukannya. Meurandeh Paya adalah kampung yang tenang dan aman menurut catatan Belanda. Sersan Vollaers yakin akan hal itu terlebih ketika ia melihat diluar komplek meunasah para pedagang dengan semarak menjajakan dagangannya, bahkan para pedagang itu dengan ramah seakan penuh kesenangan hati menawarkan dagangannya buat pasukan yang kelelahan itu. Vollaers yang kenyang asam garam perang kolonial di Aceh tahu betul bahwa tidak mungkinlah dikampung senyaman Meurandeh Paya para rakyatnya berpikir nekad menceburkan diri dalam kancah perang yang brutal ini.
Karena keyakinan itu kepada pedagang-pedagang baik hati oleh Vollaers dibebaskan keluar masuk komplek meunasah yang sementara dijadikan bivak para prajurit. Meski para pedagang terlihat membawa rencong dan kelewang, namun sebagaimana adat orang-orang Aceh di Pasee hal itu bukanlah sebuah ancaman melainkan kebiasaan semata, demikian agaknya dibenak Vollaers sehingga ia dan bawahannya tidak menaruh curiga sama sekali.
Keramah tamahan warga Meurandeh Paya begitu menenangkan membuat Vollaers lengah. Perwira yang sedang melepas lelah setelah berpekan-pekan dihutan itu tidak mempedulikan kewaspadaan seorang perwira. Ia bahkan lebih menyibukan diri dengan bacaan yang dibawanya dari Batavia. Hingga suatu ketika yang tak diduga keributan itu terjadi. Keramahan orang-orang Aceh mendadak beralih rupa menjadi keberingasan yang tak terperi. Para pedagang dengan rencong dan kelewang menyerbu meunasah. Membunuhi setiap Belanda dan pribumi bersenjata maupun tak bersenjata dari pihak Belanda.
Keramah tamahan warga Meurandeh Paya begitu menenangkan membuat Vollaers lengah. Perwira yang sedang melepas lelah setelah berpekan-pekan dihutan itu tidak mempedulikan kewaspadaan seorang perwira. Ia bahkan lebih menyibukan diri dengan bacaan yang dibawanya dari Batavia. Hingga suatu ketika yang tak diduga keributan itu terjadi. Keramahan orang-orang Aceh mendadak beralih rupa menjadi keberingasan yang tak terperi. Para pedagang dengan rencong dan kelewang menyerbu meunasah. Membunuhi setiap Belanda dan pribumi bersenjata maupun tak bersenjata dari pihak Belanda.
Penyerangan itu membuat seluruh pasukan Belanda dalam bivak menanggalkan nyawa ditempat itu, hanya satu orang saja yang lolos melarikan diri ke Lhokseumawe. Lagi-lagi oleh pejuang Aceh senjata-senjata mereka dirampas dan jenazah para korban dicincang hingga tak berbentuk. Hari itu bertanggal 26 Januari tahun 1903, berselang bulan dari dua peristiwa di Lhoksukon dan Sampoyniet. Belanda telah kehilangan puluhan prajuritnya di medan gerilya Keureutoe.
Dua bulan kemudian melalui sebuah taktik licik Belanda yang mengundang Teuku Cut Muhammad ke Lhokseumawe namun menangkap tokoh Aceh itu di Geudong. Setelah melalui pengadilan militer kolonial Teuku divonis hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan kemudian di pantai kota Lhokseumawe. Sebelum menjalani hukuman eksekusi mati, Teuku masih sempat menerima kunjungan terakhir isterinya tercinta Cut Meutia. Kepada Cut Meutia diwariskan perjuangan yang diembannya selama ini. Wanita baja dari Pirak itu pula kelak yang namanya harum keseluruh kepulauan Nusantara sebagai wanita pejuang yang mengabdikan hidup demi kemerdekaan anak cucu bangsanya.
Dua bulan kemudian melalui sebuah taktik licik Belanda yang mengundang Teuku Cut Muhammad ke Lhokseumawe namun menangkap tokoh Aceh itu di Geudong. Setelah melalui pengadilan militer kolonial Teuku divonis hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan kemudian di pantai kota Lhokseumawe. Sebelum menjalani hukuman eksekusi mati, Teuku masih sempat menerima kunjungan terakhir isterinya tercinta Cut Meutia. Kepada Cut Meutia diwariskan perjuangan yang diembannya selama ini. Wanita baja dari Pirak itu pula kelak yang namanya harum keseluruh kepulauan Nusantara sebagai wanita pejuang yang mengabdikan hidup demi kemerdekaan anak cucu bangsanya.