Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Senin, 04 November 2013

INONG ACEH DIMATA BELANDA

gambar 0.1 cover buku atjeh
Berbicara sejarah aceh yang begitu panjang, tidak akan juga kita melupakan pejuang perempuan aceh yang begitu tangguh berjuang berbarengan dengan suami-suami mereka. dimata mereka terpancar sebuah kebencian yang sangat besar terhadap kaphe Belanda. tidak ada kata menyerah bahkan perempuan-perempuan aceh yang tangguh ini mengutuk suami mereka sendiri jika suami mereka lari dari pertempuran,

‘Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati bahkan merekapun melampui kaum lelaki. Bukan sebagai wanita yang lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka diantara dua serbuan penyergapan.”
(sebuah ungkapan kekaguman HC Zentgraff, seorang kopral marsose veteran Perang Aceh, dalam bukunya ‘De Atjeh’)

gambar 0.2 tjut tjak meutia



kita tidak akan melupakan bagaimana pejuang perempuan aceh, Tcut Meutia,istri dari Teuku Chik di Tunong yang berperang bertahan-tahun di Keureutoe dan syahid pada tahun 1910 dalam usia 40 tahun. bahkan nisannya pun tidak diketahui keberadaannya. inilah pejuang sejati, wanita pemberani dari bumi rencong.



Begitu juga dengan Tjut Tjak Dhien, istri Teuku umur di meulaboh yang bertahun-tahun menghabiskan hidupnya untuk berperang melawan kaphe Belanda bahkan ketika suami nya telah syahid. wanita tangguh ini tetap tegar dalam memimpin pasukan pejuang aceh mempertahankan kedaulatan aceh. Menderita dalam lebatnya hutan belantara aceh hingga rambutnya beruban, mata nya tak lagi tajam menatap, kulitnya telah keriput bagaikan kulit kayu kering, namun semangat juangnya begitu luar biasa bahkan kaphe Belanda tidak berani menatap mata wanita tua ini. 

zentgraaff mengatakan " men kan gissen naar de grootte van het offer dat zij har nationale gedachte bracht " ( siapa yang melihat perjuangan Tjut Tjak Dhien, bisa memperkirakan seberapa besar pengorbanan yang sudah diberikan olehnya untuk pemikiran kebangsaan aceh)

gambar 0.2 tjt tjak dhien
satu lagi contoh pejuang wanita aceh yang begitu tangguh, beliau adalah Tjut Tjak Gambang anak dari Tjut Tjak Dhien dan istri dari Teuku Chik majet Di Tiro yang bersama suami nya berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa aceh. beliau syahid dalam peperangan di gunung Alimon pada tahun 1910. 

penulis Belanda mengatakan 
" saya berpikir tidak ada satu contoh yang sangat menyedihkan hati kita dari pada meninggalnya istri Teungku Tjhik Di tiro pada tahun 1910 yang membuktikan bagaimana wanita aceh berperang. bagaimana mereka tidak takut pada musuh dan memandang hina musuh dan tak akan pernah mau berdamai.

pada tahun 1909, kita (Belanda) mulai memerangi siapapun yang tersisa dari famili di Tiro yang sangat mahsyur dipenggunungan Tangse. Schmidt, panglima Belanda mencari bekas jejaknya dan selalu menunggu seperti anjing menuggu rusa.

pada akhir tahun 1910 mereka hampir tertangkap. Schmidt berhasil memerangi mereka yang masih bertahan. namun Teuku Tjhik majet di Tiro berhasil lolos. sementara istrinya Tjut Tjak Gambang berada dalam tangan kita dengan luka parah. beliau ditemukan setelah pembersihan medan perang. beliau menggunakan celana hitam dan baju hitam, masih sangat muda, kira-kira umur nya 30 tahun.

beliau terlentang dengan perut luka parah akibat tembakan walaupun kondisi sangat mengenaskan,raut wajahnya  terlihat sombong dan berani. tidak ada ketakutan dimatanya meski sekelilingnya dikuasai musuh. beliau menunggu ajalnya dengan tenang. 

Schmidt mendekatinya dan menawarkan air. dengan penuh hormat Schimidt bertnya dalam bahasa aceh, jika diizinkan dia akan membalut lukanya. ketika mendengar tawaran itu, beliau memalingkan wajahnya dan memarahinya " bek kamat kee kaphe ceulaka" (jangan sentuh aku hai kafir celaka )  beliau lebih memilih mati dari pada menerima pertolongan dari musuh yang ditatapnya seperti anjing. H.C. Zentgraaff, ace:63-64




Tidak ada komentar:

Posting Komentar