Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Selasa, 05 November 2013

Wali Naggroe Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman




Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman
Riwayat Kematian Teungku Tjik Di Tiro yang terakhir menjadi sebuah bahan roman sejarah yang tertanam dalam riwayat perang Aceh sebagai sejarah kepahlawanan yang snagat agung, sangat berani dan sangat kaya sehingga taka da selain itu yang bisa memberi kebesaran untuk suatu bangsa
[W.A Goudoever dan H.C.Zentgraaf, Sumantraantjes :167]

Pada tanggal 9 desember 1873, sebanyak 8.000 serdadu Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Van Swieten dan Jenderal Van Spijck, menyatakan pernag kembali dengan aceh.
Pada tanggal 6 januari 1874, belanda masuk ke pante pirak, bagian barat kutaraja(banda aceh) maka nyatalah belanda dalam satu bulan berperang hanya sanggup maju 4 kilometer saja semntara perang berlangsung siang dan malam.
Pada tanggal 12 januari 1874, Belanda masuk ke Kuta gunongan hanya mampu bergerak maju kira-kira 750 meter setelah sepekan berperang. Jarak Kuta Gunongan dengan istana hanya 100 meter lagi. Walau demikian serdadu Belanda tidak sanggung bergerak lagi.
Setelah berperang 12 hari 12 malam, barulah belanda berhasil masuk ke istana, itupun terjadi karena keputusan  Sultan Mahmud sjah  untuk pergi meninggalkan istana sebab lingkungan istana terserang wabah kolera karena banyaknya mayat di setiap sudut kuta.
Ketika Van Swieten masuk ke kutaraja, kondisi kutaraja sudah dikosongkan oleh sultan aceh. Hamper sama situasinya ketika Napoleon Bonaparte masuk ke kota Moskow pada tahun 1812, saat itu kota Moskow sudah dikosongkan. Napoleon marah besar karena tidak ada satu orangpun dari pemerintah Rusia yang bias menandatangani surat pernyataan menyerah.
Sultan Mahmud Sjah  memahami betul terhadap undang-undang international yang berlaku saat itu bahwa suatu wilayah tidak bisa dikatakan berhasil ditaklukkan tanpa adanya tandatangan pernyataan menyerah kepada musuh. Oleh karena itu sang sultan menolak menandatangani surat menyerah dan lebih memilih meninggalkan istana untuk mengatur ulang srategi perang.
Ketika Sultan Mahmud Sjah wafat pada tanggal 28 januari 1874 tanpa meninggalkan keturunan. Maka kekuasaan kerajaan Aceh dpegang oleh Majelis Negara Aceh yang terdiri dari Tuanku Hasyem, Teungku Panglima Polem Muda Kuala dan Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abee.
Pada tahun 1874 setahun setelah wafatnya sultan, Majelis Negara Aceh memilih Tuanku Muhammad Daud, salah seorang family dari sultan yang masih kanak kanak  sebagai sultan Aceh dibawah  bimbingan Tuanku Hasyem.
Ketika perang semakin dahsyat, dalam keadaan terjepit maka kekuasaan kerjaan diamanahkan kepada panglima perang Aceh Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sebagai wali nanggroe.
Dibawah pimpinan Wali Nanggroe sekaligus panglima perang  Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman keadaan berubah signifikan. Tentara Aceh yang telah selesai berperang ditata ulang sehingga menjadi lebih kuat dengan srategi perang yang lebih matang sehingga menjadi lebih kuat. Dalam keadaan ini bukan lagi Belanda yang meminta Aceh menyerah tetapi Aceh yang menyatakan perang Kembali kepada Belanda
Pada tahun 1884 belanda menyadari posisinya kian terjepit setelah melwati perang yang melelahkan melawan tentara Aceh pimpinan Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Belanda mulai berpikir untuk menyelamatkan diri mereka dan bertahan tanpa harus lari ke perairan seperti 11 tahun lalau saat mereka dikalahkan tentara aceh. Dengan maksud memprtahankan nama besar belanda sebagai pasukan yang kuat dimata dunia, maka semua pasukan belanda di Aceh memilih bertahan dalam suatu tenpat di Kuta Raja. Tempat tersebut diberi nama dalam bahsa Belanda dengan Geconcentreerde
Linie
atau Kuta meusapat.
Sejak tahun 1884-1896 atau selama 12 tahun berturut turut Belanda tidak berani keluar dari Kuta Meusapat untuk menghindarin Tentara Aceh.
Penulis Belanda bercerita :
“Hij vormde een vast leger….Hij liet onze geheele linie om-ringen door een kring van kleine zooveelmogelijk aan ons oog onttrokken bentengz, zoodat het er veel van had. Of hij het was, die ons met kracht van wapenen ingesloten ha “ J.Kreemer, Aceh ;27
Artinya  : Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sudah berhasil mendirikan sebuah pasukan yang gagah dan berani. Beliau memerintahkan untuk membangun benteng benteng kecil disekeliling benteng kami. Dan jika memungkinkan benteng itu didirikan didapan mata kita, sehingga beliau mengurung kita dengan kekuatan senjata.
Dalam surat menyurat  Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman dengan pemerintah Belanda pada September 1885. Aceh memberi peluang kepada Belanda agar tidak malu didepan dunia, maka belanda diizinan berdagang di Aceh dan mengakui kedaulatan Aceh. Namun  pada tanggal 15 agustus 1888 kabinet Belanda di Den Haag menolak tawaran yang diberikan Aceh.
Maka sesudah itu tentara Aceh benar-benar membersihkan serdadu Belanda dari Kuta Meusapat. Tentarab Aceh menyerang Belanda siang dan malam. Dan ketika terlihat tanda Belanda akan kembali dikalahkan oleh tentara Aceh.
“Aan den vijand waren alle voordeelen van het initiatief in de hoogste mate verzekerd, thans was hij hefc, die offensief kon optreden,terwijl wij one tot lijdelijke afweer moisten bapalen’
Artinya ;
Semua keuntungan yang baik dalam situasi ini dimiliki oleh musuh ( Aceh). Sekarang mereka sudah menyatakan perang kembali kepada kita (Belanda) seperti yang mereka mau, akan tetapi kita hanya bias bertahan dalam satu tempat. J.Kreemer. aceh ;27

[sumber : Aceh Dimata Dunia. Hasan Tiro]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar