Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman |
Riwayat Kematian
Teungku Tjik Di Tiro yang terakhir menjadi sebuah bahan roman sejarah yang
tertanam dalam riwayat perang Aceh sebagai sejarah kepahlawanan yang snagat
agung, sangat berani dan sangat kaya sehingga taka da selain itu yang bisa memberi
kebesaran untuk suatu bangsa
[W.A Goudoever dan H.C.Zentgraaf, Sumantraantjes :167]
[W.A Goudoever dan H.C.Zentgraaf, Sumantraantjes :167]
Pada
tanggal 9 desember 1873, sebanyak 8.000 serdadu Belanda yang dipimpin oleh
Jenderal Van Swieten dan Jenderal Van Spijck, menyatakan pernag kembali dengan
aceh.
Pada
tanggal 6 januari 1874, belanda masuk ke pante pirak, bagian barat
kutaraja(banda aceh) maka nyatalah belanda dalam satu bulan berperang hanya
sanggup maju 4 kilometer saja semntara perang berlangsung siang dan malam.
Pada
tanggal 12 januari 1874, Belanda masuk ke Kuta gunongan hanya mampu bergerak
maju kira-kira 750 meter setelah sepekan berperang. Jarak Kuta Gunongan dengan
istana hanya 100 meter lagi. Walau demikian serdadu Belanda tidak sanggung
bergerak lagi.
Setelah
berperang 12 hari 12 malam, barulah belanda berhasil masuk ke istana, itupun
terjadi karena keputusan Sultan Mahmud
sjah untuk pergi meninggalkan istana
sebab lingkungan istana terserang wabah kolera karena banyaknya mayat di setiap
sudut kuta.
Ketika Van Swieten masuk ke kutaraja, kondisi kutaraja sudah dikosongkan oleh sultan aceh. Hamper sama situasinya ketika Napoleon Bonaparte masuk ke kota Moskow pada tahun 1812, saat itu kota Moskow sudah dikosongkan. Napoleon marah besar karena tidak ada satu orangpun dari pemerintah Rusia yang bias menandatangani surat pernyataan menyerah.
Ketika Van Swieten masuk ke kutaraja, kondisi kutaraja sudah dikosongkan oleh sultan aceh. Hamper sama situasinya ketika Napoleon Bonaparte masuk ke kota Moskow pada tahun 1812, saat itu kota Moskow sudah dikosongkan. Napoleon marah besar karena tidak ada satu orangpun dari pemerintah Rusia yang bias menandatangani surat pernyataan menyerah.
Sultan
Mahmud Sjah memahami betul terhadap
undang-undang international yang berlaku saat itu bahwa suatu wilayah tidak bisa
dikatakan berhasil ditaklukkan tanpa adanya tandatangan pernyataan menyerah
kepada musuh. Oleh karena itu sang sultan menolak menandatangani surat menyerah
dan lebih memilih meninggalkan istana untuk mengatur ulang srategi perang.
Ketika
Sultan Mahmud Sjah wafat pada tanggal 28 januari 1874 tanpa meninggalkan
keturunan. Maka kekuasaan kerajaan Aceh dpegang oleh Majelis Negara Aceh yang
terdiri dari Tuanku Hasyem, Teungku Panglima Polem Muda Kuala dan Teungku Tjhik
Abdul Wahab Tanoh Abee.
Pada
tahun 1874 setahun setelah wafatnya sultan, Majelis Negara Aceh memilih Tuanku
Muhammad Daud, salah seorang family dari sultan yang masih kanak kanak sebagai sultan Aceh dibawah bimbingan Tuanku Hasyem.
Ketika
perang semakin dahsyat, dalam keadaan terjepit maka kekuasaan kerjaan
diamanahkan kepada panglima perang Aceh Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman
sebagai wali nanggroe.
Dibawah
pimpinan Wali Nanggroe sekaligus panglima perang Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman keadaan
berubah signifikan. Tentara Aceh yang telah selesai berperang ditata ulang
sehingga menjadi lebih kuat dengan srategi perang yang lebih matang sehingga
menjadi lebih kuat. Dalam keadaan ini bukan lagi Belanda yang meminta Aceh
menyerah tetapi Aceh yang menyatakan perang Kembali kepada Belanda
Pada
tahun 1884 belanda menyadari posisinya kian terjepit setelah melwati perang
yang melelahkan melawan tentara Aceh pimpinan Teungku Tjhik di Tiro Muhammad
Saman. Belanda mulai berpikir untuk menyelamatkan diri mereka dan bertahan
tanpa harus lari ke perairan seperti 11 tahun lalau saat mereka dikalahkan
tentara aceh. Dengan maksud memprtahankan nama besar belanda sebagai pasukan
yang kuat dimata dunia, maka semua pasukan belanda di Aceh memilih bertahan
dalam suatu tenpat di Kuta Raja. Tempat tersebut diberi nama dalam bahsa
Belanda dengan Geconcentreerde
Linie atau Kuta meusapat.
Linie atau Kuta meusapat.
Sejak
tahun 1884-1896 atau selama 12 tahun berturut turut Belanda tidak berani keluar
dari Kuta Meusapat untuk menghindarin Tentara Aceh.
Penulis
Belanda bercerita :
“Hij vormde een
vast leger….Hij liet onze geheele linie om-ringen door een kring van kleine
zooveelmogelijk aan ons oog onttrokken bentengz, zoodat het er veel van had. Of
hij het was, die ons met kracht van wapenen ingesloten ha “
J.Kreemer, Aceh ;27
Artinya : Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sudah
berhasil mendirikan sebuah pasukan yang gagah dan berani. Beliau memerintahkan
untuk membangun benteng benteng kecil disekeliling benteng kami. Dan jika
memungkinkan benteng itu didirikan didapan mata kita, sehingga beliau mengurung
kita dengan kekuatan senjata.
Dalam
surat menyurat Teungku Tjhik di Tiro
Muhammad Saman dengan pemerintah Belanda pada September 1885. Aceh memberi
peluang kepada Belanda agar tidak malu didepan dunia, maka belanda diizinan
berdagang di Aceh dan mengakui kedaulatan Aceh. Namun pada tanggal 15 agustus 1888 kabinet Belanda
di Den Haag menolak tawaran yang diberikan Aceh.
Maka
sesudah itu tentara Aceh benar-benar membersihkan serdadu Belanda dari Kuta
Meusapat. Tentarab Aceh menyerang Belanda siang dan malam. Dan ketika terlihat
tanda Belanda akan kembali dikalahkan oleh tentara Aceh.
“Aan den vijand waren alle
voordeelen van het initiatief in de hoogste mate verzekerd, thans was hij hefc,
die offensief kon optreden,terwijl wij one tot lijdelijke afweer moisten bapalen’
Artinya ;
Semua keuntungan yang
baik dalam situasi ini dimiliki oleh musuh ( Aceh). Sekarang mereka sudah
menyatakan perang kembali kepada kita (Belanda) seperti yang mereka mau, akan
tetapi kita hanya bias bertahan dalam satu tempat. J.Kreemer. aceh ;27
[sumber : Aceh Dimata Dunia. Hasan Tiro]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar