Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Rabu, 06 November 2013

Sebuah Analisa, Wali Negara atau Wali Nanggroe?

Hasan Di Tiro
MEMBACA beberapa tulisan yang mengulas tentang Wali Nanggroe termasuk pandangan beragam yang berkembang selanjutnya yang dinisbahkan kepada Tgk Hasan Tiro, saya ingin menambahkan informasi mengenai makna kata "Wali Nanggroe" itu sendiri yang cendrung a historis karena tidak merujuk pada buku atau tulisan Tgk Hasan Tiro itu sendiri dimana beliau tidak pernah mengatakan sebagai Wali Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara. 

Secara singkat, padat dan hematnya sebagai berikut:
Sepengetahuan saya, kata "Wali Nanggroe" dengan "Wali Negara" adalah berbeda maknanya. Sebutan "Wali Nanggroe" tidak lepas dari konteks sejarah Aceh, sehingga dari pada itu kata "Nanggroe" bukan bahasa Aceh terjemahan yang tepat untuk "Negara", karena kata "Negara" bahasa Acehnya adalah ”Neugara”, sedangkan kata "Negeri" terjemahan kedalam bahasa Acehnya adalah "Nanggroe". (Sumber Kamus Indonesia–Aceh, oleh M Hasan Basri, hlm 626, yayasan Cakra Daru 1994).


Istilah tersebut dalam konteks sejarah Aceh lebih jelas jika seandainya difahamkan kedalam bahasa Inggris ”Head of state” untuk "Wali Negara" dan "Guardian" untuk "Wali Nanggroe". Contoh pemahaman lainnya, kata ”Wali Negara” dan ”Wali Nanggroe” hampir sama kata namun berbeda maknanya sama seperti kata ”Country” dan ”County” dalam bahasa Inggris. Almarhum Tgk Hasan di Tiro sendiri tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Wali Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara sejak 1976. (Sumber: buku "The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tgk Hasan di Tiro”, kolom "The Genealogy of the Tengku Chik di Tiro, hlm: 141 dan juga terjemahan buku ""Jum Meurdéhka, Seuneurat Njang Gohlom Lheuëh" pada kolom yang sama).


Silsilah sebagai Wali Negara tersebut sebagai berikut: 1. Tgk. Sjech Muhammad Saman (1874-1891) 2. Tgk. M. Amin (1891-1896) 3. Tgk. Bèd/Ubaidullah (1896-1899) 4. Tgk. Lambada (1899-1904) 5. Tgk. Mahjeddin (1904-1910) 6. Tgk. Ma'at (1910-1911) 7. Tgk. M. Hasan (1976 – 2010).


Sedangkan informasi yang terdapat dalam buku beliau yang lain di antaranya, “Acheh – New Birth of Feedom” yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, 1 Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan di Tiro termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500 - 1530) sampai kepada dirinya (1976 - 2010). Sekali lagi, dari semua tulisan buku beliau, almarhum Tgk Hasan di Tiro cendrung mengatakan kalau dirinya sebagai Wali Negara bukan Wali Nanggroe.


Sedikit tambahan, sebutan Wali Negara juga pernah dialami oleh Tgk Daud Beureuéh saat mendirikan gerakan Darul Islam, yang berlanjut pada pendirian Republik Islam Aceh (RIA), namun suksesi Wali Negara setelah beliau almarhum tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya, sejak Tgk Hasan di Tiro wafat, belum ada seorang pun, baik yang berasal dari keturunan keluarga di Tiro maupun bukan, yang mengklaim dirinya sebagai pengganti Wali Negara. Penurunan makna pemahaman kata Wali Negara menjadi Wali Nanggroe serupa seperti pemaksaan kata Aceh yang beridentitas sebagai sebuah bangsa kini menjadi sebuah suku, padahal suku di Aceh itu misalnya Suku Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo Luwes, Kluet, Simeulue, Singkil, Tamiang.


Seyogyanya, opini yang berkembang menyangkut kontroversial klaim seseorang sebagai Wali Nanggroe ke 9 perlu dikaji ulang menurut sejarah Aceh atau referensi dari buku karya Tgk Hasan Di Tiro. Demikian juga, patut dipertanyakan atas dasar hukum apa, oleh siapa, dimana dan kapan Malik Mahmud diangkat langsung sebagai Wali Nanggroe ke 9 sedangkan dalam berhitung saja dimulai dengan angka 1, bukan 9.


Dalam dinamika politik, informasi yang diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari meskipun keliru akan menjadi sebuah kebenaran, meskipun ditoreh sebagai bagian dalam sejarah. Walaupun demikian, tidak boleh menjadi sebuah justifikasi fakta karena sembari mengutip para mubaligh yang sering mengatakan bahwa “Qul al haqq wa law kana murran” (Katakan yang benar walaupun pahit--akibatnya).


Asnawi Ali
Örebro, Swedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar