Tentara Jepang melintasi Mesjid Raya |
Pengurus Besar PUSA mengirim dua orang utusannya ke
Singapoera menjemput Bala Tentara Jepang datang ke Aceh yaitu: pertama Sayeed
Aboe Bakar dari Aceh Besar; kedua
Tgk.Abdoel Hamid (Ajah Hamid) di Aceh Utara. Kedua orang utusan PUSA diterima
baik oleh Jepang, sambil bertanya dimana jalan mendarat ke Aceh.Oleh kedua
utusan PUSA menunjukkan jalan mendarat ke Aceh, yaitu: pertama di Koeala Boegak
Peureulak; Kedua di Ujong Raya (Oelee Kareueng) Tambu; dan ketiga di Krung Raya, Aceh Besar.
Panglima Tentara Jepang menganjurkan kepada kedua utusan
POESA itu bahwa ketika menyambut kedatangan Bala Tentara Jepang, oleh orang Aceh harus
memasang letter F diatas kain merah disematkan pada lengan baju sebelah kiri.
Ali Hasjmy menamakan letter F itu dengan “Fadjar”.
Dengan sebab
Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 13 Maret 1942, Belanda yang berada di Aceh
patah semangatnya. Assistent Resident di Sigli dan Controleur di Seulimum di
bunuh oleh rakyat di masing-masing tempat itu. Dipersipangan jalan dari Beureunoen ke
Lam Meulo terjadi pertempuran Belanda dengan Jepang. Belanda lari
terbirit-birit. Bagi orang Aceh, ide memasukkan Jepang untuk mengusir Belanda
adalah ide orisinal dan berakar dalam paradigma kultural cara berpikir
orang-orang Aceh: Geupeulet bui ngon asee (mengusir babi dengan menggunakan anjing)
POESA menjemput Jepang datang ke Aceh untuk mengusir
Belanda yang disangka sangat kejam, tetapi kenyataannya Jepang lebih kejam lagi dari Belanda. Karena Jepang sudah berkuasa di Aceh, susunan pemerintahan berubah menurut yang ditetapkan oleh Jepang sendiri. Landschape di masaBelanda diubah menjadi sun, kepala pemerintahan disebut suncho Untuk menguatkan pertahanannya Jepang membuat dua buah lapangan terbang: (1) di Blang Peutek Gaki Seulawah; (2) di Tamboe Aceh Utara. Untuk mengerjakan lapangan terbang itu Jepang memakai
tenaga rakyat Aceh, sedang Belanda ketika membuat membuat Jalan Kereta Api dan
Jalan Raja (B.O.W.) dipakai tenaga Tionghua, tidak berani Belanda memakai
tenaga rakyat Aceh, karena rakyat Aceh bermusuhan dengan Belanda
Pemuda membentuk suatu jaringan rahasia, Gerakan “F”
Kikan, yang berbasis pada organisasi POESA (Persatuan Oelama Seluruh Atjeh). Di
Aceh terkenal adanya adagium yang menyebutkan: “Yang Peutamong Beulanda Panglima Tibang, Yang Peutamong Jepang Pemuda
Poesa.” Pada tanggal 11 Januari 1942, berdiri Himpunan Anak Sumatra di
Kuala Lumpur di bawah pimpinan Said Abu Bakar. Ia menyebut dirinya sebagai
utusan atau delegasi dari Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (POESA). Jenderal
Fujiwara Iwaichi, Komandan Barisan F, menulis dalam bukunya Fujiwara Kikan, Japanese
Army Intelegence Operations In South East Asia During World War Ii: “Dengan
menduduki bagian pusat Malaya, sebagian dari Selat Malaka berada di bawah
pengawasan Jepang.
Tokoh PUSA dan Jepang |
Latihan para
pemuda Sumatera di bawah pimpinan Said Abu Bakar telah rampung dan semangat
mereka meninggi. Anak muda itu semua berusia 40 tahun dan Usman Basyah 18
tahun. Mereka memandang Masubuchi dan Letnan Makayima dengan rasa kagum dan
hormat terhadap kebaikan dan ketulusan keduanya,seolah-olah kedua orang itu
ayah dan abang mereka.
Dari Aceh diputuskan mengirim Ahmad Abdullah dan Teuku
Zainal Abidin Samalanga dengan tugas menghubungi Said Abu Bakar di Medan. Teuku Zainal Abidin inilah yang sesungguhnya berkeinginan kuat mengusir Belanda
dengan memasukkan Jepang sebagai kekuatan eksternal bagi Aceh. Maka, bukan
hanya “pemuda Pusa” saja yang berperan dalam masuknya Jepang ke Aceh. Said Abu
Bakar, secara rahasia, menceritakan kepada Teuku Zainal Abidin bahwa ia bersama
sejumlah teman diutus oleh Fujiwara (kepala Intelijen Jepang) untuk mendirikan
gerakan perlawanan terhadap tentara Belanda melalui pendaratan bala tentara
Jepang Said Abu Bakar bersama teman-teman lainnya akhirnya melanjutkan perjalanan
ke Aceh menemui Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah tokoh kharismatik
Aceh, yang mendirikan POESA, memberikan dorongan semangat bagi para pemuda
untuk mewujudkan niatnya. Namun, tanpa disadari, ternyata ajaran Tenno Heika
telah merasuki aqidah mereka Rombongan pertama diikuti rombongan berikutnya
yang berangkat dari Malaya, pada tanggal 25 Januari 1942 dan mendarat di
Pelabuhan Teluk Nibung, dipimpin oleh Nyak Neh. Sebelum berangkat, Nyak Neh
berseru dengan penuh semangat: “Tenno Heika Banzai”
Seluruh utusan dari Aceh yang
berjumlah 20 orang naik kapal perang Jepang bersama Pasukan Pengawal Kekaisaran di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sawamura. Pasukan Pengawal itu sendiri berjumlah tak kurang dari
20.000 orang. Di antara utusan dari Aceh tampak Teuku Ali Basyah, uleebalang Langsa dan Masabuchi. (foto; @ tokoh pusa dan petinggi Jepang
@tentara Jepang di Masjid Raya. foto sumber buku Syamaun Gaharu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar