Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Rabu, 26 November 2014

De Ryckholt dan Kekalahan Belanda di Bitay

A. P. A. A. F. Baron de Bounam de Ryckholt
Perang Aceh (1873-1914) adalah perang kolonial Kerajaan Belanda terpanjang dalam sejarah penjajahan mereka atas bangsa lain. Perang itu ditandai dengan pengiriman puluhan ribu tentara melalui Selat Malaka guna menaklukan Kesultanan Aceh di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Perang itu memakan korban tak sedikit dari kedua belah pihak. Penyerang dan yang diserang meninggalkan ratusan ribu korban prajurit, perwira, jenderal, orang rantai dan rakyat sipil Aceh. Tercatat bahwa perang itu telah memakan korban seorang putra Belanda bernama Alfridus Philippus Arcadus Adrianus Ferdinandus baron de Bounam de Ryckholt. Keluarga de Ryckholt adalah salah satu keluarga cukup terpandang terpandang dinegeri Belanda.
Bounam de Ryckholt adalah seorang perwira berpangkat Letnan, ia ditugaskan ke Aceh dibawah unit batalyon infanteri ketiga Belanda dalam ekspedisi kedua. Ketika ekspedisi pertama tahun 1873 yang berakhir dengan kematian jenderal JHR Kohler, de Ryckholt ikut tampil. Agresi Belanda yang gagal itu telah meninggalkan kesan buruk dalam batalyon infanteri ketiga, dari 26 orang perwira batalyon ketiga hanya tujuh orang saja yang selamat termasuk Letnan Bounam de Ryckholt. Dalam surat buat keluarganya yang dikirim setelah pasukan tiba di Batavia, ia menyampaikan rasa syukur bahwa ia selamat dalam serangan yang gagal total tersebut.
Tanggal 12 Februari 1874 batalyon infanteri dimana Bounam de Ryckholt bertugas melakukan serangan terhadap pertahanan pejuang Aceh di Gampong Bitay. Serangan pada hari itu atas permintaan sekutu Belanda, Teuku Nek Ulee Balang Meuraksa. Serangan itu dilakukan sebagai bagian penaklukan total keraton Aceh dari tangan pejuang Aceh. Sepanjang ekspedisi penaklukan keraton pihak Belanda selalu dibayang-bayangi oleh serangan brutal para pejuang yang bermarkas di Bitay. Selain membahayakan gerakan Belanda, pertahanan pejuang Aceh di Bitay juga mengancam posisi Teuku Nek Meuraksa yang berpihak pada Belanda.
Awalnya Belanda tanpa kesulitan berarti telah mampu menguasai Bitay dan menyerahkan wilayah pertahanan itu ketangan pengikut Teuku Nek. Menjelang malam di Bitay, Pasukan Belanda kembali ke benteng Peunayong. Namun ketika para tentara itu sedang dalam perjalanan menuju Peunayong, pasukan Aceh kembali menyerang Bitay dari berbagai penjuru. Mereka berhasil mengusir pengikut Teuku Nek pada malam itu juga bahkan sebelum tentara Belanda tiba di Peunayong.
Mengetahui pasukan Aceh telah kembali ke Bitay, batalyon infanteri ketiga kembali diperintahkan menyerang Bitay. Namun kali ini tak semudah kali pertama ia mengambil alih Bitay. Malam hari sekitar pukul tujuh malam pasukan itu telah berada di sekitar Keutapang, didekat sebuah kedai nasi di Bitay pasukan tersebut dihadang oleh sekitar 800 orang pejuang Aceh yang menyerang dengan segala jenis senjata. Satu tembakan senjata berat dari meriam pejuang Aceh menghantam de Ryckholt dan Letnan Kolonel Engel.
Peluru meriam itu meledak begitu dekatnya dengan kedudukan de Ryckholt sehingga ia terluka parah karenanya. Melihat rekan dan pemimpin mereka telah jatuh, pasukan Belanda semakin kalang kabut dan memilih mundur dari Bitay. Pasukan itu kini mundur ke Peunayong dengan dikejar oleh pejuang Aceh dibelakangnya. Selain beberapa perwira yang terluka ringan dan parah, dalam pertempuran itu jatuh korban dipihak Belanda sebanyak 56 tentara yang terluka parah sementara 6 orang lainnya ditewaskan oleh pejuang Aceh.
Sesaat tiba di Peunayong Bounam de Ryckholt tewas akibat lukanya di benteng Peunayong tak lama setelahnya menyusul Letnan Kolonel Engel dan beberapa prajurit lain. De Ryckholt dan korban lainnya dikuburkan didalam benteng Peunayong keesokan harinya, kelak ia dipindahkan ke Peucut dan berkubur disana hingga kini. Janda beserta anaknya yang selama ia bertugas tinggal di Batavia akhirnya kembali ke negeri Belanda pada tahun 1875.
Sumber: Wikipedia Netherland

Minggu, 23 November 2014

Jepang Datang ke ACEH Karena "Geupeulet Bui Ngon Asee"

Tentara Jepang melintasi Mesjid Raya
Pengurus Besar PUSA mengirim dua orang utusannya ke Singapoera menjemput Bala Tentara Jepang datang ke Aceh yaitu: pertama Sayeed Aboe Bakar dari Aceh Besar; kedua Tgk.Abdoel Hamid (Ajah Hamid) di Aceh Utara. Kedua orang utusan PUSA diterima baik oleh Jepang, sambil bertanya dimana jalan mendarat ke Aceh.Oleh kedua utusan PUSA menunjukkan jalan mendarat ke Aceh, yaitu: pertama di Koeala Boegak Peureulak; Kedua di Ujong Raya (Oelee Kareueng) Tambu; dan ketiga  di Krung Raya, Aceh Besar.
Panglima Tentara Jepang menganjurkan kepada kedua utusan POESA itu bahwa ketika menyambut kedatangan Bala Tentara Jepang, oleh orang Aceh harus memasang letter F diatas kain merah disematkan pada lengan baju sebelah kiri. Ali Hasjmy menamakan letter F itu dengan “Fadjar”.
 Dengan sebab Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 13 Maret 1942, Belanda yang berada di Aceh patah semangatnya. Assistent Resident di Sigli dan Controleur di Seulimum di bunuh oleh rakyat di masing-masing tempat itu. Dipersipangan jalan dari Beureunoen ke Lam Meulo terjadi pertempuran Belanda dengan Jepang. Belanda lari terbirit-birit. Bagi orang Aceh, ide memasukkan Jepang untuk mengusir Belanda adalah ide orisinal dan berakar dalam paradigma kultural cara berpikir orang-orang Aceh: Geupeulet bui ngon asee (mengusir babi dengan menggunakan anjing)
POESA menjemput Jepang datang ke Aceh untuk mengusir Belanda yang disangka sangat kejam, tetapi kenyataannya Jepang lebih kejam lagi dari Belanda. Karena Jepang sudah berkuasa di Aceh, susunan pemerintahan berubah menurut yang ditetapkan oleh Jepang sendiri. Landschape di masaBelanda diubah menjadi sun, kepala pemerintahan disebut suncho Untuk menguatkan pertahanannya Jepang membuat dua buah lapangan terbang: (1) di Blang Peutek Gaki Seulawah; (2) di Tamboe Aceh Utara. Untuk mengerjakan lapangan terbang itu Jepang memakai tenaga rakyat Aceh, sedang Belanda ketika membuat membuat Jalan Kereta Api dan Jalan Raja (B.O.W.) dipakai tenaga Tionghua, tidak berani Belanda memakai tenaga rakyat Aceh, karena rakyat Aceh bermusuhan dengan Belanda
Pemuda membentuk suatu jaringan rahasia, Gerakan “F” Kikan, yang berbasis pada organisasi POESA (Persatuan Oelama Seluruh Atjeh). Di Aceh terkenal adanya adagium yang menyebutkan: “Yang Peutamong Beulanda Panglima Tibang, Yang Peutamong Jepang Pemuda Poesa.” Pada tanggal 11 Januari 1942, berdiri Himpunan Anak Sumatra di Kuala Lumpur di bawah pimpinan Said Abu Bakar. Ia menyebut dirinya sebagai utusan atau delegasi dari Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (POESA). Jenderal Fujiwara Iwaichi, Komandan Barisan F, menulis dalam bukunya Fujiwara Kikan, Japanese Army Intelegence Operations In South East Asia During World War Ii: “Dengan menduduki bagian pusat Malaya, sebagian dari Selat Malaka berada di bawah pengawasan Jepang.
Tokoh PUSA dan Jepang
 Latihan para pemuda Sumatera di bawah pimpinan Said Abu Bakar telah rampung dan semangat mereka meninggi. Anak muda itu semua berusia 40 tahun dan Usman Basyah 18 tahun. Mereka memandang Masubuchi dan Letnan Makayima dengan rasa kagum dan hormat terhadap kebaikan dan ketulusan keduanya,seolah-olah kedua orang itu ayah dan abang mereka.
Dari Aceh diputuskan mengirim Ahmad Abdullah dan Teuku Zainal Abidin Samalanga dengan tugas menghubungi Said Abu Bakar di Medan. Teuku Zainal Abidin inilah yang sesungguhnya berkeinginan kuat mengusir Belanda dengan memasukkan Jepang sebagai kekuatan eksternal bagi Aceh. Maka, bukan hanya “pemuda Pusa” saja yang berperan dalam masuknya Jepang ke Aceh. Said Abu Bakar, secara rahasia, menceritakan kepada Teuku Zainal Abidin bahwa ia bersama sejumlah teman diutus oleh Fujiwara (kepala Intelijen Jepang) untuk mendirikan gerakan perlawanan terhadap tentara Belanda melalui pendaratan bala tentara Jepang Said Abu Bakar bersama teman-teman lainnya akhirnya melanjutkan perjalanan ke Aceh menemui Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah tokoh kharismatik Aceh, yang mendirikan POESA, memberikan dorongan semangat bagi para pemuda untuk mewujudkan niatnya. Namun, tanpa disadari, ternyata ajaran Tenno Heika telah merasuki aqidah mereka Rombongan pertama diikuti rombongan berikutnya yang berangkat dari Malaya, pada tanggal 25 Januari 1942 dan mendarat di Pelabuhan Teluk Nibung, dipimpin oleh Nyak Neh. Sebelum berangkat, Nyak Neh berseru dengan penuh semangat: “Tenno Heika Banzai”
Seluruh utusan dari Aceh yang berjumlah 20 orang naik kapal perang Jepang bersama Pasukan Pengawal Kekaisaran di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sawamura. Pasukan Pengawal itu sendiri berjumlah tak kurang dari 20.000 orang. Di antara utusan dari Aceh tampak Teuku Ali Basyah, uleebalang Langsa dan Masabuchi. (foto; @ tokoh pusa dan petinggi Jepang @tentara Jepang di Masjid Raya. foto sumber buku Syamaun Gaharu

KUBURAN MASSAL BELANDA KORBAN TEUKU NAGO


KuburanMassal Beulanda di Kroeng Batee
Kuburan bersama anggota-anggota brigade dari Singkel dibawah pimpinan sersan Gruneveld yang disergap pada tanggal 1 Maret 1926 oleh anggota-anggota pasukan Teuku Nagó di
Krueng Batèe dekat Gunong Kaphö, Aceh Selatan. Dalampertempuran itu pihak Belanda menderita kerugian: tewas 9orang marsose termasuk sersan Gruneveld sendiri dan 2 oranghukuman, luka-luka 7 orang; 16 pucuk karaben serta sejumlahpeluru direbut.
Pada pihak pejuang Aceh: 2 orang gugur dan 4 orang luka luki.

Sementara di pertempuran lainnya Letnan W.A.M. Molenaar. Tewas dalam adu tembak dengan pasukan Teuku Nagö juga di Kampung Teureubangan, Bakôngan,yang berlangsung pada tanggal 10/11 Agustus 1926. Kerugian pada pihak Belanda: 1 letnan tewas (Molenaar sendiri), 3 orang marsose dan 1 orang hukuman luka-luka; pada pihak Aceh 3
orang gugur. Sebelumnya, pada tanggal 10 November 1925, Molenar menembak mati Teuku Angkasah dekat Bukét Gade'ng, Bakôngan. Sehari setelah menembak Teuku Angkasa,dia pun tewas dalam aksi Teuku Nago anak buah Teuku Raja Angkasa. hutang nyawa terbalas sudah. (Massagraf Nl Di Kr Bate)

Jumat, 21 November 2014

Seulawah, Modal Indonesia Yang di Lupakan

Seulawah, RI 001, Modal Indonesia
PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.

Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.
Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh--Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo--dalam format provinsi.

Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat--alasan klasik, karena karismanya--di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.
Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel--sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan angker, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh preman gampong sekitar.
Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik--usai shalat dua rakaat--juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan sayap-sayap Seulawah NAD untuk mengepak kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena sayap Seulawah patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.
Maskapai Garuda Indonesia saat ini

Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh--Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh--yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama, kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.
Dan ternyata proyek Seulawah RI-001--cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang--itu cuma satu yang dapat terbeli. Satu unit lagi entah di mana rimbanya, gugat Abu Mansoer agak sesal, pada cucunya itu.
Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.
Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan--maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.

Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.
Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh.
Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu. Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu.
Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN kap igoe, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.
Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk--mengutip kata-kata Bung Karno--jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada kakakmu Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang melahirkanmu.

Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat replikanya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali;
Setelah Seulawah Aceh milik Pemda jatuh; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing--tanpa deviden (pembagian hak) apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena kepak-kepak sayap yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada burung besi; Garuda, turunlah!
* Muhammad Yakub Yahya, 
Direktur TPQ Plus Baiturrahman, Banda Aceh; serambinews

MASJID LUENG BATA, PUSAT KOMANDO PERANG VS BELANDA

Mesjid Imum Leung Bata
Masjid ini didirikan oleh Teuku Imum Lueng Bata Ia salah seorang kepercayaan Sultan Aceh yang berjuang sampai penghabisan.Ia memimpin Kemukiman Lueng Bata yang kala itu berstatus daerah bibeuh atau bebas. Walaupun Lueng Bata berkategori mukim dan dipimpin uleebalang bernama Teuku Raja, wilayah ini diperintah langsung oleh sultan. Biarpun berbeda dengan sagi XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim, kedudukan pimpinannya setara dengan panglima tiga sagi tersebut.
Kepahlawan Imum Lueng Bata sangat di takuti oleh Belanda. Sejarah mencatat pada 14 April 1873 Jendral Kohler tewas tertembus timah panah di bawah pohon glumpang di depan Masjid Baiturrahman. Kohler tewas karena ditembak salah satu sniper yang juga putar Teuku imum leung bata yang bernama teuku nyak raja imum leu batta .
Namun Teuku Nukman, cucu Imum Lueng Bata membantahnya. Menurut Nukman, sang kakeklah yang menembak Kohler. Jarak Kohler dengan Imum Lueng Bata sekitar 100 meter.
Ketika agresi Belanda kedua terhadap Kerajaan Aceh, Sultan, Panglima Polem, dan Teuku Baet menyingkir ke Lueng Bata. Selain menghindari bombardir dari Belanda, kala itu wabah kolera pun sedang berjangkit. Salah satu korban adalah Sultan Mahmud Syah. Ia mangkat pada 29 Januari di Pagar Air atau Pagar Aye, tak jauh dari Lueng Bata. Sultan Mahmud dimakamkan di Cot Bada, Samahani, Aceh Besar. Setelah itu, langsung digantikan posisi sementara sultan oleh Tuwanku Hasyim Bantamuda.

Tuwanku Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri pada 1878. Namun, Daud Syah dianggap belum cukup umur. Di masjid tuha Lueng Bata itulah, pelantikan Tuwanku Hasyim Bantamuda digelar.masjid ini pernah menjadi pusat komando dalam perang menghadapi belanda.

Jumat, 14 November 2014

TUANKU RAJA IBRAHIM BIN SULTAN ALAIDIN MUHAMMAD DAUDSYAH PUTRA MAHKOTA KERAJAAN ACEH


TUANKU RAJA IBRAHIM
BIN SULTAN ALAIDIN MUHAMMAD DAUDSYAH
Sultan ‘Alaidin Muhammad Daud Syah, tahun 1904 dibuang Belanda ke Jakarta. Sultan Muhammad Daud atau biasa juga disebut Tuanku Muhammad Daud, resminya diangkat sebagai calon raja oleh Majelis Kerajaan Aceh semasa kanak-kanak menggantikan pamannya Sultan Mahmud Syah yang meninggal tahun 1874. Majelis Kerajaan Aceh yang berkuasa menurunkan dan mengangkat raja Aceh itu terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem (sekaligus wali Tuanku Muhammad Daud) dan Teuku Panglima Polem.Majelis ini menyerahkan kekuasaan untuk memerintah dan memimpin Aceh melawan Belanda kepada Teuku Tjhik Di Tiro. Ketika Tuanku Muhammad Daud ditawan Belanda, dia memberikan kekuasaan itu kepada Teuku Tjhik Mahyeddin Di Tiro (putera terakhir Teuku Tjhik Di Tiro). Belanda menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teuku Maat Tjhik Di Tiro (cucu Teuku Tjhik Di Tiro tewas di medan laga.
Perihal Sultan Muhammad Daud sendiri, setelah berpindah-pindah tempat pembuangan (Jakarta, Bandung, Ambon),pada hari senin tanggal 6 february tahun 1939 meninggal di Jakarta, tanpa pernah kembali ke tanah kecintaannya. Raja terakhir ini punya seorang anak sulung, calon Putera Mahkota Kerajaan Aceh Raya, Tuanku Raja Ibrahim. Sebagai putera raja, kehidupan nya cukup beragam. Pernah misalnya berkunjung ke negeri Belanda , karena Ratu Wilhelmina menyatakan ingin berjumpa dengan sang Raja Muda.Dan Ratu memberinya pangkat Letnan. Tapi ini bukan berarti kompromi: menjelang Tuanku Ibrahim menginjak dewasa, dia sering ikut sang ayah bergerilya di hutan. Juga ketika sang ayah dibuang ke Jakarta, Tuanku Ibrahim turut serta.
Bermukim di Pisangan lama, Jatinegara, ayahnya sempat menikahi seorang dara Banten yang mempunyai nama panggilan Neng Effi. Dari wanita ini lahirlah lima orang adik tiri Tuanku Ibrahim. TWK IBRAHIM di tahun 1937 kembali ke Aceh walaupun sang ayah melarangnya. Sampai 1960, Tuanku Ibrahim menjabat Mantri Tani di Sigli. Biarpun putera raja, nyatanya kehidupan beliau tidaklah kaya. TWK RAJA IBRAHIM.menikah delapan kali, dan menetap di Lam Lho bekas Putera Mahkota kerajaan aceh ini hidup dalam keadaan sangat jauh dari gambaran hidup layak nya pangeran, Beliau meninggal di Banda Aceh tahun 1982 dan dimakamkan di Pekuburan Raja-raja Komplek Baperis, Banda Aceh.
TR IBRAHIM meninggalkan delapan orang istri dan16 orang anak,dari 16 orang anak tersebut sepuluh orang masih hidup dan enam orang lainnya sudah meninggal dunia(november 2013) ke enam belas putra tersebut adalah; .
1. Tengku Putro Safiatuddin Cahya Nur ALAM (beliau tinggal di mataram
2. Tengku Putro Darma Kasmi Cahya Nur Alam (Almarhum)
3. Tuanku Raja Zainal Abidin (Almarhum, dan dimakam kan di riweuk pidie)
4. Tengku Putro Rengganis Jaya Kusuma (Tinggal di Tangse Pidie) 
5. Tuanku Raja Kamaluddin (Almarhum, meninggal di Banda Aceh saat Tsunami 2004)
6. Tengku Putro Sariawan Ratna Keumala (Tinggal di banda aceh)
7. Tuanku Raja Mansyur (Almarhum)
8. Tuanku Raja Johan (Almarhum,dimakamkan di Cot Sukon Langga Pidie)
9. Tuanku Raja Iskandarsyah (Almarhum. dimakam kan di Riweuk Pidie disamping makam abang nya TR Zainal abidin)
10. Tengku Putro Sukmawati (Tinggal di Banda aceh)
11. Tuanku Raja Syamsuddin (Tinggal di Lhok Seumawe)
12. Tuanku Raja Muhammmad Daud (Tinggal di Lhok seumawe)
13. Tuanku Raja Yusuf (Tinggal di banda aceh)
14. Tuanku Raja Sulaiman (Tinggal di Kota Bakti Pidie)
15. Tengku Putro Gamba Gading (Tinggal di sabang)
16. Tuanku Raja Ishak Badruzzaman (Tinggal di kota bakti Pidie )

Sultanah Tengku Putro Safiatuddin cahya Nur Alam 
Sebagai anak pertama Tengku putro Safiatuddin cahya Nur Alam diangkat sebagai Sultanah mengantikan Ayahanda nya untuk memimpin keturunan dan ahli waris kesultanan aceh darussalam,beliau ditabalkan saat berumur 44 hari oleh kakek nya, dan di saksikan oleh rakyat dan ulama serta para ule balang. disaksikan pula oleh T. Umar Lhok Reu ( anak Tgk Ditiro.). Tgk Ujong Rimba, Teuku Raja keumangan, Tgk Ali, Tgk Umar Leungputu Dll, namun surat penabalan tersebut hilang ketika banjir melanda aceh saat itu. beliau sudah sepuh dan tinggal di mataram, tapi beliau di beri kekuasaan oleh Allah swt memiliki daya ingat yg sangat kuat. Beliau mengenal dan ingat semua keturunan-keturunan Ulee Balang besar Aceh beserta silsilah nya (Sumber; wawancara Adi Fa dengan TP Safiatuddin CA)