Dalam masa berkecamuknya perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda (1873-1942), lahirlah seorang bayi sehat dan rupawan. Bayi ini dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1890 didesa Pulo Iboh, di tepi kota Matang Glumpang Dua. Ibunya, Potjut Unggaih, seorang putri bangsawan, putri uleebalang Meureudu. Ayahnya, Teuku Tjhik Sjamaun, uleebalang nanggroe Peusangan. Dua sejoli itu memberi nama anaknya, TEUKU MUHAMMAD DJOHAN ALAMSJAH Kemudian setelah memegang jabatan uleebalang dan menunaikan ibadah haji, cucu Teuku Tjhik Muhammad Hasan itu diberi nama, Teuku Hadji Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah Perkasa Alam. Dalam perjalanan sejarah Aceh abad ke-XX, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tampil sebagai salah seorang uleebalang Aceh terkemuka. Teuku Muhammad Djohan Alamsjah merupakan turunan generasi ke-IX pengungsi imperium Abbasiyah yang terdampar di Bandar Aceh pada abad ke-13 itu.Ampon Tjhik Peusangan
Teuku Tjhik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi nanggroe Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri diberi nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat Peusangan memberi nama panggilan untuknya Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi nama Teuku Ali Alamsjah.
Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan nama Panglima Perang (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin pasukan nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.
Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak. Mereka terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku Tjhik Sjamaun dari putri uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun, seorang putri. Rakyat nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun dengan nama kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam kehidupan sehari-hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil menjadi “uleebalang terkemuka” di Aceh. Dan yang ketiga juga seorang putra, Teuku Bustaman.
Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan. Pulo Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) nanggroe Peusangan. Desa Iboh juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-1946.
Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orang tua Teungku Amir Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orang tua Husin al Mujahid mengungsi ke nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan Belanda jauh hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh memberi gelar yang agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte Aceh, karena keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh uleebalang Aceh hanya dalam waktu beberapa hari saja. Tanpa pernah bertempur guru sekolah dasar madrasah di Idi -Aceh Timur ini, dapat mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor TKR/TNI Teuku Njak Arief dan menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon. Napoleon Bonaparte Aceh dengan lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat) dengan ganas membantai seluruh uleebalang Aceh beserta pengikutnya.
Rumah Peninggalan Yang terletak Di kota Peusangan
Kemudian Amir Husin al Mujahid mengangkat dirinya sendiri menjadi Jenderal Mayor, anehnya ketika dia berpangkat Jenderal Mayor tentaranya lenyap bersama asap revolusi sosial Aceh. Kawan-kawannya sesama orang PUSA menyebutnya filsuf besar Aceh. Keberhasilan Teungku Amir menggusur Teuku Njak Arief, Residen- penguasa Negara Republik Indonesia yang baru merdeka di Aceh, mengantarkan seorang guru madrasah Jamiatul Diniah Abadiyah di Blang Paseh-Sigli yang bernama Teungku Muhammad Daud Beureueh ke takhta Diktator Aceh yang baru.
Sambil berkacak pinggang, dengan tangan kiri dia menuding kemuka Teuku Tjhik Daudsjah - Pejabat Residen Aceh. Uleebalang Idi yang bunglon itu diperintahkannya untuk mengangkat pemilik kios obat Pidie yang bernama, Teuku Muhammad Amin, menjadi Asisten Residen Aceh Bidang Politik. Terpukau oleh kebengisan PUSA, dalam sekejap Teuku Tjhik Peusangan yang selama ini “dimuliakan rakyatnya”, berubah menjadi target tangkapan Teuku Muhammad Amin pada bulan Maret 1946.
Dalam masa pertempuran dengan Belanda di nanggroe Peusangan, Teuku Tjhik Sjamaun mengundurkan diri ke daerah hulu sungai Peusangan yang penuh hutan rimba. Dalam pengungsiannya ini Teuku Tjhik Sjamaun itu mengatur strategi melawan serangan dan invasi pasukan Jenderal van Heutz. Uleebalang ini telah bersumpah, tidak akan pernah berjumpa dengan kafir Belanda. Setelah bergerilya selama 2 tahun, Teuku Tjhik Sjamaun jatuh sakit dan wafat ditengah hutan rimba Peusangan. Maka, terwujudlah sumpahnya untuk tidak berjumpa kafir Belanda. Teuku Tjhik Sjamaun yang patrotik itu dimakamkan di markas komandonya ditengah hutan rimba Peusangan.
Pemakaman uleebalang yang patriotik ini mendapat penghormatan yang megah dari pasukan dan pengikutnya yang setia. Sayang makam yang bersejarah ini kemudian hari dipindahkan. Setelah keadaan di Peusangan menjadi damai jenasah Teuku Tjhik Sjamaun dimakamkan kembali di Matang Glumpang Dua, oleh putranya Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah.
Ketika Teuku Tjhik Sjamaun sedang bergerilya di rimba Peusangan, Sultan Aceh Tuwanku Muhamad Daudsjah berkunjung ke Matang Glumpang Dua, ibu kota nanggroe Peusangan. Sultan Aceh itu bermaksud mengukuhkan kembali Teuku Tjhik Sjamaun sebagai uleebalang Peusangan dengan gelar kedudukannya Teuku Keujruen.
Sultan Aceh menunggu kedatangan Teuku Tjhik Sjamaun beberapa hari di Matang Glumpang Dua, tetapi uleebalang Peusangan itu tak kunjung tiba. Seorang utusan Teuku Tjhik Sjamaun mengabarkan kepada Sultan Aceh, bahwa uleebalang itu sedang sakit berat di tengah rimba di hulu sungai Peusangan. Tanpa membuang waktu, sebagai gantinya Sultan Aceh mengukuhkan putranya, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai uleebalang nanggroe Peusangan. Pengangkatan itu dimuat diatas surat resmi Keputusan Kerajaan Aceh. Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap Sikureung” itu diserahkan langsung kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah. Pada hal, pada saat pengangkatannya, uleebalang muda itu baru berumur 10 tahun.
Beliau bersama Sang Ibu
Usai pelantikan itu, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz terhadapnya, Sultan Aceh bergegas melanjutkan perjalanan-kerjanya ke wilayah Pasai, untuk menyusun kembali markas komanandonya. Sunguh ironis, perjuangan Teuku Tjhik Sjamaun melawan penjajah Belanda kandas dalam waktu singkat. Beberapa bulan setelah Teuku Tjhik Sjamaun wafat, paman Teuku Tjhik Djohan Alamsjah yang tertua yang bernama Teuku Maharadja Djeumpa melapor diri (mel) kepada Belanda minta berdamai.
Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Jenderal van Heutz langsung menyambut uluran tangan Teuku Djeumpa itu. Utusan Belanda datang ke Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda membujuk permaisuri uleebalang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya dibawa ke Kutaradja untuk disekolahkan. Belanda bermaksud mendidik uleebalang muda itu menurut kepentingannya, disekolah model Belanda. Dengan tegas permintaan Belanda itu ditolaknya, karena Potjut Unggaih tidak ingin putranya menjadi orang kafir. Berulang kali utusan Belanda datang bersama dengan Teuku Djeumpa, membujuk Potjut Unggaih.
Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Potjut Unggaih dengan berat hati mengijinkan putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, pusat kekuasaan Belanda di Aceh. Ibunda Teuku Djohan Alamsjah itu mengajukan syarat. Putranya boleh dibawa, tetapi harus disertai oleh seorang temannya yang juga harus disekolahkannya. Tentu saja Belanda dengan penuh suka cita menyambut berita kemenangannya ini. Tanpa perlu berlumuran darah lagi, nanggroe Peusangan telah menjadi sahabat Kerajaan Belanda.
Sahabat adalah kata berukiran indah yang disamarkan pihak Belanda, sebagai kata ganti takluknya orang Aceh. Enak didengar bangsa Belanda, tetapi pahit dirasakan bangsa Aceh. Akhirnya berangkatlah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah ke Kutaraja dengan seorang pengawal dan seorang teman yang bernama: Abdul Karim. Kelak dikemudian hari, salah seorang putra Abdul Karim ini yang bernama Drs Adnan, pegawai pemda Kota Medan, hingga bulan Oktober 2006 dengan setia masih menjaga Potjut Maimunah, salah seorang putri Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang sudah sangat sepuh dirumahnya di Jalan Sei Belutu Gang Keluarga no. 55i, Medan. Untaian tali kesetiaan anak manusiapun terputuskan. Dan ajalpun datang menjemput putri bangsawan Aceh yang agung itu pada tanggal 5 November 2006 jam 16.45 di Bandung.
Selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim belajar di sekolah Rakyat Guru Djam di Kutaradja.Guru Muhammad Djam, orang Minangkabau ini sangat profesional dibidangnya. Secara privat kedua anak muda Aceh itu dididik dan diajarinya dengan sabar. Mata pelajaran dasar yang diajarkan terutama matematik, membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Melayu, etiket pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan politik Hindia Belanda.
Kedua anak muda Aceh itu menyambut kesungguhan gurunya. Keduanya belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang diperolehnya. Gubernur Belanda di Aceh, Jenderal van Heutz sangat puas terhadap kinerja Guru Djam. Untuk mengenang jasa-jasa Guru Muhammad Djam dalam bidang pendidikan, pemerintahan Hindia Belanda di Aceh kemudian hari menamai jalan dimuka sekolah itu, jalan Guru Muhammad Djam.
Setelah menjalani masa pendidikan yang dikehandaki Belanda, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah serta kawan dan pengawalnya yang setia diantar kembali ke nanggroe Peusangan. Jenderal van Heutz menganggap uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil dijinakkannya. Kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan kembali jabatan uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan Aceh. Dalam pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku uleebalang nanggroe Peusangan.
Teuku Djeumpa dengan cermat mulai memutar roda pemerintahan nanggroe Peusangan sepeninggal Teuku Tjhik Sjamaun. Kepada kemenakannya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dijelaskannya posisi Peusangan dalam peta politik terbaru tanah Aceh. Walaupun dikemas dalam untaian kata-kata yang indah, bahwa Kerajaan Belanda bersahabat dengan nanggroe Peusangan melalui Korte Verklaaring, tak berarti nanggroe Peusangan masih berkedaulatan penuh seperti yang tercantum dalam surat sarakata cap sikureung Sultan Aceh. Secara militer, nanggroe Peusangan sudah terkalahkan oleh Kerajaan Belanda. Teuku Djeumpa juga menjelaskan kepada Teuku Djohan Alamsjah, kekalahan nanggroe–nanggroe uleebalang lain ditanah Aceh hanya tinggal menunggu waktu saja. Perlawanan secara terbuka terhadap Belanda akan mengorbankan seluruh rakyat Peusangan baik harta maupu nyawa, dan cara ini harus dihindari.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk terpukau merenungkan posisi negara Aceh yang lemah berhadapan dengan Belanda. Uleebalang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan, tak ada jalan lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis. Maka, uleebalang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu Belanda itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan lugas terhadap siapapun, baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun terhadap rakyat Peusangan yang dibelanya.
Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung. Sebaliknya Belanda, sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan ini sebagai sahabatnya. Sebagai uleebalang di dalam surat “cap sikureung” ditegaskan bahwa Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat Kejreuen berhak mengambil hasil dari laut, darat dan hutan diwilayah nanggroe Peusangan. Laut lepas pantai nanggroe Peusangan sungguh kaya dengan kandungan berbagai jenis ikan. Nelayan nanggroe Peusangan sangat senang bila saat melaut tiba. Hasil tangkapan ikan melimpah ruah. Sebagai tanda penghormatan kepada uleebalangnya, oleh nelayan itu dipilihnya beberapa kepala ikan yang terbesar. Dan kepala ikan pilihan ini dipersembahkan kepada uleebalangnya, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah. Persembahan nelayan ini menjadi kenangan manis yang abadi bagi keluarga besar uleebalang Peusangan terhadap rakyatnya hingga kini.
Tak ada perlakuan istimewa bagi penguasa nanggroe Peusangan itu. Mereka harus mencari nafkah sendiri. Di atas lahan miliknya sendiri, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah harus bercucuran keringat bertani. Selang beberapa tahun, dari hasil cucuran keringatnya bertani, terutama hasil sawah dan kebun kelapa, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah dapat membangun Rumah Panggung model Aceh dari kayu di Matang Glumpang Dua pada tahun 1907. Rumah ini berkolong satu meter, berdinding papan, dan beratap sirap dari daun rumbia.
Setelah mempunyai rumah sederhana tempat berteduh dan merasa sudah akil balig, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah pada tahun 1908 melirik kekiri-kekanan mencari pasangan hidupnya. Kaum kerabatnya menyarankan kepada uleebalang muda itu untuk meneguhkan kembali tali persaudaraan antara nanggroe Peusangan dengan nanggroe Peureulak. Maka, dikirimlah seulangke (utusan) untuk mempersunting Tjut Njak Asiah, putri uleebalang Peureulak -Teuku Tjhik Abubakar Sidik. Sungguh beruntung, lamaran uleebalang Peusangan yang masih belia itu diterima dengan penuh kegembiraan oleh uleebalang Peureulak. Maka, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah telah mendapat status baru, adik ipar Teuku Muhammad Thajeb Peureulak yang juga merupakan salah seorang patriot kemerdekaan terkemuka. Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dengan gigih berusaha mewujudkan impian Indonesia Merdeka.
Didampingi oleh Tjut Njak Asiah Peureulak yang sangat bijak, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah dapat mengarungi kehidupan dengan penuh kebahagian. Anak pertamanya, seorang putri lahir pada bulan April 1912. Kedua sejoli yang diliputi kebahagian itu menganugrahkan nama, Potjut Ramlah, untuk putri mungilnya. Potjut Ramlah tumbuh dewasa menjadi seorang putri yang cantik jelita. Banyak pemuda, putra-putra uleebalang Aceh bermimpi ingin melamarnya.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah telah mewarisi wasiat ayahnya, bahwa kelak putri pertamanya menjadi pengikat tali persaudaraan dengan nanggroe Keureutau. Pada usia 16 tahun putri jelita itu menyelesaikan pendidikan formal Belanda pada ELS di Kutaraja. Kemudian dia selama setahun memperdalam ilmu Islam bersama guru pribadinya di kediaman ayahnya di Matang Glumpang Dua. Tatkala berusia 17 tahun, Potjut Ramlah dipersandingkan dengan Teuku Muhammad Basjah, putra tunggal Teuku Tjhik Sjam Sjarif, uleebalang Keureutau.
Tahun 1929 adalah masa yang paling menyibukkan bagi rakyat nanggroe Keureutau dan nanggroe Peusangan. Perkawinan kedua anak uleebalang Aceh terkemuka itu dilakukan dalam upacara yang megah. Gubernur Belanda dan pejabat tinggi Belanda di Aceh harus tercantum dalam daftar utama undangan pernikahan itu, karena Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tak mau tertimpa nasib yang sama dengan abang iparnya, Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dibuang ke Boven Digul. Dalam masa pendudukan Belanda di Aceh, setiap uleebalang wajib mengundang Gubernur Belanda dalam setiap perlehatan apapun yang diselenggarakannya.
Pasangan pengantin muda-belia itu tampak sangat anggun. Dalam pakaian kebesaran, Teuku Muhammad Basjah yang baru berumur 20 tahun dan masih murid sekolah MULO (SMP) di Kutaraja, tampil di atas panggung pelaminan yang penuh pernak-pernik hiasan. Gubernur Belanda di Aceh beserta pembesar lainnya berbaris mengucapkan selamat kepada pengantin yang putra-putri uleebalang Aceh itu. Belanda sangat senang melihat keluarga uleebalang Aceh yang sudah jinak ini. Walaupun demikian, Belanda dalam kebijakan politiknya tetap memperlakukan seluruh uleebalang Aceh bagaikan harimau ganas bagi kekuasaannya.
Setelah lama menunggu, pada tahun 1935 pasangan muda bangsawan Aceh itu dianugrahi Tuhan seorang putri. Putri mungil ini dinamai Potjut Zubaidah. Selang tiga tahun kemudian Potjut Ramlah melahirkan seorang putra yang sangat diharapkan oleh keluarga besar uleebalang Peusangan dan Keureutau. Dr. Ida Bagus Bagiastra, seorang dokter lepasan NIAS–Surabaya, menolong persalinan permaisuri Teuku Tjhik M. Basjah di Rumah Sakit pemerintah Hindia Belanda di Lhok Sukon. Kelahiran calon putra-mahkota nanggroe Keureutau disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh rakyatnya. Meriam puntung ditembakan, kembang api dinyalakan menerangi langit malam hari nanggroe Keureutau. Para ulama mengantarkan doa di surau dan mesjid. Bedug di mesjid, surau, dan meunasah dipukul bertalu- talu. Pendek kata seluruh lapisan rakyat, merayakan kelahiran putra mahkota Keureutau menurut cara dan kemampuannya masing-masing.
Diselimuti oleh kegembiraan yang berlebihan, menantu kesayangan Teuku Tjhik Peusangan ini pada tahun 1936 lepas kendali. Teuku Tjhik Muhammad Basjah dan kontrolir Lhok Sukon- Swart Junior, putra Mantan Gubernur Belanda di Aceh, bercengkrama gembira sambil menunggu kepulangan Potjut Ramlah dari rumah orang tuanya di Peusangan. Untuk mempererat tanda persahabatan, kedua pejabat yang berbeda asal dan berbeda tujuan hidup itu, meneguk minuman whisky, seloki perseloki. Hari sudah menjelang malam, permaisuri Teuku Tjhik Muhammad Basjah belum juga muncul di Lhok Sukon.
Karena terpengaruh minuman beralkohol, tiba-tiba uleebalang Keureutau itu terkejut oleh suara deruman mobil Chrysler. Permaisuri uleebalang Keureutau itu melangkah turun dari tangga mobilnya menuju ke pintu utama rumahnya sambil ditatapi oleh kedua lelaki yang sedang duduk di beranda. Sesuai adat-kebiasaan bangsa Belanda, saat melihat Potjut Ramlah yang cantik jelita, kontrolir Belanda itu langsung memuji kecantikannya. Mendengar ocehan Swart Jr., Teuku Tjhik Keureutau merasa terhina, karena perbuatan orang Belanda itu dianggap pantangan besar dikalangan bangsa Aceh. Dan perbuatan tercela itu, dianggap menghina tuan rumahnya, Teuku Tjhik Muhammad Basjah.
Sambil berkata kepada Swart Jr., coba kamu ulangi perkataanmu itu sekali lagi, Swart Jr. mendapat hujan bogem mentah bertubi-tubi dari menantu Teuku Tjhik Peusangan itu. Dalam keadaan babak-belur, Swart Jr. lari ke tangsi serdadu Belanda, di samping rumah dinas Teuku Tjhik Keureutau di Lhok Sukon. Malam itu juga, Swart Jr. dilarikan oleh Komandan Bataliyon Marsose di Lhok Sukon ke Kutaraja, melaporkan dirinya kepada Gubernur Belanda di Aceh, Dr.van Aken.
Gubernur Belanda sangat marah atas perbuatan uleebalang Aceh itu. Setelah berfikir sejenak, diambil keputusan, Teuku Tjhik Muhammad Basjah –uleebalang Keureutau dikenakan hukuman pengasingan selama setahun di Kutaradja. Jabatannya selaku uleebalang dialihkan kepada saudara sepupunya, Teuku Radja Sabi, putra Tjut Mutia -sang pahlawan- Perang Aceh. Dan Swart Jr. itu, dipersilahkan kembali ke negeri Belanda untuk memperdalam ilmu pemerintahan, terutama studi tentang Aceh.
Teuku Tjhik Muhammad Basjah, menamai calon putra mahkotanya, Teuku Ramsjah. Nama Ramsjah merupakan kependekan dari nama ibunya, Ram- lah dan nama ayahnya, Ba-syah. Ayah–bunda itu mewariskan namanya kepada putra tunggalnya, dengan harapan calon putra mahkota ini dapat mewariskan kemegahan dan keagungan leluhurnya uleebalang Peusangan dan uleebalang Keureutau. Tetapi bagaikan embun pagi diterpa panasnya sinar matahari, Revolusi Sosial Aceh tahun 1945 telah melenyapkan harapan suami-isteri bangsawan Aceh itu tanpa bekas. Teuku Tjhik Muhammad Basjah menemui ajalnya di Blang Siguci, dipancung oleh algojo PUSA yang bernama Mandoe Eit, mantan ajudannya sendiri..
Mantan ajudan ini berani berbuat lancang karena disuruh oleh Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase, anak pungut Tjut Njak Bah -ibu kandung Teuku Tjhik Muhammad Basjah. Selaku panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon, Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase memerintahkan Kapten Hasbi Wahidi -komandan bataliyon TKR- Lhok Sukon melakukan penangkapan resmi terhadap seluruh uleebalang dan pejabat negara RI di wilayah kewedanaan (gun-cho) Lhok Sukon. Terutama terhadap dua orang musuh bebuyutannya, yaitu Teuku Bentara Puteh-uleebalang Seuleumak dan Teuku Tjhik Muhammad Basjah, karena kedua orang ini telah berani menolak lamaran Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase untuk mengawini seorang janda kaya. Dan janda kaya yang menjadi incerannya adalah Tjut Njak Nur- adik kandung Teuku Tjhik Muhammad Basjah, janda putra Teuku Sri Maharadja Mangkubumi -uleebalang Lhok Seumawe.
Setelah kedua musuh bebuyutannya itu menjadi mangsa algojo PUSA, impian panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon untuk menjadi suami janda kayapun menjadi kenyataan. Harta sijanda kaya itupun dikuras habis, bekal dia mengawini seorang gadis -putri uleebalang Meuraxa- Kutaraja. Nasib anak manusia berjalan menurut suratan-tangannya masing-masing. Demikian pula dengan nasib Teuku Ramsjah, calon putra mahkota Keureutau ini. Pada tahun 1978 dikeramaian Pasar Glodok, di Jakarta tanpa terduga dua anak manusia bertemu kembali. Tiba-tiba seorang anak muda dengan wajah dan dalam pakaian kumuh, merangkul Dr. Ida Bagus Bagiastra. Orang muda ini memperkenalkan dirinya, Teuku Ramsjah putra Teuku Tjhik Muhammad Basjah -uleebalang Keureutau.
Teuku Ramsjah sungguh berperi laku aneh. Ketika kerabat ibunya Letnan Jenderal Polisi Teuku Abdul Aziz, Wapangab RI dan Letnan Jenderal TNI Dr. Teuku Sjarif Thajeb, Menteri P&K RI masa orde-baru yang sangat terkemuka, menawarkan pilihan jabatan bupati di wilayah NKRI, dengan senyum dikulum ditolaknya kebaikan hati kedua orang petinggi Republik itu. Rupanya kedua petinggi Republik Indonesia tak tahu, bahwa Teuku Ramsjah, putra mahkota nanggroe Keureutau telah berubah menjadi seorang sufi yang bermakam tinggi.
Akhirnya cucu kesayangan Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah ini mengembuskan nafas terakhir pada tanggal 11 Maret 1990 di rumahnya di Medan, setelah beberapa saat menderita sakit gagal ginjal. Putra mahkota nanggroe Keureutau itu dimakamkan disamping kakeknya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dipekuburan keluarga Sultan Deli -disamping Mesjid Raya Sultan Deli- Al Maksum, Medan.
Setelah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dianggap dewasa dan cukup cakap untuk memimpin nanggroe Peusangan, Teuku Djeumpa merasa sudah saatnya mengundurkan diri dari panggung politik nanggroe Peusangan. Gubernur Belanda di Aceh juga setuju dengan kebijakan Teuku Maharadja Djeumpa tersebut.
Dihadiri pejabat tinggi sipil dan militer, serta didahuli tembakan meriam sebanyak 7 kali dan iringan musik pasukan militer, Gubernur Belanda di Aceh melantik Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah menjadi Zelfbestuurder (penguasa daerah swapraja) nanggroe Peusangan. Upacara pelantikan ini dilangsungkan di halaman rumah kediaman uleebalang Peusangan itu, di Matang Glumpang Dua, pada tanggal 25 November 1912.
Sejak pelantikannya itu, pejabat Belanda maupun rakyat nanggroe Peusangan, menyebut Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan panggilan kehormatan, Ampon Tjhik. Maka, selanjutnya hak Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah sebagai Keujruen Peusangan yang tercantum dalam surat cap sikureung (cap sembilan) Sultan Aceh, dikukuhkan kembali oleh Gubernur Jenderal Hidia Belanda.
Sejak saat itu nanggroe Peusangan yang terdiri atas 3 uleebalang-cut (uleebalang-kecil), yaitu Jeumpa, Jangka, dan Matang Glumpang Dua resmi menjadi sahabat Kerajaan Belanda. Penduduk nanggroe ini sekitar 20.000. Menjelang Perang Dunia ke-II penduduk nanggroe Peusangan meningkat mencapai 50.000 orang. Rakyat nanggroe Peusangan sejak saat itu juga dinyatakan ikut menjadi kawula Kerajaan Belanda.
Dibalik kemegahan upacara pelantikan zelfbestuurder itu, hak kedaulatan nanggroe Peusangan dalam bidang militer-ekonomi-hukum langsung dimasukan kedalam kantong Belanda. Di nanggroe Peusangan dilakukan demiliterisasi, artinya uleebalang Peusangan tak diperkenankan memiliki pasukan tentara sendiri.
Haknya selaku panglima lasykar Kerajaan Aceh di nanggroe Peusangan dianulir oleh Belanda.
Bagaimana dengan hak mengatur ekonomi? Belanda menguncinya didalam perdagangan. Perdangangan lokal dalam kontrol Belanda. Export-import menjadi hak monopoli Belanda. Peraturan baru dikenakan terhadap rakyat Aceh, yaitu wajib bayar pajak kepada Hindia Belanda. Teuku Tjhik Peusangan beserta ulama dan tokoh masyarakat dengan tawakkal menerima beban dipundaknya. Secara tertib pajak dikumpulkan untuk penguasa baru tanah Aceh. Bila ada diantara rakyatnya tak mampu bayar pajak, maka kewajiban rakyatnya itu diambil alih, dan beban pajak itu dilunasi oleh Teuku Tjhik Peusangan pribadi.
Pengaturan hukum menjadi hak Belanda. Uleebalang boleh menunjuk kadhi (ulama) untuk medampinginya dalam memutuskan perkara kecil sesuai syariat Islam. Tetapi hasil keputusan pengadilan tingkat nanggroe ini baru mendapat kekuatan hukum setelah mendapat pengesahan controlleur Belanda. Perkara yang dianggap besar disidangkan dipengadilan Meusapat (musyawarah). Pengadilan jenis ini dipimpin langsung oleh controleur Belanda. Anggota pengadilan meusapat terdiri dari beberapa uleebalang dan ulama yang ditunjuk oleh Belanda. Controleur Belanda mempunyai hak menganulir keputusan pengadilan meusapat ini, bila dianggapnya berbahaya bagi kelestarian kekuasaan Belanda.
Hak koreksi terakhir ada ditangan Gubernur Belanda di Aceh.
Terakhir hak veto berada ditangan Gubernur Hindia Belanda di Istana Buitenzorg (Bogor). Pajak dan kerja rodi diberlakukan. Pada akhirnya hak yang tersisa untuk uleebalang, hanya sebagai kolektor pajak dan sebagai mandor kerja rodi untuk Belanda. Belanda tidak punya kepentingan terhadap pembinaan dan keselamatan rakyat di nanggroe Peusangan.
Itulah fakta sejarah yang dihadapi dan digeluti oleh Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah. Uleebalang Peusangan tak diperkenankan berdagang. Untuk menguncinya dalam sangkar emas “Uleebalang Ompong”, Belanda berbaik hati memberi tunjangan bulanan f.800,-. Tunjangan bulanan uleebalang Peusangan ini sama besarnya dengan honorarium bulanan dokter pribadi Sri Susuhunan Paku Buwono X , Radja Djawa.
Setelah resmi menjadi zelfbestuur Peusangan, Teuku Tjhik Peusangan memantapkan hati untuk tetap bertekad menghadapi Belanda dengan cara diplomatis. Sungguh pahit rasanya berada sebagai orang yang terpojokkan dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Walaupun demikian, segala pahit getir yang sudah dialami bangsa Aceh dalam perang bangsa Aceh melawan Belanda, disimpan dilubuk hatinya yang sangat dalam. Uleebalang Peusangan ini sudah bertekad menggusur Belanda melalui ilmunya sendiri.
Maka, tak ada jalan lain kecuali secara sungguh-sungguh mengambil-alih ilmunya sebanyak-banyaknya. Jalan terbuka secara legal yang diakui Belanda adalah melalui pendidikan formal.
Untuk menembus rasa kecurigaan dan kebencian yang sudah berurat-akar dalam hati sanubari rakyat Aceh akibat ulah Belanda dalam perang Aceh melawan Belanda, maka Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah segera mengambil jalan pintas. Uleebalang ini menunjukkan sendiri contoh tauladan cara menghadapi penjajah Belanda kepada rakyatnya. Orang Aceh pasti dapat mengusir Belanda bilamana mampu mengambil alih ilmunya. Langkah pertama adalah dengan cara membina dan mendidik putra-putri serta kerabat terdekatnya, dengan cara langsung mempelajari dari sumbernya yakni Belanda.
Maka, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah yang terdiri atas 3 orang putra dan 4 orang putri bergembira melangkahkan kakinya ke pundi-pundi ilmu pengetahuan milik Belanda. Putra-putrinya diajak bertamasya ke alam pendidikan Belanda. Mereka sangat senang, dan terbuai dalam cita-cita ayahandanya. Seluruh putra-putri uleebalang Peusangan inipun disekolahkan di sekolah dasar Belanda, ELS di Kutaraja.
Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Maka, putra-putri uleebalang Peusangan tersebut terpaksa ditempatkan di lingkungan yang memaksa mereka menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, mereka mondok di Kutaradja pada seorang Belanda totok, seorang sersan tentara Belanda yang pernah bertugas di nanggroe Peusangan. Orang Belanda ini sudah dikenal baik sebelumnya oleh uleebalang Peusangan itu. Semua putra-putri Teuku Tjhik Peusangan berhasil sepenuhnya menyadap ilmu orang Belanda. Disamping itu mereka tetap bertingkah laku yang agung, baik dalam pandangan budaya Belanda maupun dalam pandangan budaya bangsa Aceh. Tak seorangpun dari putra-putri uleebalang ini hanyut dalam arus negatif budaya Belanda, apalagi menjadi pecandu minuman keras atau yang lainnya.
Keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan, sangat membahagiakan Teuku Tjhik Peusangan. Semua putra Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, yaitu Teuku M. Hasan, Teuku M. Saleh dan T. Abubakar serta putrinya, Potjut Ramlah, Potjut Fatimah Zohra, Potjut Maimunah dan Potjut Aminahdapat menyesaikan pendidikannya di ELS–Kutaraja dengan baik. Kecuali Potjut Ramlah, putri tertuanya yang calon permaisuri uleebalang Keureutau, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah menyelesaikan pendidikan menengah di HBS di kota Medan.
Kemudian putra tertuanya, Teuku Muhammad Hasan, putra mahkota nanggroe Peusangan, melanjutkan pendidikan tingginya di RHS (sekolah tinggi hukum) di Batavia atau Betawi. Studen RHS ini belajar dengan tekun dan dia menjauhi hiruk-pikuk kehidupan politik yang sedang bergelora di tanah Jawa. Ayahnya membekalinya f.200,- setiap bulan. Untuk kenyamanan tinggal dan belajar, putra Teuku Tjhik Peusangan ini membeli sebuah rumah sederhana seharga f. 200,- di Jalan Gereja Theresia.
Pada akhir minggu kediaman Teuku M. Hasan menjadi tempat berkumpul kawan-kawannya. Diantara kawannya yang sering bertandang adalah Teuku Jusuf Muda Dalam, putra uleebalang Bambi-Unoe yang sedang belajar di Landbouwschool-Bogor. Putra uleebalang Bambi-Unoe ini hanya mendapat f.15,- perbulan dari ayahnya. Terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari, putra uleebalang Bambi-Unoe sering minta pinjam uang pada putra Teuku Tjhik Peusangan yang hidup dalam kecukupan.
Tentu saja kebiasan anak manusia yang sulit dihilangkan hinggap pula pada anak muda studen Landbouwschool itu, yaitu mudah meminjam sulit melunasi. Satu saat Teuku Jusuf Muda Dalam ditegur keras oleh Teuku M. Hasan, karena kebiasan buruknya yang tak mau melunasi hutang. Peristiwa ini menjadi kenangan pahit bagi studen Landbouwshool itu. Akhirnya peristiwa ini merubah jalan hidup Teuku Jusuf Muda Dalam. Dirundung rasa malu yang sangat dalam karena kemiskinannya, dia bertekad akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Usai belajar di Landbouwschool, tanpa banyak pertimbangan dia memutuskan untuk belajar ilmu dagang di Handelshogeschool di Rotterdam-Belanda. Dia ingin membuktikan, bahwa ia mampu mengumpulkan uang sebanyak banyaknya. Di era Presiden Soekarno, Jusuf Muda Dalam terpilih menjadi direktur utama Bank Negara Indonesia 1946. Mendengar Teuku M. Hasan telah manjadi pegawai BNI 1946 di Medan, maka Jusuf Muda Dalam segera melucur ke Medan.
Sungguh diluar dugaan, Teuku M. Hasan, putra Teuku Tjhik Peusangan yang sudah ternista oleh kaum ulama PUSA, menjadi sasaran dendam kesumat Jusuf Muda Dalam. Ketika berhasil menjumpai Teuku M. Hasan, saat itu juga dipecatnya putra uleebalang Peusangan itu dari BNI 1946. Dalam keadaan lunglai putra mahkota nanggroe Peusangan, yang hidup flamboyan di era Hindia Belanda, kembali ke asalnya, keluarga besar Peusangan. Itulah hasil pergaulannya dengan seorang studen Landbouwschool-Bogor.
Akan hal rumahnya di Jalan Gereja Theresia, Weltervreden (daerah elite Menteng–Jakarta), menjelang pendaratan tentara Jepang di Jawa, dihadiahkannya kepada Teuku Jusuf – cucu uleebalang Seuleumak, kerabat iparnya Teuku Tjhik M. Basjah Keureutau. Sayang rumah ini dijual oleh Teuku Jusuf Seuleumak, studen GHS (sekolah dokter Belanda), pada masa penjajahan Jepang. Padahal di era Orde-Baru rumah ini bernilai tak kurang dari satu juta dollar Amerika Serikat.
Seorang kakak perempuan Teuku M. Hasan, Potjut Fatimah Zohra melanjutkan pelajaran di Sekolah Guru Tinggi di Lembang–Bandung. Adik perempuan lainnya, Potjut Maimunah belajar di Sekolah Akademi Guru –PAMS. Potjut Maimunah, semasa belajar di HBS–Medan, merasa perlu memperbaiki bahasa Jermannya. Maka, dia memilih kost pada sebuah keluarga orang Jerman bernama Schipper. Selama belajar di HBS dia mencatat pengeluaran bulanannya. Untuk uang sekolah f.22.50, untuk kost f.50, untuk uang saku f.10, total pengeluaran minimal f.82.50. Sungguh berat beban yang harus dipikul oleh Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah untuk membiayai ke 7 orang putra- putrinya. Walaupun demikian, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah melangkah terus. Dirangkulnya seorang kemenakannya yang bernama Teuku Abdul Aziz. Kemenakannya itu di dorongnya maju kemedan juang yang baru. Disekolahkannya pemuda itu di HIS, kemudian T.A. Aziz melanjutkan studi di MULO Kutaraja dan AMS–B di Jogyakarta.
Sesuai dengan kebanggaan pada zaman itu, putra-putra uleebalang Aceh dan kerabatnya berlomba menembus benteng aturan Belanda untuk menjadi kadet Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Negeri Belanda. Pada masa Hindia Belanda ada aturan tak tertulis, orang Aceh tak diperkenankan masuk militer Belanda. Apalagi masuk KMA Breda, di negeri Belanda. Walaupun demikian, kaum bangsawan muda Aceh tetap berusaha mereguk ilmu militer Belanda sedalam-dalamnya. Tentu saja target terakhirnya orang bangsawan ini adalah merebut kembali kemerdekaan tanah Aceh.
Terbawa oleh arus zamannya setamat AMS di Jogyakarta, Teuku Abdul Aziz bersama 3 orang putra bangsawan Aceh lainnya, yaitu: Teuku Teungoh Hanafiah, putra Teuku Muda Jusuf, uleebalang Simpang Ulim, Teuku Akbar, putra seorang uleebalang didaerah pantai barat Aceh, dan Teuku Jusuf, cucu Teuku Bentara Seuntang uleebalang Seuleumak. Keempat mereka menempuh ujian masuk KMA (Koninklijke Militairie Academie) di Breda. Semua perintang dalam ujian itu dapat dilalui putra bangsawan itu dengan hasil sangat memuaskan. Apakah masih ada alasan “Panitia Ujian Seleksi” masuk KMA itu menolaknya? Secara profesional dan administratif, jawabnya tidak. Alhasil ke-4 orang pemuda Aceh itu diterima menjadi kadet KMA. Hasil ini sungguh mengejutkan bagi putra-putra terbaik Aceh itu, maka meledaklah kegembiraan mereka.
Jenderal Berenschot, panglima KNIL (tentara Hindia Belanda) dengan tenang masuk ke ruang kerjanya, di Markas Besar KNIL, di Bandung. Ajudannya telah menyiapkan laporan rahasia dari Kantor BB (departemen dalam negeri Hindia Belanda) di meja panglima KNIL itu. Jenderal Berenschot membaca seluruh laporan itu dengan teliti, kasus demi kasus. Sungguh terperanjat Jenderal KNIL itu. Lebih terperanjat lagi dibuatnya, ketika menyaksikan bocah Aceh -mantan tawanannya yang saat itu berumur 8 tahun- lulus ujian kadet KMA. Dipendamnya dilubuk hati terdalam segala pengalaman pahit di medan pertempuran Aceh. Terlintas dibenaknya, Angkatan Perang Kerajaan Belanda di masa akan datang harus berhadapan lagi dengan orang muda reinkarnasi Teuku Umar, sang pahlawan Kerajaan Aceh. Walaupun demikian, ajudannya diperintahkannya untuk mempersilahkan ke-4 orang anak muda Aceh itu masuk ke ruang kerjanya.
Dengan kesopanan seorang Jenderal Kerajaan Belanda, Jenderal Berenschot mempersilahkan ke-4 orang putra bangsawan Aceh itu untuk mengambil tempat duduknya masing-masing di hadapan meja kerjanya. Pembicaraanpun dibukanya, Jenderal Belanda itu atas nama Angkatan Perang Hindia Belanda dan atas nama Sri Ratu Belanda mengucapkan kata-kata terima kasihnya atas kesediaan mereka bergabung dengan angkatan perang Kerajaan Belanda, serta mengucapkan selamat atas kelulusan mereka menjadi kadet KMA–Breda di Negeri Belanda.
Pada akhir ukiran kata-kata yang indah itu, Jenderal Berenschot menutup dengan kalimat pendek yang sangat menyejukan bagi Kerajaan Belanda. Ledakan kalimat pendek itu, sungguh bagaikan sejuta kali kekuatan letusan Gunung Krakatau tahun 1883 bagi ke-4 bangsawan muda Aceh itu. Seluruh impian cucu Teuku Tjhik Sjamaun bersama ke 3 bangsawan Aceh itu, laksana terlempar kesisi kursi pemilik alam semesta dilapisan langit ke-7.
Panglima KNIL itu berkata: “Sungguh sayang, saya terpaksa menyatakan dengan berat hati, tuan-tuan Teuku Abdul Aziz, Teuku Teungoh Hanafiah, Teuku Akbar, Teuku Jusuf, tidak dapat kami terima di Akademi Militer Kerajaan Belanda”. Dihelanya dalam-dalam nafasnya, kemudian disambungnya kata-kata yang terputus oleh rasa lelahnya . “Karena tuan-tuan ber ‘BANGSA ACEH’, itu saja alasannya”. “Kecuali satu hal, jika tuan-tuan dapat memperoleh surat jaminan tertulis dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, maka tuan-tuan akan kami terima di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda”.
“Walaupun demikian”, sambung Jenderal Belanda itu lagi. “Tuan-tuan dapat diterima di sekolah tinggi kedokteran, atau hukum, atau pertanian, ataupun pamongpraja”. Jenderal Berenshot menyudahi pembicaraannya dengan penuh kesopanan Belanda: “Saya sangat senang telah bertemu dengan tuan-tuan hari ini, dan saya menunggu dengan sangat jaminan tertulis untuk tuan-tuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda”.
Dalam keadaan gontai ke-4 orang anak muda Aceh itu keluar dari kamar kerja panglima KNIL itu. Dengan bibir gemetar ke-4 anak muda itu segera menelpon handai-tolannya masing–masing, melaporkan hasil ujian seleksi masuk KMA di Breda. Mereka mendesak kaum kerabatnya masing-masing untuk datang menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk mendapat rekomendasi masuk KMA-Breda bagi mereka.
Kecuali Teuku Tjhik Peusangan, seluruh kerabat uleebalang Aceh yang putranya tergila-gila akan kadet KMA-Breda itu, menjawab singkat permintaan putranya itu: “Apakah kamu anakku akan mati kelaparan, kalau tidak menjadi serdadu Belanda?”. Kerabat uleebalang Aceh sangat menginsafi posisinya masing-masing berhadapan dengan musuh bebuyutannya itu. Mereka tidak mau larut dalam buih sopan-santun Belanda.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang rendah hati itu dan sudah bertekad mengabisi Belanda dengan ilmunya sediri, segera berusaha memenuhi permintaan T.A. Aziz – kemenakannya itu. Gayungpun bersambut, Teuku Tjhik Peusangan datang menemui Dr. Van Aken. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan disambut baik oleh Gubernur Belanda di Aceh. Dr. Van Aken segera mengirim surat kawat (telegram) rahasia kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengabarkan perihal permintaan Teuku Tjhik Peusangan, sekutu Belanda di Peusangan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama dengan beberapa penasehatnya membahas dengan cermat surat kawat Dr. Van Aken yang juga menjabat anggota Dewan Hindia. Akhirnya permintaan Teuku M. Djohan Alamsjah, sahabat pribadi Dr. Van Aken, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda diberi formula baru. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan tidak dinyatakan ditolak. Dalam formula baru ciptaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, T.A. Aziz dipaksa berangkat ke kota Sukabumi, menjadi kadet Akademi Polisi Kerajaan Belanda. Artinya, Akademi Militer Belanda tetap tertutup bagi bangsa Aceh.
Jenderal Berenschoot, Panglima KNIL merasa sangat puas, karena dapat menyingkirkan ke-4 orang muda bangsawan Aceh, musuh potensial Kerajaan Belanda dari arena gudang ilmu militer. Sungguh sayang, rasa puas sang jenderal tak dapat berlangsung lama. Tanpa terduga seorang bangsawan Aceh lainnya berhasil menyusup ke kamar tidurnya. Bangsawan muda Aceh itu adalah, Teuku Tjhik Ali Akbar -uleebalang Kaway XVI- Aceh Barat, murid OSVIA Bandung.
Dengan senyum pahit, Teuku Tjhik Ali Akbar terpaksa diterimanya menjadi menantunya. Rupanya putri sang jenderal yang dibesarkan dalam medan pertempuran militer Belanda di wilayah Aceh Barat, sudah tak dapat lagi melepaskan diri dari kenikmatan menu para gerilyawan Kerajaan Aceh. Akhirnya, ketika serdadu Jepang mendarat di pantai Barat Aceh tahun 1942, menantu Jenderal Belanda ini menjadi tumbal kebengisan serdadu Jepang. Sayed Abubakar, kader PUSA yang menjadi anggota Fujiwara Kikan memberi petunjuk khusus kepada serdadu Jepang untuk mengantarkan uleebalang Kaway XVI menemui Sang Penciptanya di langit ke-7.
Seorang uleebalang lain di pantai barat Aceh, uleebalang nanggroe Trumon (Bakongan) juga ikut tergaet noni Belanda. Maka, noni Belanda itupun menjadi isteri uleebalang Trumon (Bakongan). Kenyataan beberapa uleebalang Aceh beristerikan perempuan Belanda tentu saja menjadi bumerang bagi kaum uleebalang. Untuk meningkatkan kebencian rakyat Aceh terhadap kaum uleebalang, dalam kurun waktu hegemoni kaum ulama PUSA tahun 1945-1950, yel-yel bertajuk uleebalang = menantu Belanda berkumandang dengan dahsyat di seluruh pelosok Aceh. ***
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Maka, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah dengan langkah yang ringan, tanpa membuang waktu langsung mengayunkan langkah berikut ke proyek besarnya. Yaitu, mencerdaskan seluruh rakyatnya, rakyat nanggroe Peusangan.
Rakyatnya ditariknya segera dari dalam gua kegelapan serta kebodohan dengan obor ilmu pengetahuan Belanda. Pendidikan rakyat model Belanda dikembangkannya. Secara bertahap dan pasti putra-putri rakyatnya dicerdaskannya melalui pendidikan formal. Gedung sekolah didirikannya, walaupun hanya dalam kondisi serba darurat, sesuai dengan uang yang berdering dikoceknya. Maka dalam waktu singkat berdirilah sekolah-sekolah yang sangat dasar di Matang Glumpang Dua. Orang Belanda menyebut sekolah itu volkschool. Orang Aceh menamainya -sekolah rakyat- kelas 3. Pemerintah Hindia Belanda di Aceh dengan senang hati membantu mewujudkan mimpi indah Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah itu.
Kelangkaan tenaga guru memaksa uleebalang Peusangan mencari jalan pintas. Guru-guru diimport dari Negeri Minangkabau yang sudah lebih dahulu maju dalam pendidikan. Orang Minangkabau pertama yang membawa obor ilmu-pengetahuan Belanda ke Peusangan adalah pasangan suami isteri guru, Sutan Mangkudun dan isterinya Encik Rukiah. Suami-isteri guru ini berasal dari Maninjau. Dengan penuh dedikasi kedua suami-isteri guru ini mengajar membaca-menulis, ilmu berhitung, dan bahasa Melayu kepada anak-anak bangsa Aceh di Peusangan. Selang beberapa tahun kemudian, uleebalang Peusangan meminta kepada Sutan Mangkudun untuk mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-anak tamatan vervolkschool.
Melalui kesungguhan orang Maninjau suami-isteri itu, muncul lagi di Peusangan sekolah baru, vervolkschool – sekolah rakyat kelas 5. Untuk memenuhi tenaga guru yang sangat mendesak, uleebalang Peusangan itu mengirim putra-putra Peusangan tamatan volkschool, belajar disekolah guru di kota Padang. Sementara itu muncul seorang guru yang sudah siap pakai, dia tamatannormalschool (sekolah guru berbahasa Melayu) di Pematangsiantar, namanya Sjamaun Gaharu. Uleebalang Peusangan sangat senang dibuatnya, dan langsung menempatkannya menjadi guru volkschool di Matang Glumpang Dua.
Guru muda itu sangat kreatif dalam mendidik anak muridnya yang hampir seluruhnya terdiri dari anak petani. Melihat prestasi kerja guru muda itu yang sangat menonjol, maka Sutan Mangkudun mengusulkan kepada uleebalang Peusangan, supaya Sjamaun Gaharu diberi kesempatan belajar diLandbouwschool di Bogor. Teuku Tjhik Peusangan sangat setuju dengan usul Sutan Mangkudun yang bijak itu. Orang Minangkabau itu menambahkan catatan khusus, bahwa ilmu pertanian yang diperoleh di Landbouwschool itu dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya. “Bukankah Ampon Tjhik berkehendak membangun proyek raksasa, membangun pertanian rakyat Peusangan secara besar-besaran?”, tambah Sutan Mangkudun menguatkan usulnya itu.
Mengajak putra-putri rakyat Peusangan untuk bersekolah tidak selalu mulus. Sebagian rakyatnya menyatakan keberatannya untuk mengizinkan anaknya belajar disekolah kafir ini. Satu persatu orang tua murid tersebut diyakinkan oleh Teuku Tjhik Peusangan akan manfaat ilmu pengetahuan, guna melenyapkan kebodohan. Uleebalang itu menambahkan lagi, setelah kebodohan lenyap baru kemakmuran dan kesejahteraan datang menyongsong rakyat Peusangan. Pendekatan yang dilakukan Teuku Tjhik Peusangan sangat menyentuh hati rakyatnya. Namun kemudian giliran anak-anak orang Aceh yang menyatakan penolakannya, mereka melarikan diri dari sekolah.
Teuku Tjhik Peusangan dengan penuh tawakal berusaha menghadapi tingkah-polah bocah-bocah Peusangan. Diantara bocah liar ini terdapat seorang bocah yang terlalu liar, namanya Muhammad Insya. Dia anak salah seorang petani di Matang Glumpang Dua. Dijinakkannya anak terliar orang desa itu, serupa dengan cara menjinakkan sapi-liar Aceh yang baru tertangkap dihutan rimba. Setiap hari bocah itu dijemput paksa oleh opas uleebalang Peusangan. Ditangannya dipasangkan borgol, sebelah lagi borgol dipasangkan pada lengan opas itu. Mata si bocah itu ditutup rapat dengan kain selendang berwarna hitam. Dalam keadaan mata tertutup dan tangan terborgol bocah Aceh itu setiap hari diantar kesekolahnya. Sesampai di sekolah sang bocah duduk dibangkunya didampingi pengawalnya, opas uleebalang itu.
Waktu berjalan terus, dan si bocahpun berangsur menjadi jinak, seperti sapi liar Aceh yang akhirnya terjinakan oleh waktu. Diluar dugaan, Muhammd Insya, anak liar ini akhirnya menjadi murid terpandai dikelasnya. Sutan Mangkudun, gurunya sungguh terperangah dibuatnya. Atas usul gurunya, anak liar yang cerdas itu, disekolahkan oleh Teuku Tjhik Peusangan ke sekolah berbahasa Belanda. Kemudian atas jaminan dan ongkos Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah pribadi, diapun menjadi studen di sekolah Akademi Kepolisian Kerajaan Belanda di Sukabumi, mengikuti jejak-kemenakan uleebalangnya- Teuku Abdul Aziz. Di awal revolusi kemerdekaan Indonesia, Muhammad Insya menjadi Panglima BKR/TKR/TNI pertama di Kresidenan Jambi. Kemudian dia ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian Kresidenan Aceh pada tahun 1946.
Merasa sudah cukup lama bekerja untuk Teuku Tjhik Peusangan, dan anak-anaknya sendiri sudah tumbuh besar, maka guru Sutan Mangkudun memberanikan diri untuk pindah kembali ke negeri Minangkabau. Uleebalang Peusangan itu sungguh terperanjat dibuatnya. Berbagai alasan dikemukakan guru Sutan Mangkudun, dan alasan yang paling utama adalah anak-anaknya butuh bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dengan berbagai alasan guru itu tetap dibujuk oleh uleebalang Peusangan untuk bekerja mencerdaskan anak-anak pribumi nanggroe Peusangan. Hati suami-isteri guru itu sungguh luluh dibuatnya.
Alibi keluarga Sutan Mangkudun sungguh sangat mengilhami uleebalang Peusangan itu. Tak lama kemudian Teuku Tjhik Peusangan mendesak Gubernur Belanda di Aceh untuk mendirikan HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda, di kota Bireuen yang banyak dihuni tentara Belanda. Kini anak-anak kecil yang selama ini harus bersusah payah ke HIS Lhok Seumawe dengan kereta api ASS yang kuno itu, dapat belajar dengan nyaman di HIS Bireuen. Anak-anak guru Sutan Mangkudun juga belajar di sekolah Belanda itu. Akhirnya suami-isteri guru yang penuh dedikasi dan sangat profesional itu menghabiskan seluruh sisa umurya di Peusangan. Dan Sutan Mangkudun beserta isterinya Encik Rukiah dimakamkan di nanggroe Peusangan.
Setelah Teuku Tjhik Peusangan merasa dirinya sudah mulai berhasil membimbing rakyatnya keluar dari gua kegelapan dan kebodohan dengan menggapai ilmu duniawi orang Belanda walau dalam kadar yang sangat minimal, maka uleebalang Peusangan itu berusaha mengembalikan marwah-martabat bangsa Aceh melalui ilmunya sendiri, ilmu dunia-akhirat, yaitu ilmu agama Islam.
Seluruh ulama nanggroe Peusangan dirangkulnya, dan diajaknya menyokong mendirikan sekolah pendidikan agama Islam. Bagaikan tarikan magnit raksasa, dalam sekejap seluruh rakyat nanggroe Peusangan tersedot keterpihakkannya oleh ajakan uleebalang dan ulamanya membangun kembali syiar Islam di Peusangan. Dalam waktu singkat berdirilah sebuah gedung sederhana, tempat lembaga pendidikan formal agama Islam mewujudkan cita-citanya di Matang Glumpang Dua, ibu kota nanggroe Peusangan.
Lembaga pendidikan ini diberi nama Al Muslim. Dalam upacara yang cukup meriah pada tahun 1929, Perguruan Islam Al Muslim tersebut dibuka resmi oleh uleebalang dan ulama-ulama di nanggroe Peusangan. Dalam kemeriahan upacara itu, dengan penuh keceriaan tampil seorang putri berumur 14 tahun yang cantik jelita, memotong pita peresmian Perguruan Islam Al Muslim. Putri jelita itu adalah Potjut Ramlah, putri sulung Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah.
Berbeda dengan Perguruan Normaal Islam milik kaum PUSA di Bireuen yang lenyap ditelan oleh waktu, Perguruan Islam Al Muslim berkembang dengan baik. Bangunan barupun perlu terus ditambah untuk memenuhi tuntutan anak didik yang semakin bertambah banyak. Derajat perguruan Al Muslim inipun terus meningkat hingga sekarang ini.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan duniawi milik Belanda dan ilmu duniawi-ukhrawi Islamnya orang Aceh, Teuku Tjhik Peusangan memberanikan dirinya untuk mengajak rakyat Peusangan mengarungi kehidupan nyata untuk mencari nafkah yang halal. Maka, roda ekonomi rakyat harus dihidupkan kembali. Perhatian utama ditujukan ke bidang pertanian rakyat.
Pertanian model onderneming (perkebunan) yang telah mencelakakan rakyat Aceh di nanggroe Tamyang dan nanggroe Langsa dijauhinya. Seluruh rakyat Peusangan digugahnya untuk memperluas area persawahan. Ternyata persawahan yang luas menyedot air yang sangat banyak pula. Persedian air untuk persawahan tak mencukupi lagi. Melihat kenyataan ketidak mampuan masyarakat Peusangan untuk memecahkan masalah perairan bagi sawah mereka yang sangat luas itu, Teuku Tjhik Peusangan terpaksa berpaling pada penguasa Hindia Belanda.
Ternyata Belanda juga sangat senang dengan proyek raksasa uleebalang Peusangan itu. Belanda langsung mendatangkan tenaga ahli persawahannya dari Pulau Jawa. Mereka ditugaskan mendampingi uleebalang Peusangan memodernisir pertanian rakyat Peusangan. Soko guru persawahan, yaitu dam (bendungan) dan irigasi (lueng) untuk mengatur aliran air Krueng Peusangan dibangunnya.
Hingga kini buah tangan Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah beserta rakyatnya itu masih menjadi monumen abadi untuk nanggroe Peusangan. Proyek persawahan nanggroe Peusangan sangat sukses, dan produksi padi sangat melimpah. Nanggroe Peusangan menjadi lumbung padi tanah Aceh. Dr. A. Ph. van Aken, Gubernur Belanda di Aceh (1932-1936) sangat senang akan keberhasilan uleebalang Peusangan itu memakmurkan rakyatnya.
Gubernur Belanda itu menyebut Peusangan anggota VIER P (empat P) tanah Aceh, yaitu P pertama adalah nanggroe Peureulak yang terkenal keberhasilan petroleumnya, P kedua – nanggroe Pase yang terkenal dengan produksi kopranya, P ketiga – nanggroe Pidie dengan produksi ikannya, dan P keempat adalah nanggroe Peusangan dengan produksi padinya.
Usai keberhasilan meningkatkan produksi padi, uleebalang Peusangan mengajak rakyatnya untuk bergiat dalam agro bisnis buah-buahan. Merasakan nikmatnya deringan ringgit emas berdering dikantongnya dari hasil produksi padi, rakyat Peusangan dengan suka-cita menyambut gagasan uleebalangnya. Sekali lagi Teuku Tjhik Peusangan berpaling ke penguasa Belanda di Aceh untuk membantu rakyat Peusangan.
Penguasa Belanda dengan senang hati memenuhi keinginan uleebalang Peusangan itu. Gubernur Belanda di Aceh telah menaikkan derajat Teuku Tjhik Peusangan menjadi, sahabatnya. Maka, dalam waktu singkat berdatangan ahli pertanian dari Bogor, Jawa Barat atas perintah penguasa Belanda di Batavia. Penyuluh pertanian itu membawa segala bibit unggul buah-buahan yang dikehendaki uleebalang Peusangan itu.
Waktupun berlalu terus, dan hingga hari ini nanggroe Peusangan dipenuhi pohon buah-buahan sawo, manggis, mangga yang berlimpah. Bahkan buah jeruk Bali, bila di Jakarta berharga mahal, maka di Peusangan hanya dijadikan bola-sepak anak-anak petani gurem. Untuk menunjang keberhasilan pertanian rakyat, perniagaan digiatkannya. Pusat perniagaan dan ruko (rumah-toko) bermunculan diberbagai pelosok Peusangan. Hari pasar model Minangkabau usulan guru Sutan Mangkudun dipraktekkan diseluruh nanggroe Peusangan. Maka, kota Bireuen muncul menjadi pusat perdagangan terpenting di pantai utara Aceh.
Seiring dengan invasi Jepang ke negeri Tiongkok, maka imigran Tionghoa baik kaya maupun miskin membanjiri berbagai pelosok nanggroe Peusangan untuk mendapatkan perlindungan dan nafkah.
Usai mengantar rakyatnya ke lubuk kemakmuran duniawinya, dengan langkah pasti Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah mengantarkan rakyat Peusangan ke gerbang rumah Tuhan, menuju ukhrowi. Uleebalang ini mengajak rakyatnya kembali mendekatkan diri kepada Khaliknya, dan mensyukuri nikmat yang dianugrahi Sang Maha Pencipta alam semesta itu.
Dengan kemakmuran yang telah dinikmatinya, rakyat Peusangan bangkit membangun rumah ibadahnya. Mesjid besar dan kecil serta surau barupun bermunculan diberbagai pelosok nanggroe Peusangan. Mesjid dan surau lamapun dipugar, sehingga membuat uleebalang-uleebalang ditanah lain sungguh terperangah.
Mereka juga mencoba meraih keberhasilan yang telah dicapai nanggroe Peusangan. Caranya, para uleebalang itu mengirim puteranya untuk dididik oleh Teuku Tjhik Peusangan. Maka, jadilah uleebalang Peusangan tutor (guru pribadi) dalam ilmu pemeritahan dan politik Aceh bagi putra para uleebalang Aceh lainnya.
Kurikulum sekolah model uleebalang Peusangan sungguh sangat khas. Setiap hari usai sholat subuh putra-putra uleebalang dibawa ketengah sawah, diajaknya membajak sawah bersama-sama meniru rakyat Peusangan yang sedang mengerjakan sawahnya sendiri. Azan sholat dzuhur memanggil, pelajaran bersawah bagi putra-putra dihentikan sementara. Usai sholat dzuhur dan makan siang dengan cara petani yang sangat sederhana bersama Teuku Tjhik Peusangan, murid dan guru itu berkumpul lagi membahas pelajaran berikutnya.
Dalam pelajaran ini sang guru memperlihatkan cara menebang dan memotong pohon bambu. Dengan berderai air mata dan bermandikan keringat para putra uleebalang yang telah menjadi anak manja itu, terpaksa mempraktekkan ilmu yang diberikan oleh gurunya itu. Tak lupa pula diajarkan cara menuai dan menumbuk padi. Bila ada kegiatan menggali dan memperbaiki irigasi sawah, anak-anak manja itu diikutkan serta bekerja bersama rakyat Peusangan. Usai sholat Insya murid dan guru berdiskusi membahas bahan pelajaran yang telah dikerjakannya.
Sebelum diskusi ditutup menjelang waktu tidur malam, Teuku Tjhik Peusangan selalu bertanya kepada murid-muridnya itu: “Apakah ampon-ampon lelah mengerjakan latihan tadi siang? Dengan serempak para muridnya menjawab : “Ya, Ampon Tjhik, kami sungguh lelah”. Sang guru melanjutkan: “Oleh karena itu, bila ampon-ampon nanti sudah menjadi uleebalang, jangan menyuruh rakyat nanggroe ampon-ampon semena-mena”. Itulah salah satu inti pelajaran ilmu pemerintahan dan politik dari Teuku Tjhik Peusangan yang hingga kini masih dikenang oleh rakyat Peusangan dan menjadi romantika sejarah sepanjang masa untuk rakyat Peusangan sampai anak cucu kelak.
Sumber: Dari Berbagai Sumber
harianaceh
Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan nama Panglima Perang (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin pasukan nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.
Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak. Mereka terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku Tjhik Sjamaun dari putri uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun, seorang putri. Rakyat nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun dengan nama kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam kehidupan sehari-hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil menjadi “uleebalang terkemuka” di Aceh. Dan yang ketiga juga seorang putra, Teuku Bustaman.
Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan. Pulo Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) nanggroe Peusangan. Desa Iboh juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-1946.
Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orang tua Teungku Amir Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orang tua Husin al Mujahid mengungsi ke nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan Belanda jauh hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh memberi gelar yang agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte Aceh, karena keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh uleebalang Aceh hanya dalam waktu beberapa hari saja. Tanpa pernah bertempur guru sekolah dasar madrasah di Idi -Aceh Timur ini, dapat mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor TKR/TNI Teuku Njak Arief dan menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon. Napoleon Bonaparte Aceh dengan lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat) dengan ganas membantai seluruh uleebalang Aceh beserta pengikutnya.
Rumah Peninggalan Yang terletak Di kota Peusangan
Kemudian Amir Husin al Mujahid mengangkat dirinya sendiri menjadi Jenderal Mayor, anehnya ketika dia berpangkat Jenderal Mayor tentaranya lenyap bersama asap revolusi sosial Aceh. Kawan-kawannya sesama orang PUSA menyebutnya filsuf besar Aceh. Keberhasilan Teungku Amir menggusur Teuku Njak Arief, Residen- penguasa Negara Republik Indonesia yang baru merdeka di Aceh, mengantarkan seorang guru madrasah Jamiatul Diniah Abadiyah di Blang Paseh-Sigli yang bernama Teungku Muhammad Daud Beureueh ke takhta Diktator Aceh yang baru.
Sambil berkacak pinggang, dengan tangan kiri dia menuding kemuka Teuku Tjhik Daudsjah - Pejabat Residen Aceh. Uleebalang Idi yang bunglon itu diperintahkannya untuk mengangkat pemilik kios obat Pidie yang bernama, Teuku Muhammad Amin, menjadi Asisten Residen Aceh Bidang Politik. Terpukau oleh kebengisan PUSA, dalam sekejap Teuku Tjhik Peusangan yang selama ini “dimuliakan rakyatnya”, berubah menjadi target tangkapan Teuku Muhammad Amin pada bulan Maret 1946.
Dalam masa pertempuran dengan Belanda di nanggroe Peusangan, Teuku Tjhik Sjamaun mengundurkan diri ke daerah hulu sungai Peusangan yang penuh hutan rimba. Dalam pengungsiannya ini Teuku Tjhik Sjamaun itu mengatur strategi melawan serangan dan invasi pasukan Jenderal van Heutz. Uleebalang ini telah bersumpah, tidak akan pernah berjumpa dengan kafir Belanda. Setelah bergerilya selama 2 tahun, Teuku Tjhik Sjamaun jatuh sakit dan wafat ditengah hutan rimba Peusangan. Maka, terwujudlah sumpahnya untuk tidak berjumpa kafir Belanda. Teuku Tjhik Sjamaun yang patrotik itu dimakamkan di markas komandonya ditengah hutan rimba Peusangan.
Pemakaman uleebalang yang patriotik ini mendapat penghormatan yang megah dari pasukan dan pengikutnya yang setia. Sayang makam yang bersejarah ini kemudian hari dipindahkan. Setelah keadaan di Peusangan menjadi damai jenasah Teuku Tjhik Sjamaun dimakamkan kembali di Matang Glumpang Dua, oleh putranya Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah.
Ketika Teuku Tjhik Sjamaun sedang bergerilya di rimba Peusangan, Sultan Aceh Tuwanku Muhamad Daudsjah berkunjung ke Matang Glumpang Dua, ibu kota nanggroe Peusangan. Sultan Aceh itu bermaksud mengukuhkan kembali Teuku Tjhik Sjamaun sebagai uleebalang Peusangan dengan gelar kedudukannya Teuku Keujruen.
Sultan Aceh menunggu kedatangan Teuku Tjhik Sjamaun beberapa hari di Matang Glumpang Dua, tetapi uleebalang Peusangan itu tak kunjung tiba. Seorang utusan Teuku Tjhik Sjamaun mengabarkan kepada Sultan Aceh, bahwa uleebalang itu sedang sakit berat di tengah rimba di hulu sungai Peusangan. Tanpa membuang waktu, sebagai gantinya Sultan Aceh mengukuhkan putranya, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai uleebalang nanggroe Peusangan. Pengangkatan itu dimuat diatas surat resmi Keputusan Kerajaan Aceh. Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap Sikureung” itu diserahkan langsung kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah. Pada hal, pada saat pengangkatannya, uleebalang muda itu baru berumur 10 tahun.
Beliau bersama Sang Ibu
Usai pelantikan itu, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz terhadapnya, Sultan Aceh bergegas melanjutkan perjalanan-kerjanya ke wilayah Pasai, untuk menyusun kembali markas komanandonya. Sunguh ironis, perjuangan Teuku Tjhik Sjamaun melawan penjajah Belanda kandas dalam waktu singkat. Beberapa bulan setelah Teuku Tjhik Sjamaun wafat, paman Teuku Tjhik Djohan Alamsjah yang tertua yang bernama Teuku Maharadja Djeumpa melapor diri (mel) kepada Belanda minta berdamai.
Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Jenderal van Heutz langsung menyambut uluran tangan Teuku Djeumpa itu. Utusan Belanda datang ke Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda membujuk permaisuri uleebalang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya dibawa ke Kutaradja untuk disekolahkan. Belanda bermaksud mendidik uleebalang muda itu menurut kepentingannya, disekolah model Belanda. Dengan tegas permintaan Belanda itu ditolaknya, karena Potjut Unggaih tidak ingin putranya menjadi orang kafir. Berulang kali utusan Belanda datang bersama dengan Teuku Djeumpa, membujuk Potjut Unggaih.
Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Potjut Unggaih dengan berat hati mengijinkan putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, pusat kekuasaan Belanda di Aceh. Ibunda Teuku Djohan Alamsjah itu mengajukan syarat. Putranya boleh dibawa, tetapi harus disertai oleh seorang temannya yang juga harus disekolahkannya. Tentu saja Belanda dengan penuh suka cita menyambut berita kemenangannya ini. Tanpa perlu berlumuran darah lagi, nanggroe Peusangan telah menjadi sahabat Kerajaan Belanda.
Sahabat adalah kata berukiran indah yang disamarkan pihak Belanda, sebagai kata ganti takluknya orang Aceh. Enak didengar bangsa Belanda, tetapi pahit dirasakan bangsa Aceh. Akhirnya berangkatlah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah ke Kutaraja dengan seorang pengawal dan seorang teman yang bernama: Abdul Karim. Kelak dikemudian hari, salah seorang putra Abdul Karim ini yang bernama Drs Adnan, pegawai pemda Kota Medan, hingga bulan Oktober 2006 dengan setia masih menjaga Potjut Maimunah, salah seorang putri Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang sudah sangat sepuh dirumahnya di Jalan Sei Belutu Gang Keluarga no. 55i, Medan. Untaian tali kesetiaan anak manusiapun terputuskan. Dan ajalpun datang menjemput putri bangsawan Aceh yang agung itu pada tanggal 5 November 2006 jam 16.45 di Bandung.
Selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim belajar di sekolah Rakyat Guru Djam di Kutaradja.Guru Muhammad Djam, orang Minangkabau ini sangat profesional dibidangnya. Secara privat kedua anak muda Aceh itu dididik dan diajarinya dengan sabar. Mata pelajaran dasar yang diajarkan terutama matematik, membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Melayu, etiket pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan politik Hindia Belanda.
Kedua anak muda Aceh itu menyambut kesungguhan gurunya. Keduanya belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang diperolehnya. Gubernur Belanda di Aceh, Jenderal van Heutz sangat puas terhadap kinerja Guru Djam. Untuk mengenang jasa-jasa Guru Muhammad Djam dalam bidang pendidikan, pemerintahan Hindia Belanda di Aceh kemudian hari menamai jalan dimuka sekolah itu, jalan Guru Muhammad Djam.
Setelah menjalani masa pendidikan yang dikehandaki Belanda, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah serta kawan dan pengawalnya yang setia diantar kembali ke nanggroe Peusangan. Jenderal van Heutz menganggap uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil dijinakkannya. Kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan kembali jabatan uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan Aceh. Dalam pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku uleebalang nanggroe Peusangan.
Teuku Djeumpa dengan cermat mulai memutar roda pemerintahan nanggroe Peusangan sepeninggal Teuku Tjhik Sjamaun. Kepada kemenakannya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dijelaskannya posisi Peusangan dalam peta politik terbaru tanah Aceh. Walaupun dikemas dalam untaian kata-kata yang indah, bahwa Kerajaan Belanda bersahabat dengan nanggroe Peusangan melalui Korte Verklaaring, tak berarti nanggroe Peusangan masih berkedaulatan penuh seperti yang tercantum dalam surat sarakata cap sikureung Sultan Aceh. Secara militer, nanggroe Peusangan sudah terkalahkan oleh Kerajaan Belanda. Teuku Djeumpa juga menjelaskan kepada Teuku Djohan Alamsjah, kekalahan nanggroe–nanggroe uleebalang lain ditanah Aceh hanya tinggal menunggu waktu saja. Perlawanan secara terbuka terhadap Belanda akan mengorbankan seluruh rakyat Peusangan baik harta maupu nyawa, dan cara ini harus dihindari.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk terpukau merenungkan posisi negara Aceh yang lemah berhadapan dengan Belanda. Uleebalang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan, tak ada jalan lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis. Maka, uleebalang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu Belanda itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan lugas terhadap siapapun, baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun terhadap rakyat Peusangan yang dibelanya.
Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung. Sebaliknya Belanda, sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan ini sebagai sahabatnya. Sebagai uleebalang di dalam surat “cap sikureung” ditegaskan bahwa Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat Kejreuen berhak mengambil hasil dari laut, darat dan hutan diwilayah nanggroe Peusangan. Laut lepas pantai nanggroe Peusangan sungguh kaya dengan kandungan berbagai jenis ikan. Nelayan nanggroe Peusangan sangat senang bila saat melaut tiba. Hasil tangkapan ikan melimpah ruah. Sebagai tanda penghormatan kepada uleebalangnya, oleh nelayan itu dipilihnya beberapa kepala ikan yang terbesar. Dan kepala ikan pilihan ini dipersembahkan kepada uleebalangnya, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah. Persembahan nelayan ini menjadi kenangan manis yang abadi bagi keluarga besar uleebalang Peusangan terhadap rakyatnya hingga kini.
Tak ada perlakuan istimewa bagi penguasa nanggroe Peusangan itu. Mereka harus mencari nafkah sendiri. Di atas lahan miliknya sendiri, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah harus bercucuran keringat bertani. Selang beberapa tahun, dari hasil cucuran keringatnya bertani, terutama hasil sawah dan kebun kelapa, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah dapat membangun Rumah Panggung model Aceh dari kayu di Matang Glumpang Dua pada tahun 1907. Rumah ini berkolong satu meter, berdinding papan, dan beratap sirap dari daun rumbia.
Setelah mempunyai rumah sederhana tempat berteduh dan merasa sudah akil balig, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah pada tahun 1908 melirik kekiri-kekanan mencari pasangan hidupnya. Kaum kerabatnya menyarankan kepada uleebalang muda itu untuk meneguhkan kembali tali persaudaraan antara nanggroe Peusangan dengan nanggroe Peureulak. Maka, dikirimlah seulangke (utusan) untuk mempersunting Tjut Njak Asiah, putri uleebalang Peureulak -Teuku Tjhik Abubakar Sidik. Sungguh beruntung, lamaran uleebalang Peusangan yang masih belia itu diterima dengan penuh kegembiraan oleh uleebalang Peureulak. Maka, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah telah mendapat status baru, adik ipar Teuku Muhammad Thajeb Peureulak yang juga merupakan salah seorang patriot kemerdekaan terkemuka. Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dengan gigih berusaha mewujudkan impian Indonesia Merdeka.
Didampingi oleh Tjut Njak Asiah Peureulak yang sangat bijak, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah dapat mengarungi kehidupan dengan penuh kebahagian. Anak pertamanya, seorang putri lahir pada bulan April 1912. Kedua sejoli yang diliputi kebahagian itu menganugrahkan nama, Potjut Ramlah, untuk putri mungilnya. Potjut Ramlah tumbuh dewasa menjadi seorang putri yang cantik jelita. Banyak pemuda, putra-putra uleebalang Aceh bermimpi ingin melamarnya.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah telah mewarisi wasiat ayahnya, bahwa kelak putri pertamanya menjadi pengikat tali persaudaraan dengan nanggroe Keureutau. Pada usia 16 tahun putri jelita itu menyelesaikan pendidikan formal Belanda pada ELS di Kutaraja. Kemudian dia selama setahun memperdalam ilmu Islam bersama guru pribadinya di kediaman ayahnya di Matang Glumpang Dua. Tatkala berusia 17 tahun, Potjut Ramlah dipersandingkan dengan Teuku Muhammad Basjah, putra tunggal Teuku Tjhik Sjam Sjarif, uleebalang Keureutau.
Tahun 1929 adalah masa yang paling menyibukkan bagi rakyat nanggroe Keureutau dan nanggroe Peusangan. Perkawinan kedua anak uleebalang Aceh terkemuka itu dilakukan dalam upacara yang megah. Gubernur Belanda dan pejabat tinggi Belanda di Aceh harus tercantum dalam daftar utama undangan pernikahan itu, karena Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tak mau tertimpa nasib yang sama dengan abang iparnya, Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dibuang ke Boven Digul. Dalam masa pendudukan Belanda di Aceh, setiap uleebalang wajib mengundang Gubernur Belanda dalam setiap perlehatan apapun yang diselenggarakannya.
Pasangan pengantin muda-belia itu tampak sangat anggun. Dalam pakaian kebesaran, Teuku Muhammad Basjah yang baru berumur 20 tahun dan masih murid sekolah MULO (SMP) di Kutaraja, tampil di atas panggung pelaminan yang penuh pernak-pernik hiasan. Gubernur Belanda di Aceh beserta pembesar lainnya berbaris mengucapkan selamat kepada pengantin yang putra-putri uleebalang Aceh itu. Belanda sangat senang melihat keluarga uleebalang Aceh yang sudah jinak ini. Walaupun demikian, Belanda dalam kebijakan politiknya tetap memperlakukan seluruh uleebalang Aceh bagaikan harimau ganas bagi kekuasaannya.
Setelah lama menunggu, pada tahun 1935 pasangan muda bangsawan Aceh itu dianugrahi Tuhan seorang putri. Putri mungil ini dinamai Potjut Zubaidah. Selang tiga tahun kemudian Potjut Ramlah melahirkan seorang putra yang sangat diharapkan oleh keluarga besar uleebalang Peusangan dan Keureutau. Dr. Ida Bagus Bagiastra, seorang dokter lepasan NIAS–Surabaya, menolong persalinan permaisuri Teuku Tjhik M. Basjah di Rumah Sakit pemerintah Hindia Belanda di Lhok Sukon. Kelahiran calon putra-mahkota nanggroe Keureutau disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh rakyatnya. Meriam puntung ditembakan, kembang api dinyalakan menerangi langit malam hari nanggroe Keureutau. Para ulama mengantarkan doa di surau dan mesjid. Bedug di mesjid, surau, dan meunasah dipukul bertalu- talu. Pendek kata seluruh lapisan rakyat, merayakan kelahiran putra mahkota Keureutau menurut cara dan kemampuannya masing-masing.
Diselimuti oleh kegembiraan yang berlebihan, menantu kesayangan Teuku Tjhik Peusangan ini pada tahun 1936 lepas kendali. Teuku Tjhik Muhammad Basjah dan kontrolir Lhok Sukon- Swart Junior, putra Mantan Gubernur Belanda di Aceh, bercengkrama gembira sambil menunggu kepulangan Potjut Ramlah dari rumah orang tuanya di Peusangan. Untuk mempererat tanda persahabatan, kedua pejabat yang berbeda asal dan berbeda tujuan hidup itu, meneguk minuman whisky, seloki perseloki. Hari sudah menjelang malam, permaisuri Teuku Tjhik Muhammad Basjah belum juga muncul di Lhok Sukon.
Karena terpengaruh minuman beralkohol, tiba-tiba uleebalang Keureutau itu terkejut oleh suara deruman mobil Chrysler. Permaisuri uleebalang Keureutau itu melangkah turun dari tangga mobilnya menuju ke pintu utama rumahnya sambil ditatapi oleh kedua lelaki yang sedang duduk di beranda. Sesuai adat-kebiasaan bangsa Belanda, saat melihat Potjut Ramlah yang cantik jelita, kontrolir Belanda itu langsung memuji kecantikannya. Mendengar ocehan Swart Jr., Teuku Tjhik Keureutau merasa terhina, karena perbuatan orang Belanda itu dianggap pantangan besar dikalangan bangsa Aceh. Dan perbuatan tercela itu, dianggap menghina tuan rumahnya, Teuku Tjhik Muhammad Basjah.
Sambil berkata kepada Swart Jr., coba kamu ulangi perkataanmu itu sekali lagi, Swart Jr. mendapat hujan bogem mentah bertubi-tubi dari menantu Teuku Tjhik Peusangan itu. Dalam keadaan babak-belur, Swart Jr. lari ke tangsi serdadu Belanda, di samping rumah dinas Teuku Tjhik Keureutau di Lhok Sukon. Malam itu juga, Swart Jr. dilarikan oleh Komandan Bataliyon Marsose di Lhok Sukon ke Kutaraja, melaporkan dirinya kepada Gubernur Belanda di Aceh, Dr.van Aken.
Gubernur Belanda sangat marah atas perbuatan uleebalang Aceh itu. Setelah berfikir sejenak, diambil keputusan, Teuku Tjhik Muhammad Basjah –uleebalang Keureutau dikenakan hukuman pengasingan selama setahun di Kutaradja. Jabatannya selaku uleebalang dialihkan kepada saudara sepupunya, Teuku Radja Sabi, putra Tjut Mutia -sang pahlawan- Perang Aceh. Dan Swart Jr. itu, dipersilahkan kembali ke negeri Belanda untuk memperdalam ilmu pemerintahan, terutama studi tentang Aceh.
Teuku Tjhik Muhammad Basjah, menamai calon putra mahkotanya, Teuku Ramsjah. Nama Ramsjah merupakan kependekan dari nama ibunya, Ram- lah dan nama ayahnya, Ba-syah. Ayah–bunda itu mewariskan namanya kepada putra tunggalnya, dengan harapan calon putra mahkota ini dapat mewariskan kemegahan dan keagungan leluhurnya uleebalang Peusangan dan uleebalang Keureutau. Tetapi bagaikan embun pagi diterpa panasnya sinar matahari, Revolusi Sosial Aceh tahun 1945 telah melenyapkan harapan suami-isteri bangsawan Aceh itu tanpa bekas. Teuku Tjhik Muhammad Basjah menemui ajalnya di Blang Siguci, dipancung oleh algojo PUSA yang bernama Mandoe Eit, mantan ajudannya sendiri..
Mantan ajudan ini berani berbuat lancang karena disuruh oleh Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase, anak pungut Tjut Njak Bah -ibu kandung Teuku Tjhik Muhammad Basjah. Selaku panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon, Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase memerintahkan Kapten Hasbi Wahidi -komandan bataliyon TKR- Lhok Sukon melakukan penangkapan resmi terhadap seluruh uleebalang dan pejabat negara RI di wilayah kewedanaan (gun-cho) Lhok Sukon. Terutama terhadap dua orang musuh bebuyutannya, yaitu Teuku Bentara Puteh-uleebalang Seuleumak dan Teuku Tjhik Muhammad Basjah, karena kedua orang ini telah berani menolak lamaran Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase untuk mengawini seorang janda kaya. Dan janda kaya yang menjadi incerannya adalah Tjut Njak Nur- adik kandung Teuku Tjhik Muhammad Basjah, janda putra Teuku Sri Maharadja Mangkubumi -uleebalang Lhok Seumawe.
Setelah kedua musuh bebuyutannya itu menjadi mangsa algojo PUSA, impian panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon untuk menjadi suami janda kayapun menjadi kenyataan. Harta sijanda kaya itupun dikuras habis, bekal dia mengawini seorang gadis -putri uleebalang Meuraxa- Kutaraja. Nasib anak manusia berjalan menurut suratan-tangannya masing-masing. Demikian pula dengan nasib Teuku Ramsjah, calon putra mahkota Keureutau ini. Pada tahun 1978 dikeramaian Pasar Glodok, di Jakarta tanpa terduga dua anak manusia bertemu kembali. Tiba-tiba seorang anak muda dengan wajah dan dalam pakaian kumuh, merangkul Dr. Ida Bagus Bagiastra. Orang muda ini memperkenalkan dirinya, Teuku Ramsjah putra Teuku Tjhik Muhammad Basjah -uleebalang Keureutau.
Teuku Ramsjah sungguh berperi laku aneh. Ketika kerabat ibunya Letnan Jenderal Polisi Teuku Abdul Aziz, Wapangab RI dan Letnan Jenderal TNI Dr. Teuku Sjarif Thajeb, Menteri P&K RI masa orde-baru yang sangat terkemuka, menawarkan pilihan jabatan bupati di wilayah NKRI, dengan senyum dikulum ditolaknya kebaikan hati kedua orang petinggi Republik itu. Rupanya kedua petinggi Republik Indonesia tak tahu, bahwa Teuku Ramsjah, putra mahkota nanggroe Keureutau telah berubah menjadi seorang sufi yang bermakam tinggi.
Akhirnya cucu kesayangan Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah ini mengembuskan nafas terakhir pada tanggal 11 Maret 1990 di rumahnya di Medan, setelah beberapa saat menderita sakit gagal ginjal. Putra mahkota nanggroe Keureutau itu dimakamkan disamping kakeknya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dipekuburan keluarga Sultan Deli -disamping Mesjid Raya Sultan Deli- Al Maksum, Medan.
Setelah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dianggap dewasa dan cukup cakap untuk memimpin nanggroe Peusangan, Teuku Djeumpa merasa sudah saatnya mengundurkan diri dari panggung politik nanggroe Peusangan. Gubernur Belanda di Aceh juga setuju dengan kebijakan Teuku Maharadja Djeumpa tersebut.
Dihadiri pejabat tinggi sipil dan militer, serta didahuli tembakan meriam sebanyak 7 kali dan iringan musik pasukan militer, Gubernur Belanda di Aceh melantik Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah menjadi Zelfbestuurder (penguasa daerah swapraja) nanggroe Peusangan. Upacara pelantikan ini dilangsungkan di halaman rumah kediaman uleebalang Peusangan itu, di Matang Glumpang Dua, pada tanggal 25 November 1912.
Sejak pelantikannya itu, pejabat Belanda maupun rakyat nanggroe Peusangan, menyebut Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan panggilan kehormatan, Ampon Tjhik. Maka, selanjutnya hak Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah sebagai Keujruen Peusangan yang tercantum dalam surat cap sikureung (cap sembilan) Sultan Aceh, dikukuhkan kembali oleh Gubernur Jenderal Hidia Belanda.
Sejak saat itu nanggroe Peusangan yang terdiri atas 3 uleebalang-cut (uleebalang-kecil), yaitu Jeumpa, Jangka, dan Matang Glumpang Dua resmi menjadi sahabat Kerajaan Belanda. Penduduk nanggroe ini sekitar 20.000. Menjelang Perang Dunia ke-II penduduk nanggroe Peusangan meningkat mencapai 50.000 orang. Rakyat nanggroe Peusangan sejak saat itu juga dinyatakan ikut menjadi kawula Kerajaan Belanda.
Dibalik kemegahan upacara pelantikan zelfbestuurder itu, hak kedaulatan nanggroe Peusangan dalam bidang militer-ekonomi-hukum langsung dimasukan kedalam kantong Belanda. Di nanggroe Peusangan dilakukan demiliterisasi, artinya uleebalang Peusangan tak diperkenankan memiliki pasukan tentara sendiri.
Haknya selaku panglima lasykar Kerajaan Aceh di nanggroe Peusangan dianulir oleh Belanda.
Bagaimana dengan hak mengatur ekonomi? Belanda menguncinya didalam perdagangan. Perdangangan lokal dalam kontrol Belanda. Export-import menjadi hak monopoli Belanda. Peraturan baru dikenakan terhadap rakyat Aceh, yaitu wajib bayar pajak kepada Hindia Belanda. Teuku Tjhik Peusangan beserta ulama dan tokoh masyarakat dengan tawakkal menerima beban dipundaknya. Secara tertib pajak dikumpulkan untuk penguasa baru tanah Aceh. Bila ada diantara rakyatnya tak mampu bayar pajak, maka kewajiban rakyatnya itu diambil alih, dan beban pajak itu dilunasi oleh Teuku Tjhik Peusangan pribadi.
Pengaturan hukum menjadi hak Belanda. Uleebalang boleh menunjuk kadhi (ulama) untuk medampinginya dalam memutuskan perkara kecil sesuai syariat Islam. Tetapi hasil keputusan pengadilan tingkat nanggroe ini baru mendapat kekuatan hukum setelah mendapat pengesahan controlleur Belanda. Perkara yang dianggap besar disidangkan dipengadilan Meusapat (musyawarah). Pengadilan jenis ini dipimpin langsung oleh controleur Belanda. Anggota pengadilan meusapat terdiri dari beberapa uleebalang dan ulama yang ditunjuk oleh Belanda. Controleur Belanda mempunyai hak menganulir keputusan pengadilan meusapat ini, bila dianggapnya berbahaya bagi kelestarian kekuasaan Belanda.
Hak koreksi terakhir ada ditangan Gubernur Belanda di Aceh.
Terakhir hak veto berada ditangan Gubernur Hindia Belanda di Istana Buitenzorg (Bogor). Pajak dan kerja rodi diberlakukan. Pada akhirnya hak yang tersisa untuk uleebalang, hanya sebagai kolektor pajak dan sebagai mandor kerja rodi untuk Belanda. Belanda tidak punya kepentingan terhadap pembinaan dan keselamatan rakyat di nanggroe Peusangan.
Itulah fakta sejarah yang dihadapi dan digeluti oleh Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah. Uleebalang Peusangan tak diperkenankan berdagang. Untuk menguncinya dalam sangkar emas “Uleebalang Ompong”, Belanda berbaik hati memberi tunjangan bulanan f.800,-. Tunjangan bulanan uleebalang Peusangan ini sama besarnya dengan honorarium bulanan dokter pribadi Sri Susuhunan Paku Buwono X , Radja Djawa.
Setelah resmi menjadi zelfbestuur Peusangan, Teuku Tjhik Peusangan memantapkan hati untuk tetap bertekad menghadapi Belanda dengan cara diplomatis. Sungguh pahit rasanya berada sebagai orang yang terpojokkan dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Walaupun demikian, segala pahit getir yang sudah dialami bangsa Aceh dalam perang bangsa Aceh melawan Belanda, disimpan dilubuk hatinya yang sangat dalam. Uleebalang Peusangan ini sudah bertekad menggusur Belanda melalui ilmunya sendiri.
Maka, tak ada jalan lain kecuali secara sungguh-sungguh mengambil-alih ilmunya sebanyak-banyaknya. Jalan terbuka secara legal yang diakui Belanda adalah melalui pendidikan formal.
Untuk menembus rasa kecurigaan dan kebencian yang sudah berurat-akar dalam hati sanubari rakyat Aceh akibat ulah Belanda dalam perang Aceh melawan Belanda, maka Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah segera mengambil jalan pintas. Uleebalang ini menunjukkan sendiri contoh tauladan cara menghadapi penjajah Belanda kepada rakyatnya. Orang Aceh pasti dapat mengusir Belanda bilamana mampu mengambil alih ilmunya. Langkah pertama adalah dengan cara membina dan mendidik putra-putri serta kerabat terdekatnya, dengan cara langsung mempelajari dari sumbernya yakni Belanda.
Maka, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah yang terdiri atas 3 orang putra dan 4 orang putri bergembira melangkahkan kakinya ke pundi-pundi ilmu pengetahuan milik Belanda. Putra-putrinya diajak bertamasya ke alam pendidikan Belanda. Mereka sangat senang, dan terbuai dalam cita-cita ayahandanya. Seluruh putra-putri uleebalang Peusangan inipun disekolahkan di sekolah dasar Belanda, ELS di Kutaraja.
Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Maka, putra-putri uleebalang Peusangan tersebut terpaksa ditempatkan di lingkungan yang memaksa mereka menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, mereka mondok di Kutaradja pada seorang Belanda totok, seorang sersan tentara Belanda yang pernah bertugas di nanggroe Peusangan. Orang Belanda ini sudah dikenal baik sebelumnya oleh uleebalang Peusangan itu. Semua putra-putri Teuku Tjhik Peusangan berhasil sepenuhnya menyadap ilmu orang Belanda. Disamping itu mereka tetap bertingkah laku yang agung, baik dalam pandangan budaya Belanda maupun dalam pandangan budaya bangsa Aceh. Tak seorangpun dari putra-putri uleebalang ini hanyut dalam arus negatif budaya Belanda, apalagi menjadi pecandu minuman keras atau yang lainnya.
Keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan, sangat membahagiakan Teuku Tjhik Peusangan. Semua putra Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, yaitu Teuku M. Hasan, Teuku M. Saleh dan T. Abubakar serta putrinya, Potjut Ramlah, Potjut Fatimah Zohra, Potjut Maimunah dan Potjut Aminahdapat menyesaikan pendidikannya di ELS–Kutaraja dengan baik. Kecuali Potjut Ramlah, putri tertuanya yang calon permaisuri uleebalang Keureutau, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah menyelesaikan pendidikan menengah di HBS di kota Medan.
Kemudian putra tertuanya, Teuku Muhammad Hasan, putra mahkota nanggroe Peusangan, melanjutkan pendidikan tingginya di RHS (sekolah tinggi hukum) di Batavia atau Betawi. Studen RHS ini belajar dengan tekun dan dia menjauhi hiruk-pikuk kehidupan politik yang sedang bergelora di tanah Jawa. Ayahnya membekalinya f.200,- setiap bulan. Untuk kenyamanan tinggal dan belajar, putra Teuku Tjhik Peusangan ini membeli sebuah rumah sederhana seharga f. 200,- di Jalan Gereja Theresia.
Pada akhir minggu kediaman Teuku M. Hasan menjadi tempat berkumpul kawan-kawannya. Diantara kawannya yang sering bertandang adalah Teuku Jusuf Muda Dalam, putra uleebalang Bambi-Unoe yang sedang belajar di Landbouwschool-Bogor. Putra uleebalang Bambi-Unoe ini hanya mendapat f.15,- perbulan dari ayahnya. Terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari, putra uleebalang Bambi-Unoe sering minta pinjam uang pada putra Teuku Tjhik Peusangan yang hidup dalam kecukupan.
Tentu saja kebiasan anak manusia yang sulit dihilangkan hinggap pula pada anak muda studen Landbouwschool itu, yaitu mudah meminjam sulit melunasi. Satu saat Teuku Jusuf Muda Dalam ditegur keras oleh Teuku M. Hasan, karena kebiasan buruknya yang tak mau melunasi hutang. Peristiwa ini menjadi kenangan pahit bagi studen Landbouwshool itu. Akhirnya peristiwa ini merubah jalan hidup Teuku Jusuf Muda Dalam. Dirundung rasa malu yang sangat dalam karena kemiskinannya, dia bertekad akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Usai belajar di Landbouwschool, tanpa banyak pertimbangan dia memutuskan untuk belajar ilmu dagang di Handelshogeschool di Rotterdam-Belanda. Dia ingin membuktikan, bahwa ia mampu mengumpulkan uang sebanyak banyaknya. Di era Presiden Soekarno, Jusuf Muda Dalam terpilih menjadi direktur utama Bank Negara Indonesia 1946. Mendengar Teuku M. Hasan telah manjadi pegawai BNI 1946 di Medan, maka Jusuf Muda Dalam segera melucur ke Medan.
Sungguh diluar dugaan, Teuku M. Hasan, putra Teuku Tjhik Peusangan yang sudah ternista oleh kaum ulama PUSA, menjadi sasaran dendam kesumat Jusuf Muda Dalam. Ketika berhasil menjumpai Teuku M. Hasan, saat itu juga dipecatnya putra uleebalang Peusangan itu dari BNI 1946. Dalam keadaan lunglai putra mahkota nanggroe Peusangan, yang hidup flamboyan di era Hindia Belanda, kembali ke asalnya, keluarga besar Peusangan. Itulah hasil pergaulannya dengan seorang studen Landbouwschool-Bogor.
Akan hal rumahnya di Jalan Gereja Theresia, Weltervreden (daerah elite Menteng–Jakarta), menjelang pendaratan tentara Jepang di Jawa, dihadiahkannya kepada Teuku Jusuf – cucu uleebalang Seuleumak, kerabat iparnya Teuku Tjhik M. Basjah Keureutau. Sayang rumah ini dijual oleh Teuku Jusuf Seuleumak, studen GHS (sekolah dokter Belanda), pada masa penjajahan Jepang. Padahal di era Orde-Baru rumah ini bernilai tak kurang dari satu juta dollar Amerika Serikat.
Seorang kakak perempuan Teuku M. Hasan, Potjut Fatimah Zohra melanjutkan pelajaran di Sekolah Guru Tinggi di Lembang–Bandung. Adik perempuan lainnya, Potjut Maimunah belajar di Sekolah Akademi Guru –PAMS. Potjut Maimunah, semasa belajar di HBS–Medan, merasa perlu memperbaiki bahasa Jermannya. Maka, dia memilih kost pada sebuah keluarga orang Jerman bernama Schipper. Selama belajar di HBS dia mencatat pengeluaran bulanannya. Untuk uang sekolah f.22.50, untuk kost f.50, untuk uang saku f.10, total pengeluaran minimal f.82.50. Sungguh berat beban yang harus dipikul oleh Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah untuk membiayai ke 7 orang putra- putrinya. Walaupun demikian, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah melangkah terus. Dirangkulnya seorang kemenakannya yang bernama Teuku Abdul Aziz. Kemenakannya itu di dorongnya maju kemedan juang yang baru. Disekolahkannya pemuda itu di HIS, kemudian T.A. Aziz melanjutkan studi di MULO Kutaraja dan AMS–B di Jogyakarta.
Sesuai dengan kebanggaan pada zaman itu, putra-putra uleebalang Aceh dan kerabatnya berlomba menembus benteng aturan Belanda untuk menjadi kadet Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Negeri Belanda. Pada masa Hindia Belanda ada aturan tak tertulis, orang Aceh tak diperkenankan masuk militer Belanda. Apalagi masuk KMA Breda, di negeri Belanda. Walaupun demikian, kaum bangsawan muda Aceh tetap berusaha mereguk ilmu militer Belanda sedalam-dalamnya. Tentu saja target terakhirnya orang bangsawan ini adalah merebut kembali kemerdekaan tanah Aceh.
Terbawa oleh arus zamannya setamat AMS di Jogyakarta, Teuku Abdul Aziz bersama 3 orang putra bangsawan Aceh lainnya, yaitu: Teuku Teungoh Hanafiah, putra Teuku Muda Jusuf, uleebalang Simpang Ulim, Teuku Akbar, putra seorang uleebalang didaerah pantai barat Aceh, dan Teuku Jusuf, cucu Teuku Bentara Seuntang uleebalang Seuleumak. Keempat mereka menempuh ujian masuk KMA (Koninklijke Militairie Academie) di Breda. Semua perintang dalam ujian itu dapat dilalui putra bangsawan itu dengan hasil sangat memuaskan. Apakah masih ada alasan “Panitia Ujian Seleksi” masuk KMA itu menolaknya? Secara profesional dan administratif, jawabnya tidak. Alhasil ke-4 orang pemuda Aceh itu diterima menjadi kadet KMA. Hasil ini sungguh mengejutkan bagi putra-putra terbaik Aceh itu, maka meledaklah kegembiraan mereka.
Jenderal Berenschot, panglima KNIL (tentara Hindia Belanda) dengan tenang masuk ke ruang kerjanya, di Markas Besar KNIL, di Bandung. Ajudannya telah menyiapkan laporan rahasia dari Kantor BB (departemen dalam negeri Hindia Belanda) di meja panglima KNIL itu. Jenderal Berenschot membaca seluruh laporan itu dengan teliti, kasus demi kasus. Sungguh terperanjat Jenderal KNIL itu. Lebih terperanjat lagi dibuatnya, ketika menyaksikan bocah Aceh -mantan tawanannya yang saat itu berumur 8 tahun- lulus ujian kadet KMA. Dipendamnya dilubuk hati terdalam segala pengalaman pahit di medan pertempuran Aceh. Terlintas dibenaknya, Angkatan Perang Kerajaan Belanda di masa akan datang harus berhadapan lagi dengan orang muda reinkarnasi Teuku Umar, sang pahlawan Kerajaan Aceh. Walaupun demikian, ajudannya diperintahkannya untuk mempersilahkan ke-4 orang anak muda Aceh itu masuk ke ruang kerjanya.
Dengan kesopanan seorang Jenderal Kerajaan Belanda, Jenderal Berenschot mempersilahkan ke-4 orang putra bangsawan Aceh itu untuk mengambil tempat duduknya masing-masing di hadapan meja kerjanya. Pembicaraanpun dibukanya, Jenderal Belanda itu atas nama Angkatan Perang Hindia Belanda dan atas nama Sri Ratu Belanda mengucapkan kata-kata terima kasihnya atas kesediaan mereka bergabung dengan angkatan perang Kerajaan Belanda, serta mengucapkan selamat atas kelulusan mereka menjadi kadet KMA–Breda di Negeri Belanda.
Pada akhir ukiran kata-kata yang indah itu, Jenderal Berenschot menutup dengan kalimat pendek yang sangat menyejukan bagi Kerajaan Belanda. Ledakan kalimat pendek itu, sungguh bagaikan sejuta kali kekuatan letusan Gunung Krakatau tahun 1883 bagi ke-4 bangsawan muda Aceh itu. Seluruh impian cucu Teuku Tjhik Sjamaun bersama ke 3 bangsawan Aceh itu, laksana terlempar kesisi kursi pemilik alam semesta dilapisan langit ke-7.
Panglima KNIL itu berkata: “Sungguh sayang, saya terpaksa menyatakan dengan berat hati, tuan-tuan Teuku Abdul Aziz, Teuku Teungoh Hanafiah, Teuku Akbar, Teuku Jusuf, tidak dapat kami terima di Akademi Militer Kerajaan Belanda”. Dihelanya dalam-dalam nafasnya, kemudian disambungnya kata-kata yang terputus oleh rasa lelahnya . “Karena tuan-tuan ber ‘BANGSA ACEH’, itu saja alasannya”. “Kecuali satu hal, jika tuan-tuan dapat memperoleh surat jaminan tertulis dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, maka tuan-tuan akan kami terima di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda”.
“Walaupun demikian”, sambung Jenderal Belanda itu lagi. “Tuan-tuan dapat diterima di sekolah tinggi kedokteran, atau hukum, atau pertanian, ataupun pamongpraja”. Jenderal Berenshot menyudahi pembicaraannya dengan penuh kesopanan Belanda: “Saya sangat senang telah bertemu dengan tuan-tuan hari ini, dan saya menunggu dengan sangat jaminan tertulis untuk tuan-tuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda”.
Dalam keadaan gontai ke-4 orang anak muda Aceh itu keluar dari kamar kerja panglima KNIL itu. Dengan bibir gemetar ke-4 anak muda itu segera menelpon handai-tolannya masing–masing, melaporkan hasil ujian seleksi masuk KMA di Breda. Mereka mendesak kaum kerabatnya masing-masing untuk datang menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk mendapat rekomendasi masuk KMA-Breda bagi mereka.
Kecuali Teuku Tjhik Peusangan, seluruh kerabat uleebalang Aceh yang putranya tergila-gila akan kadet KMA-Breda itu, menjawab singkat permintaan putranya itu: “Apakah kamu anakku akan mati kelaparan, kalau tidak menjadi serdadu Belanda?”. Kerabat uleebalang Aceh sangat menginsafi posisinya masing-masing berhadapan dengan musuh bebuyutannya itu. Mereka tidak mau larut dalam buih sopan-santun Belanda.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang rendah hati itu dan sudah bertekad mengabisi Belanda dengan ilmunya sediri, segera berusaha memenuhi permintaan T.A. Aziz – kemenakannya itu. Gayungpun bersambut, Teuku Tjhik Peusangan datang menemui Dr. Van Aken. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan disambut baik oleh Gubernur Belanda di Aceh. Dr. Van Aken segera mengirim surat kawat (telegram) rahasia kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengabarkan perihal permintaan Teuku Tjhik Peusangan, sekutu Belanda di Peusangan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama dengan beberapa penasehatnya membahas dengan cermat surat kawat Dr. Van Aken yang juga menjabat anggota Dewan Hindia. Akhirnya permintaan Teuku M. Djohan Alamsjah, sahabat pribadi Dr. Van Aken, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda diberi formula baru. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan tidak dinyatakan ditolak. Dalam formula baru ciptaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, T.A. Aziz dipaksa berangkat ke kota Sukabumi, menjadi kadet Akademi Polisi Kerajaan Belanda. Artinya, Akademi Militer Belanda tetap tertutup bagi bangsa Aceh.
Jenderal Berenschoot, Panglima KNIL merasa sangat puas, karena dapat menyingkirkan ke-4 orang muda bangsawan Aceh, musuh potensial Kerajaan Belanda dari arena gudang ilmu militer. Sungguh sayang, rasa puas sang jenderal tak dapat berlangsung lama. Tanpa terduga seorang bangsawan Aceh lainnya berhasil menyusup ke kamar tidurnya. Bangsawan muda Aceh itu adalah, Teuku Tjhik Ali Akbar -uleebalang Kaway XVI- Aceh Barat, murid OSVIA Bandung.
Dengan senyum pahit, Teuku Tjhik Ali Akbar terpaksa diterimanya menjadi menantunya. Rupanya putri sang jenderal yang dibesarkan dalam medan pertempuran militer Belanda di wilayah Aceh Barat, sudah tak dapat lagi melepaskan diri dari kenikmatan menu para gerilyawan Kerajaan Aceh. Akhirnya, ketika serdadu Jepang mendarat di pantai Barat Aceh tahun 1942, menantu Jenderal Belanda ini menjadi tumbal kebengisan serdadu Jepang. Sayed Abubakar, kader PUSA yang menjadi anggota Fujiwara Kikan memberi petunjuk khusus kepada serdadu Jepang untuk mengantarkan uleebalang Kaway XVI menemui Sang Penciptanya di langit ke-7.
Seorang uleebalang lain di pantai barat Aceh, uleebalang nanggroe Trumon (Bakongan) juga ikut tergaet noni Belanda. Maka, noni Belanda itupun menjadi isteri uleebalang Trumon (Bakongan). Kenyataan beberapa uleebalang Aceh beristerikan perempuan Belanda tentu saja menjadi bumerang bagi kaum uleebalang. Untuk meningkatkan kebencian rakyat Aceh terhadap kaum uleebalang, dalam kurun waktu hegemoni kaum ulama PUSA tahun 1945-1950, yel-yel bertajuk uleebalang = menantu Belanda berkumandang dengan dahsyat di seluruh pelosok Aceh. ***
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Maka, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah dengan langkah yang ringan, tanpa membuang waktu langsung mengayunkan langkah berikut ke proyek besarnya. Yaitu, mencerdaskan seluruh rakyatnya, rakyat nanggroe Peusangan.
Rakyatnya ditariknya segera dari dalam gua kegelapan serta kebodohan dengan obor ilmu pengetahuan Belanda. Pendidikan rakyat model Belanda dikembangkannya. Secara bertahap dan pasti putra-putri rakyatnya dicerdaskannya melalui pendidikan formal. Gedung sekolah didirikannya, walaupun hanya dalam kondisi serba darurat, sesuai dengan uang yang berdering dikoceknya. Maka dalam waktu singkat berdirilah sekolah-sekolah yang sangat dasar di Matang Glumpang Dua. Orang Belanda menyebut sekolah itu volkschool. Orang Aceh menamainya -sekolah rakyat- kelas 3. Pemerintah Hindia Belanda di Aceh dengan senang hati membantu mewujudkan mimpi indah Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah itu.
Kelangkaan tenaga guru memaksa uleebalang Peusangan mencari jalan pintas. Guru-guru diimport dari Negeri Minangkabau yang sudah lebih dahulu maju dalam pendidikan. Orang Minangkabau pertama yang membawa obor ilmu-pengetahuan Belanda ke Peusangan adalah pasangan suami isteri guru, Sutan Mangkudun dan isterinya Encik Rukiah. Suami-isteri guru ini berasal dari Maninjau. Dengan penuh dedikasi kedua suami-isteri guru ini mengajar membaca-menulis, ilmu berhitung, dan bahasa Melayu kepada anak-anak bangsa Aceh di Peusangan. Selang beberapa tahun kemudian, uleebalang Peusangan meminta kepada Sutan Mangkudun untuk mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-anak tamatan vervolkschool.
Melalui kesungguhan orang Maninjau suami-isteri itu, muncul lagi di Peusangan sekolah baru, vervolkschool – sekolah rakyat kelas 5. Untuk memenuhi tenaga guru yang sangat mendesak, uleebalang Peusangan itu mengirim putra-putra Peusangan tamatan volkschool, belajar disekolah guru di kota Padang. Sementara itu muncul seorang guru yang sudah siap pakai, dia tamatannormalschool (sekolah guru berbahasa Melayu) di Pematangsiantar, namanya Sjamaun Gaharu. Uleebalang Peusangan sangat senang dibuatnya, dan langsung menempatkannya menjadi guru volkschool di Matang Glumpang Dua.
Guru muda itu sangat kreatif dalam mendidik anak muridnya yang hampir seluruhnya terdiri dari anak petani. Melihat prestasi kerja guru muda itu yang sangat menonjol, maka Sutan Mangkudun mengusulkan kepada uleebalang Peusangan, supaya Sjamaun Gaharu diberi kesempatan belajar diLandbouwschool di Bogor. Teuku Tjhik Peusangan sangat setuju dengan usul Sutan Mangkudun yang bijak itu. Orang Minangkabau itu menambahkan catatan khusus, bahwa ilmu pertanian yang diperoleh di Landbouwschool itu dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya. “Bukankah Ampon Tjhik berkehendak membangun proyek raksasa, membangun pertanian rakyat Peusangan secara besar-besaran?”, tambah Sutan Mangkudun menguatkan usulnya itu.
Mengajak putra-putri rakyat Peusangan untuk bersekolah tidak selalu mulus. Sebagian rakyatnya menyatakan keberatannya untuk mengizinkan anaknya belajar disekolah kafir ini. Satu persatu orang tua murid tersebut diyakinkan oleh Teuku Tjhik Peusangan akan manfaat ilmu pengetahuan, guna melenyapkan kebodohan. Uleebalang itu menambahkan lagi, setelah kebodohan lenyap baru kemakmuran dan kesejahteraan datang menyongsong rakyat Peusangan. Pendekatan yang dilakukan Teuku Tjhik Peusangan sangat menyentuh hati rakyatnya. Namun kemudian giliran anak-anak orang Aceh yang menyatakan penolakannya, mereka melarikan diri dari sekolah.
Teuku Tjhik Peusangan dengan penuh tawakal berusaha menghadapi tingkah-polah bocah-bocah Peusangan. Diantara bocah liar ini terdapat seorang bocah yang terlalu liar, namanya Muhammad Insya. Dia anak salah seorang petani di Matang Glumpang Dua. Dijinakkannya anak terliar orang desa itu, serupa dengan cara menjinakkan sapi-liar Aceh yang baru tertangkap dihutan rimba. Setiap hari bocah itu dijemput paksa oleh opas uleebalang Peusangan. Ditangannya dipasangkan borgol, sebelah lagi borgol dipasangkan pada lengan opas itu. Mata si bocah itu ditutup rapat dengan kain selendang berwarna hitam. Dalam keadaan mata tertutup dan tangan terborgol bocah Aceh itu setiap hari diantar kesekolahnya. Sesampai di sekolah sang bocah duduk dibangkunya didampingi pengawalnya, opas uleebalang itu.
Waktu berjalan terus, dan si bocahpun berangsur menjadi jinak, seperti sapi liar Aceh yang akhirnya terjinakan oleh waktu. Diluar dugaan, Muhammd Insya, anak liar ini akhirnya menjadi murid terpandai dikelasnya. Sutan Mangkudun, gurunya sungguh terperangah dibuatnya. Atas usul gurunya, anak liar yang cerdas itu, disekolahkan oleh Teuku Tjhik Peusangan ke sekolah berbahasa Belanda. Kemudian atas jaminan dan ongkos Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah pribadi, diapun menjadi studen di sekolah Akademi Kepolisian Kerajaan Belanda di Sukabumi, mengikuti jejak-kemenakan uleebalangnya- Teuku Abdul Aziz. Di awal revolusi kemerdekaan Indonesia, Muhammad Insya menjadi Panglima BKR/TKR/TNI pertama di Kresidenan Jambi. Kemudian dia ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian Kresidenan Aceh pada tahun 1946.
Merasa sudah cukup lama bekerja untuk Teuku Tjhik Peusangan, dan anak-anaknya sendiri sudah tumbuh besar, maka guru Sutan Mangkudun memberanikan diri untuk pindah kembali ke negeri Minangkabau. Uleebalang Peusangan itu sungguh terperanjat dibuatnya. Berbagai alasan dikemukakan guru Sutan Mangkudun, dan alasan yang paling utama adalah anak-anaknya butuh bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dengan berbagai alasan guru itu tetap dibujuk oleh uleebalang Peusangan untuk bekerja mencerdaskan anak-anak pribumi nanggroe Peusangan. Hati suami-isteri guru itu sungguh luluh dibuatnya.
Alibi keluarga Sutan Mangkudun sungguh sangat mengilhami uleebalang Peusangan itu. Tak lama kemudian Teuku Tjhik Peusangan mendesak Gubernur Belanda di Aceh untuk mendirikan HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda, di kota Bireuen yang banyak dihuni tentara Belanda. Kini anak-anak kecil yang selama ini harus bersusah payah ke HIS Lhok Seumawe dengan kereta api ASS yang kuno itu, dapat belajar dengan nyaman di HIS Bireuen. Anak-anak guru Sutan Mangkudun juga belajar di sekolah Belanda itu. Akhirnya suami-isteri guru yang penuh dedikasi dan sangat profesional itu menghabiskan seluruh sisa umurya di Peusangan. Dan Sutan Mangkudun beserta isterinya Encik Rukiah dimakamkan di nanggroe Peusangan.
Setelah Teuku Tjhik Peusangan merasa dirinya sudah mulai berhasil membimbing rakyatnya keluar dari gua kegelapan dan kebodohan dengan menggapai ilmu duniawi orang Belanda walau dalam kadar yang sangat minimal, maka uleebalang Peusangan itu berusaha mengembalikan marwah-martabat bangsa Aceh melalui ilmunya sendiri, ilmu dunia-akhirat, yaitu ilmu agama Islam.
Seluruh ulama nanggroe Peusangan dirangkulnya, dan diajaknya menyokong mendirikan sekolah pendidikan agama Islam. Bagaikan tarikan magnit raksasa, dalam sekejap seluruh rakyat nanggroe Peusangan tersedot keterpihakkannya oleh ajakan uleebalang dan ulamanya membangun kembali syiar Islam di Peusangan. Dalam waktu singkat berdirilah sebuah gedung sederhana, tempat lembaga pendidikan formal agama Islam mewujudkan cita-citanya di Matang Glumpang Dua, ibu kota nanggroe Peusangan.
Lembaga pendidikan ini diberi nama Al Muslim. Dalam upacara yang cukup meriah pada tahun 1929, Perguruan Islam Al Muslim tersebut dibuka resmi oleh uleebalang dan ulama-ulama di nanggroe Peusangan. Dalam kemeriahan upacara itu, dengan penuh keceriaan tampil seorang putri berumur 14 tahun yang cantik jelita, memotong pita peresmian Perguruan Islam Al Muslim. Putri jelita itu adalah Potjut Ramlah, putri sulung Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah.
Berbeda dengan Perguruan Normaal Islam milik kaum PUSA di Bireuen yang lenyap ditelan oleh waktu, Perguruan Islam Al Muslim berkembang dengan baik. Bangunan barupun perlu terus ditambah untuk memenuhi tuntutan anak didik yang semakin bertambah banyak. Derajat perguruan Al Muslim inipun terus meningkat hingga sekarang ini.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan duniawi milik Belanda dan ilmu duniawi-ukhrawi Islamnya orang Aceh, Teuku Tjhik Peusangan memberanikan dirinya untuk mengajak rakyat Peusangan mengarungi kehidupan nyata untuk mencari nafkah yang halal. Maka, roda ekonomi rakyat harus dihidupkan kembali. Perhatian utama ditujukan ke bidang pertanian rakyat.
Pertanian model onderneming (perkebunan) yang telah mencelakakan rakyat Aceh di nanggroe Tamyang dan nanggroe Langsa dijauhinya. Seluruh rakyat Peusangan digugahnya untuk memperluas area persawahan. Ternyata persawahan yang luas menyedot air yang sangat banyak pula. Persedian air untuk persawahan tak mencukupi lagi. Melihat kenyataan ketidak mampuan masyarakat Peusangan untuk memecahkan masalah perairan bagi sawah mereka yang sangat luas itu, Teuku Tjhik Peusangan terpaksa berpaling pada penguasa Hindia Belanda.
Ternyata Belanda juga sangat senang dengan proyek raksasa uleebalang Peusangan itu. Belanda langsung mendatangkan tenaga ahli persawahannya dari Pulau Jawa. Mereka ditugaskan mendampingi uleebalang Peusangan memodernisir pertanian rakyat Peusangan. Soko guru persawahan, yaitu dam (bendungan) dan irigasi (lueng) untuk mengatur aliran air Krueng Peusangan dibangunnya.
Hingga kini buah tangan Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah beserta rakyatnya itu masih menjadi monumen abadi untuk nanggroe Peusangan. Proyek persawahan nanggroe Peusangan sangat sukses, dan produksi padi sangat melimpah. Nanggroe Peusangan menjadi lumbung padi tanah Aceh. Dr. A. Ph. van Aken, Gubernur Belanda di Aceh (1932-1936) sangat senang akan keberhasilan uleebalang Peusangan itu memakmurkan rakyatnya.
Gubernur Belanda itu menyebut Peusangan anggota VIER P (empat P) tanah Aceh, yaitu P pertama adalah nanggroe Peureulak yang terkenal keberhasilan petroleumnya, P kedua – nanggroe Pase yang terkenal dengan produksi kopranya, P ketiga – nanggroe Pidie dengan produksi ikannya, dan P keempat adalah nanggroe Peusangan dengan produksi padinya.
Usai keberhasilan meningkatkan produksi padi, uleebalang Peusangan mengajak rakyatnya untuk bergiat dalam agro bisnis buah-buahan. Merasakan nikmatnya deringan ringgit emas berdering dikantongnya dari hasil produksi padi, rakyat Peusangan dengan suka-cita menyambut gagasan uleebalangnya. Sekali lagi Teuku Tjhik Peusangan berpaling ke penguasa Belanda di Aceh untuk membantu rakyat Peusangan.
Penguasa Belanda dengan senang hati memenuhi keinginan uleebalang Peusangan itu. Gubernur Belanda di Aceh telah menaikkan derajat Teuku Tjhik Peusangan menjadi, sahabatnya. Maka, dalam waktu singkat berdatangan ahli pertanian dari Bogor, Jawa Barat atas perintah penguasa Belanda di Batavia. Penyuluh pertanian itu membawa segala bibit unggul buah-buahan yang dikehendaki uleebalang Peusangan itu.
Waktupun berlalu terus, dan hingga hari ini nanggroe Peusangan dipenuhi pohon buah-buahan sawo, manggis, mangga yang berlimpah. Bahkan buah jeruk Bali, bila di Jakarta berharga mahal, maka di Peusangan hanya dijadikan bola-sepak anak-anak petani gurem. Untuk menunjang keberhasilan pertanian rakyat, perniagaan digiatkannya. Pusat perniagaan dan ruko (rumah-toko) bermunculan diberbagai pelosok Peusangan. Hari pasar model Minangkabau usulan guru Sutan Mangkudun dipraktekkan diseluruh nanggroe Peusangan. Maka, kota Bireuen muncul menjadi pusat perdagangan terpenting di pantai utara Aceh.
Seiring dengan invasi Jepang ke negeri Tiongkok, maka imigran Tionghoa baik kaya maupun miskin membanjiri berbagai pelosok nanggroe Peusangan untuk mendapatkan perlindungan dan nafkah.
Usai mengantar rakyatnya ke lubuk kemakmuran duniawinya, dengan langkah pasti Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah mengantarkan rakyat Peusangan ke gerbang rumah Tuhan, menuju ukhrowi. Uleebalang ini mengajak rakyatnya kembali mendekatkan diri kepada Khaliknya, dan mensyukuri nikmat yang dianugrahi Sang Maha Pencipta alam semesta itu.
Dengan kemakmuran yang telah dinikmatinya, rakyat Peusangan bangkit membangun rumah ibadahnya. Mesjid besar dan kecil serta surau barupun bermunculan diberbagai pelosok nanggroe Peusangan. Mesjid dan surau lamapun dipugar, sehingga membuat uleebalang-uleebalang ditanah lain sungguh terperangah.
Mereka juga mencoba meraih keberhasilan yang telah dicapai nanggroe Peusangan. Caranya, para uleebalang itu mengirim puteranya untuk dididik oleh Teuku Tjhik Peusangan. Maka, jadilah uleebalang Peusangan tutor (guru pribadi) dalam ilmu pemeritahan dan politik Aceh bagi putra para uleebalang Aceh lainnya.
Kurikulum sekolah model uleebalang Peusangan sungguh sangat khas. Setiap hari usai sholat subuh putra-putra uleebalang dibawa ketengah sawah, diajaknya membajak sawah bersama-sama meniru rakyat Peusangan yang sedang mengerjakan sawahnya sendiri. Azan sholat dzuhur memanggil, pelajaran bersawah bagi putra-putra dihentikan sementara. Usai sholat dzuhur dan makan siang dengan cara petani yang sangat sederhana bersama Teuku Tjhik Peusangan, murid dan guru itu berkumpul lagi membahas pelajaran berikutnya.
Dalam pelajaran ini sang guru memperlihatkan cara menebang dan memotong pohon bambu. Dengan berderai air mata dan bermandikan keringat para putra uleebalang yang telah menjadi anak manja itu, terpaksa mempraktekkan ilmu yang diberikan oleh gurunya itu. Tak lupa pula diajarkan cara menuai dan menumbuk padi. Bila ada kegiatan menggali dan memperbaiki irigasi sawah, anak-anak manja itu diikutkan serta bekerja bersama rakyat Peusangan. Usai sholat Insya murid dan guru berdiskusi membahas bahan pelajaran yang telah dikerjakannya.
Sebelum diskusi ditutup menjelang waktu tidur malam, Teuku Tjhik Peusangan selalu bertanya kepada murid-muridnya itu: “Apakah ampon-ampon lelah mengerjakan latihan tadi siang? Dengan serempak para muridnya menjawab : “Ya, Ampon Tjhik, kami sungguh lelah”. Sang guru melanjutkan: “Oleh karena itu, bila ampon-ampon nanti sudah menjadi uleebalang, jangan menyuruh rakyat nanggroe ampon-ampon semena-mena”. Itulah salah satu inti pelajaran ilmu pemerintahan dan politik dari Teuku Tjhik Peusangan yang hingga kini masih dikenang oleh rakyat Peusangan dan menjadi romantika sejarah sepanjang masa untuk rakyat Peusangan sampai anak cucu kelak.
Sumber: Dari Berbagai Sumber
harianaceh
Assalamualaikum, saya minta biografi Teuku Muhammad Ali Alamsyah (ampon prang Bireun)
BalasHapussama lagi nyari biografi tengku mohamad ali alamsyah ^_^
HapusBoleh tau silsilah lengkap dari teuku tjhik sjamaun?
BalasHapusSaya ada lengkap silsilah karena saya keturunan, dan sejarah yang dibuat hanya menaikan figur tentu bukan untuk sejarah kebenaran
HapusSaya keturunan dari T. Syik lampoh u.. benarkah ada lengkap sama saudara? Karna yg beredar banyak yg mengatakan Ampon Syik Peusangan dari jalur Po raja Chik Yamani...
HapusJgn lupakan sejarah kita
BalasHapusBaleh tau silsilah muda dalam bambi unoe
BalasHapusKenapa sejarahnya tidak lengkap seharunya lengkap saya sebagai cucu dari keturunan merasa bingung
BalasHapusTau jelasnya silsilah Teuku Chik Peusangan soalnya di sebutkan keturunan imperim Abbasiyah ke IX ?
BalasHapus