Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Sabtu, 15 Desember 2018

TEIN BLOEDIGE JAREN

TIEN BLOEDIGE JAREN

Pada tahun 1884 masa pemangkuan Sultan Aceh telah berlangsung selama 10 tahun.berhubung Tuanku Muhammad Daodsyah sdh dewasa.pada Akhir 1884 Tuanku Hasyim Banta Muda Menyerahkan kembali pemerintahan kepada Tuanku Daodsyah.

Dalam suatu upacara Resmi di masjid Indrapuri.Tuanku Muahhad Daodsyah dinobat sebagai Sultan Aceh dengan Gelar Sultan Alaidin Muhammad Daodsyah fil zillahi Alam johan berdaulat bersamaa dengan di pindah nya Ibu kota kerajaan  Ke Keumala Pidie

Pada upacar penObatan Sultan di masjid Indrapuri.para pemimpin Aceh  Spt Tuanku Hasyim banta Muda.Panglima Polem Ibrahim Muda kuala.Teungku Chik Muhammad saman Ditiro dll.kembali mecetus kan Ikrar Prang sabil melawan Belanda.ikrar seruoa yg esensi nya sama dengan Ikrar yg telah di cetus kan di DALAM ketika menyambut perang pertama Lawan Belanda.

DAN Juga sama dengan musyawarah para tokoh Aceh bersama Sultan Daodsyah di garot pada bulan januari 1877 hanya saja bahasa dan waktu nya saja yg berbeda.tujuan adalah memperbaiki semangat juang.

Dengan Ikrar ini selama petang telah melahirkan banyak pejuang dan umum nya nateka Syahid di medan pertempuran diantara nya yg cukup terkenal Teuku imum leung bata.Panglima Polem Mahmud Cut Banta.(meninggal 1879)
Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala(meninggal 1891).Tuanku Hasyim banta muda(meninggal 1897). Teuku Ibrahim Lamnga (syahid 1878).Teungku Chik Muhammad saman Ditiro(syahd 1891.)Teungku muhammad Amin ditiro(reubah syahid tahun di banteng aneuk galong 1896) Teuku panglima Nyak makam syahud di potong kepalanya tahun 1896 .Teuku Umar syahud 1899.dan masih banyak lagi yg reubah syahid demi narwah bangsa Aceh.

Karena Ikrar Tersebut sejak 1899 Belanda melancar kan serangan besar besaran sehingga masa 10 tahun berdarah yaitu 1899-1909 telah merenggut 21 865 jiwa rakyat Aceh atau 4% dari rakyat Aceh masa itu syahid demi mempertahankan tanah air nya.jumlah korban tersebut dilapor kan oleh van t veer dalam bukunya  sebagai Tein Bloedige jaren masa 10 berdarah

BENDERA PERANG SAMALANGA

BENDERA pERANG SAMALANGA

Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.

 Tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie. Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari belakang bukit.

Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.
Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies

Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga

Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.

 Dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.

Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran,

Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara.

Kamis, 06 Desember 2018

KEUJREUN RAJE BUKET GAYO

Raje Buket mempunyai dua cabang keturunan  salah satu adalah Raja buket Mamat alias Aman samidah yg dikenal sebagai Raje Buket LAH.krn temoat jediaman nya berada di tengah kampaung atau Lah dalam bahasa gayo yg berarti "ditengah tengah"

Raja Mamat mempunyai dua orang Anak Bernama Maun dan dua orang anak perempuan.salah satu anak perempuan nya kawin dengan Tgk Gam anak panglima kandang dari Samuti Bireun.

Raja buket Mamat meninggal pada tahun 1901.setelah dia meninggal istri nya kawin lagi dengan saudara suami nya(:pulang bale atau kawin ganti) yaitu Aman sri kuala atau yg biasa di panggil Aman cahyamani.sebagai penganti Reje buket di pilih anak nya yg masih kecil Yang bernama Reje maun itu.

cabang lain dari nya dari krturunan reje bukit adalah Reje bukit Jaran.dipanggil dengan nama Sagul ketika dia sdh memiliki anak di panggil dengan nama Aman Husen.Rumah nya di pinggir kampung krn itu Raje  Buket eweh yg arti nya bineh

Raja bukit Ewih Aman Husen alias Jaran alias Sagul ini memiliki seorang anak laki laki dan seorang perempuan.
Raje Bukit eweh aman Husen memiliki saudara sepupu bernama Aman manyak brahi yg kawin denga. Orang Aceh.

Ketika Sultan Acheh Baginda YM Sultan Muhammad ALAIDIN  DAUDSYAH JOHAN BERDAULAT mengundur kan diri ke tanah Gayo.Aman Husen Reje Bukit Eweh bergambung dengan Sultan.bersama rombongan mareka berangkat ke Rawe.kemudia ke Lenang.Pamar dan kembali lagi Ke pidie.setiba nya di Peudue Rombongan Sultan di serang oleh Belanda dan Raje Buket eweh Aman Husen  wafat syahid dalam serangan Ini pada tahun 1902.

Kedua cabang ketrunan ini saking berebut untuk mendapat kedudukan sebagai Raje buket.menurut Snouch Horgronge Aman husen reje buket eweh yg berhak mendapat kedudukan sebagai Raje buket. tetapi dalam kenyataan Reje buket Mamat dan keturunan nya lah yg berhasil menjadi Reje buket.

Setelah Dewasa Reje Maun pada masa pendudukan Belanda beliau di angkat sebagai Reje Buket dan pada masa Belanda menduduki Gayo Lut terjadi lah peristiwa pembunuhan Terhadap Reje Maun

Setelah terbunuh nya Reje Maun diangkat Raja Ilang sebagai penganti Raje buket.menjelang Belanda Angkat kaki dari Aceh raje buket diganti Oleh Reje Zainuddin sekitaran Tahun 1942 ketika fasis Jepang Masuk ke Aceh.

Tempat kedudukan Reje buket adakah di Kebanyakan di pinggir danau Laut tawar.berdekatan dengan keujrun Reje Bebesan.

menurut penulis Belanda Kempees ketia Van Daalen nenyerang Gatyo Tahun 1904.Reje buket Maun ketika itu berusia tujuh tahun dan Raje buket Eweh Kader berusia 17 tahun telah melapor/mel kepada Belanda kemudian kedua nya di bawa ke kutaraja untuk di sekolah kan.

tetapi menurut sumber Gayo  Reje kader buket eweh tdk melapor kepda Belanda.tapi di sembunyi kan oleh Rakyat.Yg melapor adalah  orang lain yg mengaku sebagai Reje kader reje buket eweh.Reje kader sebduri bergabung dengan Sultan dan Syahid  dalam perjalanan bersama Sultan menuju pidie.

kapmpung kampung yg masuk kedalam jekuasaan Reje Buket adalah Kebayakan.sebagai tempat kedudukan Reje. Bele.Asir asir.Kenawat(kampung ama Yusra Habib Abdul Ghani) Rawe .toweran.bintang.tiritit Redelong.Tunyang.Timang gajah dll.

Reje buket percaya bahwa keturunan mareka berasal dari Sengeda yg berhubungan dengan riwayat pemventukan kerajaan Linnge.Sengeda adalah Anak Raja Linge ke XIII dan Sengeda di angkat sebagai Raja Linge Ke XV.(adi fa):(Reje Maun dan famili)Raja Zainuddin
Reje Zainuddin

Kamis, 18 Oktober 2018

Mendekati akhir Tampeng (1904)

Buku Aceh diterbitkan oleh Penerbit Bert Bakker . Kisah pertempuran paling berdarah dalam sejarah kolonial Belanda muncul ketika Anton Stolwijk mengikuti jejak pertempuran selama Perang Aceh (1873-1942). Sebuah lintasan yang tidak hanya melewati buku harian yang dikotori dan dilupakan, tetapi juga untuk Atjeh kontemporer, yang tampaknya masih ditandai oleh perang. Stolwijk tinggal di Aceh selama bertahun-tahun. Tentang Sejarah, sebuah fragmen dari buku tentang Tampeng, sebuah desa kecil yang secara brutal diduduki pada tahun 1904 oleh pasukan Belanda.

Tur yang Tampeng secara virtual
kartu itu akan menyapu

Pesan dari The People of 1905:
' Pasukan kami tidak lebih sesuai dengan sistem
penyelesaian daripada perang? '
Pada hari Rabu, 18 Mei 1904, pada pukul sepuluh pagi, penduduk Tampeng berkenalan dengan suara akhir mereka yang mendekat. Tembakan, lagu-lagu perang, perintah-perintah diteriakkan dalam bahasa Belanda dan Melayu dan di atas semuanya: tanda mencekik yang menakutkan dari pisau.
Ini adalah saat yang simultan desa telah bicarakan selama berhari-hari, berminggu-minggu, saat ketika semuanya akan berubah. Tampeng tidak akan pernah sama lagi, dan jauh dari Belanda, ngomong-ngomong, karena berita tentang hari ini akan mendominasi surat kabar selama berminggu-minggu, menyebabkan perdebatan parlemen yang memanas, menghancurkan karier.

Tetapi jauh dari itu.

Sekarang pukul sepuluh pagi dan penduduk desa mendengar ketukan pisau pemotong untuk pertama kalinya. Tampeng adalah tempat yang tidak penting di Gayohooglanden, jauh di pedalaman Aceh. Pada hari Mei tahun 1904 ini, hanya ada dua ratus penduduk, terutama para petani dengan keluarga mereka. Desa ini menghadap ke sungai yang dangkal, lebih jauh di sawah, bahkan lebih jauh lagi adalah pegunungan terjal yang membuat daerah ini sangat sulit untuk diakses. Ada beberapa rumah kayu, rumah doa, gudang besar untuk panen padi, seperti di setiap desa di wilayah ini.

Hanya berkat benteng yang mengesankan, Tampeng membedakan dirinya dari tempat-tempat lain. Penduduk tidak mengambil setengah langkah: desa dipisahkan dari dunia luar oleh selokan yang dalam, dinding yang tinggi, hutan yang tak tertembus dari bambu yang ditanam dengan sangat rapat. Di atas pagar yang subur itu, pepohonan lain menonjol: pohon kelapa, batang tebu, pohon pisang. Dari kejauhan semua Tampeng yang hijau itu memberi penampilan ramah, seolah-olah taman diletakkan di samping sawah.

Tur Van Daalen oleh Gajo (1905)
Dari jarak dekat kontras dengan apa yang akan terjadi hari ini tampaknya semakin besar: ada lagu saleh yang tumbuh dari desa; mereka yang tidak tahu lebih baik akan berpikir bahwa pesta keagamaan sedang berlangsung. 'La ilaha illa-lah,' penyanyi itu bernyanyi, dan penduduk desa menyanyikannya tanpa henti. "Semua orang telah mengenakan pakaian paling indah," seorang saksi mata akan menulis kemudian.
'Para pria mengenakan mantel hadji berwarna-warni, para wanita dan anak-anak digantung dengan perhiasan perak. Itu adalah pemandangan yang mempesona. "

Apa yang akan terjadi pada semua kekayaan itu, saya bertanya-tanya apakah saya di Tampeng, lebih dari seratus tahun setelah pagi yang fatal. Apakah mereka akan ditangkap oleh tentara, atau apakah mereka akan mendarat di kuburan massal?

Jika yang terakhir begitu, Pak Ali tinggal di atas harta. Rumahnya di Tampeng berbatasan dengan ladang umbi yang tidak terawat di mana menurut tradisi 125 pria, 47 wanita dan 3 anak-anak dimakamkan yang meninggal pada 18 Mei 1904. "Mereka ada di sana ketika mereka ditemukan," kata Pak Ali ketika saya bertanya.

'Tidak ada orang Belanda yang berani mencuri dari tubuh para martir ini. Saya tidak akan berani mengatakan bahwa tentang generasi Tampers baru. Mungkin lebih baik tidak ada yang tahu apa yang terjadi hari ini, jika tidak seseorang mungkin mendapatkan ide untuk mulai menggali. "
Dia menunjuk dengan jari yang keras dan gemetar ke arah sekelompok anak laki-laki sepak bola di ujung jalan. 'Pemuda itu dekaden: mereka tidak peduli dengan sejarah mereka, mereka hanya memikirkan permainan komputer dan moped. Lihat bagaimana mereka bermain sepak bola di makam leluhur mereka! "

Yang terakhir ini tidak sepenuhnya benar, karena lapangan sepak bola masih jauh melewati kuburan massal, tetapi Pak Ali bagi saya tampaknya tidak ada orang yang suka menunjukkan hal-hal sepele seperti itu. Dia, dalam kata-katanya sendiri, satu-satunya penduduk desa dengan gelar universitas, dan meskipun gelar sekarang berusia lebih dari lima puluh tahun, dia masih memancarkan otoritas.

Atjeh saat ini (Banda), foto: cc / Arto Marttinen
Pada kecepatan yang sangat lambat, dengan istirahat di setiap tempat teduh, kami berjalan menuju perbatasan desa. Pak Ali sudah tua; Dia memiliki kaki yang kaku dan bergerak dengan bantuan tongkat yang sangat goyah, tetapi dia bertekad untuk menunjukkan setiap potongan Tampeng yang menarik. Ini adalah berjalan kaki singkat: Tampeng sekarang adalah desa, compang-camping kecil di negara bukit yang compang-camping dan sepi.

"Pernah ada deretan rumah kayu tua, dibakar oleh Belanda," kata Pak Ali di sebuah gudang besi bergelombang. 'Bagian ini dipertahankan oleh duapuluh Tampers, yang semuanya terbunuh,' di jalan berpasir yang menuju ke sawah bera. "Jika seseorang meninggal, yang lain mengambil alih tempatnya. Pada akhir pertarungan mereka semua dua puluh di tumpukan besar. "

Pemandangan Tampai yang dipecat sebagian (1904). Gambar: Tropenmuseum
Dan kemudian, ketika kami berdiri di depan pagar bambu lebat di ujung selatan desa: 'Tepat seperti ini, pagar tampak seperti ini pada tahun 1904.' Dia menyerang suku-suku dengan tongkatnya. “Itu bukan pagar yang sama, tentu saja, meskipun itu di tempat yang sama seperti saat itu. Bambu tumbuh dengan cepat! Jika Anda ingin membuat pagar dengan cepat dan murah, Anda menanam hutan bambu, orang melakukannya selama ratusan tahun. '

Ini adalah pemandangan yang mengesankan, tembok hijau baru di Tampeng. Tangkai bambu sangat berdekatan; memang tidak ada jalan masuk. Ini adalah tempat penyerangan.

Pada pagi hari tanggal 18 Mei 1904, ketika tentara kolonial mencoba untuk menembus penghalang yang hampir tak tertembus ini, setidaknya, bagi mata dunia luar, akhirnya perdamaian di Aceh.

Jenderal van Heutsz
Ini adalah tahun setelah tontonan yang mengesankan di sekitar penyerahan Sultan Aceh ke Van Heutsz. Jenderal ini telah menerima perbedaan yang tinggi dan promosi yang didambakan kepada gubernur jenderal Hindia Belanda. Bendera-bendera telah dilambai-lambaikan dan edisi-edisi perayaan khusus surat kabar telah muncul. Untuk kesekian kalinya semua orang di Belanda yakin bahwa yang terburuk benar-benar ada di belakang kita, dan para administrator kolonial di Aceh melakukan yang terbaik untuk mempertahankan citra itu. Ekspedisi yang mengarah ke Gayo- dan Alaslanden di selatan Aceh pada bulan Februari 1904 lebih mirip pelayaran penemuan daripada operasi militer.

Aceh - Anton Stolwijk
'Mengidentifikasi area, mengatur urusan administratif, mengakhiri perdagangan senjata ilegal, menemukan deposit batu bara baru dan mungkin melanggar perlawanan,' adalah perintah yang diberikan kepada pemimpin ekspedisi, Superior Van Daalen. Daftar peserta juga terlihat agak lugu pada pandangan pertama. Selain dua ratus tentara dan lebih dari empat ratus pekerja paksa, seorang ahli pertambangan, seorang ahli botani yang mengumpulkan tanaman dan serangga kering, seorang fotografer yang menarik kamar gelapnya sendiri, dan satu set pembuat peta dari Layanan Topografi.
Sulit membayangkan bahwa ekspedisi ini akan masuk ke dalam buku-buku sebagai salah satu kampanye paling berdarah dalam sejarah Belanda; wisata yang Tampeng dan desa ritsleting lainnya akan menyapu hampir seluruh peta.
(sisa sisa pertempuran di tampeng foto col tropen)
~ Anton Stolwijk

Selasa, 30 Januari 2018

PANGLIMA T NYAK MAKAM

PANGLIMA NYAK MAKAM,

lahir di desa Lamnga mukim XXVI Aceh Besar sekitar tahun 1838 M, ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid, secara turun temurun pada zamannya menjadi Ulee Balang dari mukim daerah Bibueh (Bebas) berstatus langsung di bawah Sultan Aceh, juga terdapat kekuasaannya suatu mukim Ie Meulee Sabang dengan 6 perkampungan yang luas. Ayahnya sendiri Abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami Cut Nyak Dien, dan Teuku Ajad turut gugur secara beruntun waktu dalam pertempuran, dan Nyak Makam sendiri dipancung lehernya Tanggal 22 Juli 1896.
Sejak usia 6 tahun Teuku Nyak Makam telah diserahkan menuntut ilmu di Pesantren Ulama Teuku Chik Abbas (adik ipar orang tuanya) di Lamnga, kemudian melanjutkannya pendidikan ke Lambada Gigieng pada pesantren Tgk.Lambada, di samping pelajaran agama, ia juga belajar pencak silat, Ilmu Sosial dan taktis gerilya pada Panglima Paduka Sinara, dan juga pembinaan Tuanku Hasyim Banta Muda.
Pada usia 16 tahun Teuku Nyak Makam pergi ke Penang (Malaysia) menjumpai Teuku Paya (Ketua Panitia Delapan) sebagai keluarga ayahnya dan di Pulau Penang beliau telah dapat belajar bahasa Inggris, kemudian kembali ke Aceh.
Oleh karena Panglima Teuku Nyak Makam seorang pemuda yang cerdas beliau terus dibina selanjutnya oleh Tuanku Hasyim seorang partisan yang tangguh, pada tahun 1858 Teuku Nyak Makam dalam usia muda diangkat menjadi staf/wakil oleh Tuanku Hasyim yang bertugas di Wilayah Timur Aceh dan Deli Serdang Sumatera Utara. Sekembalinya dari front Timur tahun 1865 Teuku Nyak Makam melangsungkan pernikahan dengan Cut Nyak Cahaya Putri dari Panglima Paduka Sinara di Lambada.

Sultan memperhatikan prestasi-prestasi yang telah dicapai baik dalam berpolitik strategi militer dan kepemimpinan oleh Panglima Teuku Nyak Makam maka atas keputusan musyawarah Sultan Muhammad Daudsyah di markas Keumala Pidie tahun 1885 yang dihadiri Panglima Polem, Panglima Besar Tuanku Hasyim Banta Muda dan staf kerajaan lainnya Panglima Teuku Nyak Makam dan diberi hak kuasa bertindak telah diangkat sebagai “ALMUDABBIRUSYAYARQIAH” mempertahankan kedaulatan Aceh di bahagian Timur Aceh sekaligus Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan sebagai wakilnya ialah Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.
Panglima Teuku Nyak Makam disamping bertugas sebagai pemimpin pasukan gerak cepat dengan senjata lengkap yang bertugas mengkoordinir barisan-barisan pejuang Aceh yang dipimpin oleh pemimpin perang setempat dari Sungai Jambo Ayee di Simpang Ulim hingga Deli Hulu dan Serdang Hulu.
Sebagai gerak pertama setelah pengangkatannya menjadi Panglima Mandala Kerajaan Aceh sampai ke Timur, maka pada bulan Nopember 1885 Panglima Teuku Nyak Makam dengan 140 orang anak buahnya muncul di Tamieng untuk memulai operasinya, yang menimbulkan kepanikan bagi seluruh pembesar sipil dan militer apalagi bagi pengusaha-pengusaha Belanda.
Pada tanggal 18 Desember 1885 dengan kekuatan 50 orang prajurit Panglima Teuku Nyak Makam telah menggempur tangsi Belanda di Seuruwey. Dilanjutkan pada tanggal 28, dan malam 29 Desember 1885 penggempuran terhadap benteng/tangsi Seuruwey yang dipertahankan oleh lebih kurang 300 serdadu dan menghancurkan (mengobrak-abrik) rumah perwira di Seuruwey.
Dari Seuruwey Panglima Teuku Nyak Makam terus maju dengan pasukan gerak cepat guna menggempur kedudukan Belanda di Pulau Kampai dan berhasil merampas senjata-senjata polisi dan pabean tanpa ada kesempatan untuk memberi perlawanan.
Tanggal 2 Januari 1886 kembali Panglima Teuku Nyak Makam menggempur benteng-benteng Belanda sehingga Belanda terpaksa mendatangkan 124 orang serdadu Mobiel Brigade termasuk 3 (tiga) orang perwira disamping 1(satu) peleton infantri.
Dalam bulan Pebruari 1886 benteng Belanda di Kuala Simpang digempur dan dikuasai oleh pasukan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Dari Kuala Simpang penyerangan diteruskan ke Langkat Hilir. Di sini yang menjadi sasaran penyerangan dan dikuasai Panglima Teuku Nyak Makam ialah, perkebunan Belanda, seperti Glen Bervi (Paloh Muradi), Gebang, Serapah, Tarau dan lain-lain disekitarnya.
Sebagian dari pasukannya dikerahkan untuk menyerang perkebunan di Teluk Rubiah. Dari sini penyerangan diteruskan ke perkebunan Tungkam dan Sungai Dua, kemudian diteruskan ke Sungai Satu. Akibat dari penyerangan-penyerangan/gangguan-gangguan tersebut, perkebunan-perkebunan di Teluk Rubiah, Tungkam, Sungai Dua, dan Sungai Satu terpaksa ditutup.
Dari sungai satu, pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima Teuku Nyak Makam dan dibantu oleh Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim Banta Muda) meneruskan perjalanan ke Bahorok untuk bertemu dengan Teuku Abdurrahman guna melantik Kejreuen Bahorok yang telah turun menurun menjadi panglima barisan sabilillah Aceh untuk wilayah Langkat Hulu dan mengadakan kerjasama untuk memerangi Belanda, pada saat itu Panglima Teuku Nyak Makam, menaikkan bendera merah putih di Kampung Kuala sebagai tanda wilayah ini telah dikuasai oleh tentara Aceh, selain daripada itu diadakan pembersihan terhadap oknum-oknum yang pro Belanda kepala Distrik Binjai saat itu, melapor pada Belanda di Medan akibatnya Belanda dengan kekuatan 600 orang serdadu dibawah pimpinan Mayor Van de Poll maka terjadilah pertempuran yang dahsyat di Bahorok kejadian ini pada bulan April 1886.
Setelah melalui pertempuran sengit dari benteng ke benteng, maka akhirnya Bahorok jatuh ke tangan Belanda pasukan Panglima Teuku Nyak Makam sebagian dibawah pimpinan Teuku Abdurrahman bersama adik-adiknya dan sisa-sisa pasukannya mundur ke Tanah Alas.
penyerangan-penyerangan/gangguan-gangguan yang telah dilancarkan oleh Panglima Teuku Nyak Makam beserta pasukannya. Menurut sumber Belanda sendiri dalam masa 14 bulan (Maret 1885 s/d Juni 1886) daerah Langkat Hilir dan Teluk Haru tidak kurang dari 25 kali mendapat serangan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Setelah menggemparkan dan mengejutkan Belanda selama 14 bulan itu, maka dalam bulan Juni 1886, Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke Pidie dan Lamnga Aceh Besar, untuk melapor kepada sulthan Aceh yang berada di Pidie.
Selanjutnya dalam bulan Juni 1886 juga Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke markasnya beserta membawa seratus orang prajuritnya ahli gerilya dipimpin oleh Pang Abu.

Pada bulan Januari 1893, Panglima Teuku Nyak Makam dengan dibantu oleh Raja Silang Muhammad Raja Kejreun dan Teuku Chik Raja Athas Ulee Balang Negeri Sungai Yu, telah berhasil membangun sebuah angkatan perang dan kubu-kubu pertahanan sepanjang sungai Tamieng, sejak dari Rantau Pakam sampai ke Upak.
Pada tanggal 23 Januari 1893 pasukan Panglima Teuku Nyak Makam telah berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang kecil Belanda yang mudik di sungai Tamiang.
Pada tanggal 26 Januari 1893 terjadi kontak dengan kapal perang “SUNDERO” yang membawa bantuan ke Seruwey, tetapi karena perlawanan dari para pejuang, kapal perang tersebut terpaksa kembali ke Belawan.
Pada awal Februari 1893, untuk menutupi kegagalannya beberapa hari yang lalu Kolonel Van De Poll sendiri menumpang kapal perang “FLORES” dan “ANNA” dengan membawa serdadu dan peralatan perang mudik dari sungai Tamieng untuk terus ke benteng mereka di Seruwey.
Namun tiba didekat Rantau Pakam kapal perang “ANNA” telah masuk perangkap yang sengaja telah dipasang dan dibentangkan tali rotan yang simpang siur seberang menyeberang di dasar sungai dan dalam keadaan terjepit itu, kapal “ANNA” terus menjadi umpan peluru sehingga pecah dua dan tenggelam.
Melihat keadaan demikian, Kolonel Van De Poll yang menumpang di kapal “FLORES” terpaksa kembali dengan segera kepangkalannya.
Untuk menghancurkan kubu-kubu pertahanan pasukan Panglima Teuku Nyak Makam yang berada di sepanjang Tamieng itu, Belanda dengan pasukan yang besar yang terdiri dari pasukan insfrantri di bawah pimpinan Kapten H. Kuyk dan Marinir dibawah pimpinan Letnan W.Allizol, mengadakan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan Panglima Teuku Nyak Makam. Pasukan Belanda langsung dipimpin Kolonel A.H.Van de Poll.
Dengan dibantu oleh kapal-kapal perang “TERNATE, CONDOR, SINDORO, MADURA, FLORES, SELAMAT, JANTIK, KIMTA, dan DEMARIT”. Pada tanggal 13 Februari 1893 telah memasuki kuala besar dan melayari sungai Tamieng menuju ke Seruwey.
Setelah terjadi perang secara sengit, yang meminta korban cukup banyak, diantaranya Letnan Capius Peerebom barulah Belanda dapat mencapai Seruwey.
Pada tanggal 4 Maret 1893, dengan mempergunakan kapal “SAMBAS” kembali Belanda mengadakan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan di sungai Tamieng, tetapi belum juga berhasil. Tanggal 16 Maret 1893 dengan sebuah kapal perang yaitu “KAPAL MADURA” kembali memudiki sungai Tamieng. Di Pasir Putih mereka mendapat perlawanan dan terpaksa kembali.
Tanggal 30 Maret 1893, kembali Kolonel A.H. Van de Poll dengan didampingi oleh Mayor Meuluman Komandan pasukan angkatan darat serta Letnan D.A.Meusert dan Komandan Skwadron angkatan lautnya Kapten (L) Pauwert, dengan mempergunakan kapal “KOERIER” kembali memudiki sungai Tamieng menuju ke Seruwey. Tetapi sesampainya di dekat kampung Paya Pasir, iring-iringan skwadron tersebut telah mendapatkan serangan yang gencar dari pasukan panglima Teuku Nyak Makam.

ACEH CAURANT” tanggal 14 Januari 1893 mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada di Aceh Besar, java bode
memberitakan Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada kembali ke front Aceh Besar, sementara harian deli Courant menyatakan sudah berada berkonsolidasi di Peureulak dan Tamieng.
Akhirnya kecemasan Belanda menambah lagi kekuatan dari Kutaraja dibawah pimpinan Jenderal Van Teyn dibantu oleh Letnan Kolonel Van Heust, dengan 1500 pasukan melakukan kegamasan dengan cara membakar habis dan teror, Belanda berhasil merebut kembali Tamieng dan Idi.

tanggal 21 Juli 1896 berangkatlah sepasukan besar Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel G.F. Soeters. Pasukan ini terdiri dari satu korps marsose sendiri, satu batalyon ke 2, 3 Kompi dari batalyon ke 6,1 satu batalyon ke 12,1 pasukan kaveleri dengan 45 orang dari pasukan zeni, pasukan ini didatangkan dengan mengatur kepungan serentak dan berkombinasi dengan satu detasemen dari batalyon yang ditempatkan (Garnizum) di Kuala Gigieng.
Penyerangan terhadap kediaman Panglima Teuku Nyak Makam berlangsung secara mengejutkan sebab tidak ada yang mengetahui dan mendengarnya. Yang ditemui oleh Belanda adalah Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit dipembaringan. Dengan serba kebengisan, Panglima Teuku Nyak Makam diangkat dan dinaikkan ke tandu, beliau digotong ke kampung Gigeng ditempat Letnan Kolonel Soeters sedang menunggu. Tidak berapa lama Soeters pun mendadak kehilangan akal, diapun memancung batang leher Panglima Teuku Nyak Makam, sementara Belanda lainnya memancung-mancung badan Panglima Teuku Nyak Makam hingga hancur, kepalanya dibawa ke Kutaraja, diarak berkeliling kota, oleh Belanda dijadikan bola disepak-sepak sebagai tanda “KEMENANGANNYA”.
Itulah kebuasan, suatu kanibalisme yang tudak ada taranya, hasil kemenangan yang dikecap oleh Belanda terhadap seorang invalid (sakit) yang lemah. Tidak mengherankan jika orang Belanda sendiri merasa malu dengan perbuatan militer Belanda di Aceh karena yang demikian hanya dikenal dalam masa purba.
Seorang Belanda bernama Fanoy, pensiunan opsir KNIL dalam sebuah bukunya telah menumpahkan rasa jijiknya terhadap cara yang dilakukan bangsanya (Belanda) terhadap Panglima Teuku Nyak Makam dia menulis antara lain:
“…..de afschuwelijke vermooding van den zieken Nja’ Makam onder de oogen der zijnen met het afhouwen van diens hoofd, oplast van een lateren general uitgevoerd, met officieren die thans alle hoofdofficieren zinj, een bewijs hoe de verwildering in 1896 reeds te constateeren viel onder officieren vanhoofdkwartier te Kutaradja de in trioms meegevoerde Nja’ Makam’s kop, Zwijgende aanklacht tegen modern kolonial-oorlog-bedrijt”.
“…..Dilakukannya pembunuhan yang ngeri terhadap Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang mengidap penyakit, dihadapan pengikut-pengikutnya dengan memancung batang lehernya, diatas perintah seorang yang kemudian diangkat menjadi Jenderal, dengan para opsir yang kini semuanya sudah menjadi opsir tinggi pula, adalah suatu bukti bagaimana jejak tahun 1896 sudah diketahui keliaran dari antara para opsir yang bermarkas besar di Kutaraja.
Kepala Nyak Makam (setelah dipotong Belanda dari badannya MS) yang dibawa berarak dalam menyorak-nyorakkan kemenangan, adalah dakwaan tidak bersuara terhadap tindak perang kolonial modern”
anda kemenangan” pada tahun 1897 yang dipajangkan di serambi belakang rumah sakit tentara di Kutaraja. “Tanda kemenangan” itu merupakan sebuah setopeles besar yang diisikan alkohol dan didalamnya tampak terapung-rapung kepala Teuku Nyak Makam yang telah mengembung itu. Pemimpin perjuangan ini dijumpai pada tahun 1896 dalam keadaan sakit berat dikampungnya di Lamnga yang terletak tidak berapa jauh diluar lini konsentrasi. Ia diusung kedalam tandu dan bersama keluarga-keluarganya digiring ketempat Kolonel Obos Soeters, Obos ini menyuruh melemparkannya dari tandu dan menyuruh dibunuh ditempat itu juga. Teuku Nyak Makam dipancung dihadapan isterinya dan anak-anaknya. Kolonel Stemfoort telah memerintahkan supaya kepala itu dipajangkan sebagai sebuah “Tanda Kemenangan”. Seorang yang telah menyaksikan perlakuannya itu dengan matanya sendiri tetapi bukan seorang lemah hati menulis: Tindakan biadab ini dan yang serupa dengan itu tidak akan menolong usaha penaklukan dan perdamaian di Aceh.
Panglima T Nyak makam

Minggu, 21 Januari 2018

AMOK ACEH.ACEH PUNGO POH KAPHE ALA ACEH

Pada tgl 22 Sept 1904 sekitar jam 7 senja bersembunyilah 2 org Aceh dibelakang tanggul dekat Atjeh Clob di Koetaradja , bersenjatakan klewang dan rencong , mereka berniat mencari mati syahid , setelah mereka berhasil membunuh seseorang penting dalam kemiliteran tentara Belanda . Kalau beruntung bisa membunuh komandan tentaranya Grevers atau bahkan jendral Van der Wijk sendiri , yang ke-dua2nya sedang ada digedung societeit

Sejak meneyerahnya Panglima Polem dan Sultan M Dawod setahun sebelum ini kebanyakan pertempuran atau bentrokan berarti hanya terjadi didaerah pedalaman

Cuma senja ini tidaklah demikian , Kedua org Atjeh tadi tanpa pikir panjang lagi menyerang kedua perwira muda itu , Groeneveld cepat berlari kearah gedung societeit ..Van Mourik mendapat bebetrapa tikaman didadanya , mencoba  lari sambil ter-huyung2 , dia terjatuh dan mendapat tambahan bacokan dikepalanya  sambil berlumuran darah dia merangkak kearah Toko Nass , tapi org2 telah segera menutup semua dan org2 dilapangan itu pada melarikan diri kepanikan .
Kemudian dia bergabung kembali dengan kawan lamanya Nya' Oesein dari Lam Badeuek, pergi menuntut ilmu pada teungku Lambira
 Kejadian pd thn 1904 itu adalah salah satu dari rentetan kejadian2 penuh kekerasan yang dijuluki "Acehmoorden'' (MOORDEN = membunuh) . Atjeh-moord yang kemudian terkenal adalah serangan thd Kapitein Schmid dari korps Marechaussee di Lho Sukonthn 1933 . Dia tewas kena tikaman rencong . Surat kabar memberitakannya sebagai salah satu Atjehmoord yang khas .

Yang disebut Atjeh-moord adalah sebenarnya tindakan2 pembunuhan yang dilakukan oleh perseorangan . Sebab2nya dalah berakar pada kefanatikan masyarakat  thd agamanya . Untuk org Atjeh perang melawan Belanda adalah "perang suci" , perang sabil , sehingga kematian yg terjadi didalamnya adalah pencapaian tertinggi. Telah terjadi ratusan ribu pertempuran dalam 40 thn "Perang Atjeh" . Tiada satu keluargapun yang terbebas dari padanya ,sehingga perlawanan dan kebencian thd kekuasaan Belanda luar biasa besarnya .foto nyak Daod dan nyak Husen.pelaku pembunuhan terhadap kaphe Van Moulik.sumber foto John Klein Nagelvoort)

EMBARKASI HAJI PERTAMA DI NUSANTARA

Embarkasi Haji Pertama di Nusantara:

MUSIM haji telah tiba. Tahun silih berganti, jumlah umat muslim Indonesia yang berangkat ke Baitullah kian bertambah. Pemerintah pun sibuk membenahi sistem untuk memberikan layanan terbaik bagi jamaah yang menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Mulai dari layanan administrasi, kesehatan, transportasi, dsb. Namun, mari kita melihat sejenak ke masa silam. Dimana, transportasi yang digunakan untuk berangkat ke tanah suci, hanya melalui jalur laut.

Menurut M. Shaleh Putuhena dalam bukunya, Historiografi Haji Indonesia, mengutip cerita Lewis Barthema dari Roma (Italia) yang pernah menyaksikan kehadiran jamaah haji dari Greater India dan Lesser East Indies, kepulauan Nusantara pada tahun 1503 di Jeddah (Arab Saudi). Bahkan pada tahun 1526, Portugis menghancurkan sebuah kapal niaga dari Aceh yang hendak menuju Jeddah. Namun beberapa kapal lolos. 
keberangkatan jamaah haji di embarkasi Sabang


Sebuah sumber dari venesia menyebut periode tahun 1565 hingga 1566, lima kapal kerajaan Aceh berhasil berlabuh di Jeddah.

Pengamat sejarah dari Jakarta, JJ Rizal, menuturkan bahwa orang-orang dari berbagai wilayah di tanah air harus lebih dulu berangkat ke Aceh sebelum meneruskan perjalanan haji. Ini termasuk jamaah yang berasal dari Jakarta pada masa itu.

Peran Aceh sebagai embarkasi haji pertama dalam sejarah nusantara memang telah dimulai sejak abad ke-13 dan abad ke-14 Masehi (Reid: 1969). Letak yang strategis dan kedigdayaannya sebagai kekuatan besar Islam kala itu, menjadikan Aceh seperti magnet yang menarik para pedagang, pelancong maupun kalangan intelektual sehingga datang menyinggahinya.

Hubungan Aceh dan Arab

Ramainya aktivitas pelabuhan di Aceh tidak terlepas dari jumlah pedagang Asia dan Arab yang datang berduyun-duyun. Mereka memindahkan pusat kegiatan perdagangannya di Malaka (Malaysia). Hal ini disebabkan pada tahun 1511, Portugis menyerang dan mengambilalih pelabuhan Malaka yang strategis dan penting (Reid 1969).

Kedatangan para pedagang asing ke Aceh, membuat masyarakat pribumi semakin akrab berinteraksi dengan mereka. Berawal dari sinilah, pelabuhan Aceh makin dikenal oleh dunia. Termasuk para penguasa dari tanah Hijaz (sekarang Arab Saudi). Tempat dimana Ka’bah Baitullah sebagai kiblat umat Islam berada.

Dalam artikel terbitan salah satu harian lokal (Aceh) yang ditulis oleh pemerhati sejarah Aceh, M Adli Abdullah (Emas dan Tahta, Catatan Aceh yang Tercecer; 4/10/2009), disebutkan bahwa hubungan Kerajaan Aceh dengan tanah Hijaz mulai terjalin erat semasa kepemimpinan Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Hal ini berawal pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke- 17 mengirim duta besarnya ke Timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mereka ke Aceh setelah Raja Moghul, Aurangzeb (1658-1707 M) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung-katung dalam ketidakjelasan di Delhi (India). Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba pada tahun 1092 H (1681M).

Sesampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah. Di luar dugaan, kedatangan utusan Syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah (anti pemerintahan perempuan). Namun, karena sosok Sulthanah Zakiatuddin yang alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Sulthanah Zakiatuddin, karena mereka tidak mendapat pelayanan serupa ketika berada di Delhi, India. Bahkan empat tahun mereka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb. Ketika mereka pulang Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah, memberi mereka cindera mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah, juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Sumbangan emas yang diberikan oleh Sulthanah kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa hal ini tercatat dalam sejarah Mekkah, dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sulthanah Aceh tiba di Mekkah pada bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu, Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M).

Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa ”Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Tahun 1683 M” membuatnya kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, saat ia tiba di Mekkah pada tahun 1883.

Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih hangat dibicarakan di sana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang-barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin. Sedangkan sisanya, diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Pelabuhan Aceh Dalam Kenangan

Aceh adalah tempat singgah dan bermukim yang paling utama bagi para pedagang Arab, Persia, dan India dalam usaha mereka mencari komoditas-komoditas unggul pada masa dahulu, seperti rempah-ratus dan juga dalam usaha mencari pasar serta produk-produk dari negeri Cina. Catatan pengembaraan seorang agamawan Cina bernama I-Tsing, menyatakan bahwa beliau telah bertolak dari Canton menuju India pada tahun 672 Masehi dengan menumpang kapal dagang Persia telah singgah di Aceh dan pada waktu itu telah ada perkampungan pedagang Arab di sana (Mohammad Said 1981:55-56).

Gerini (1909) sebagaimana dikutip oleh Mohammad Said (1981:57), menyebutkan bahwa para pedagang Arab dan Persia tersebut telah sangat dikenal oleh para penduduk lokal di Aceh dan mereka sangat sering melakukan perjalanan berulang kali ke pelabuhan-pelabuhan Aceh. Untuk melakukan transaksi dagang sejak pertengahan abad ke-10 atau sejak abad ke-11 (Reid: 1969, 1995). Perlak atau Ferlec (sebutan oleh Marco Polo) dan Samudera (Kemudian dikenal sebagai Pasai) adalah antara pelabuhan-pelabuhan terbesar dan utama di kawasan ini antara abad ke-13 dan abad ke-14 Masehi. Pelabuhan Lhokseumawe selama lebih 150 tahun merupakan pusat dagang terbesar di wilayah timur bagi para peniaga muslim dalam jalur perniagaan mereka dan menjadi pusat kepada pengembangan keilmuan dan perdagangan (Reid 1969). Menurut Reid juga, perkataan Sumatera diambil dari catatan-catatan Marco Polo ketika menyebutkan Negeri Samudera dan memberi nama itu untuk menyebut keseluruhan pulau berkenaan (Reid 1995). Sebelum itu, Pelabuhan Lambri atau Lamuri merupakan pelabuhan Aceh yang menjadi tumpuan utama para pedagang Arab dan Persia pada abad ke-10 sehingga abad ke-12 (Gerini 1909; Mohammad Said 1981).

Antara abad ke-16 hingga abad ke-18 Masehi, Aceh telah mempunyai beberapa pelabuhan perdagangan besar, yang bersaing dengan Negeri-negeri besar dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Perancis, Belanda, dan Inggris dan beberapa negeri Asia, seperti Kekaisaran Cina dan Kerajaan-kerajaan India dalam mengawal jalur Selat Melaka dan keseluruhan kawasan tersebut. Mereka bersaing untuk merebut dominasi atas pengaruh politik dan ekonomi di kawasan berkenaan khususnya dalam bidang perdagangan (Reid 1969, 1995; Anderson 1840, 1971; Moor 1837; Tolson 1880; Marsden 1986).

Sejak Aceh menjadi sebuah pelabuhan internasional, ada beberapa bahasa yang digunakan dalam interaksi antar bangsa, khususnya permulaan abad ke-17, bahasa Arab dan Portugis, disamping bahasa Melayu, baik secara lokal maupun internasional (Rodolphe De Koninck, Aceh In The Time of Iskandar Muda: 1977, hal. 29).

Nama-nama pelabuhan di Aceh sekitar tahun 1814 sebagaimana disebut oleh Anderson (1840:159) adalah Tapoos, Sebadi, Pulau Dua, Kalavat, Telapow, Muckie Utara dan Selatan, Labuan Haji, Senanghan, Annalaboo, Pulo Ryah, Tarang, Manghin, Seimeyoh, Tareepuli, Taddow, Singkel, Ayam Dammah, Terooman, Rhambong, Saluhat, Soosoo, Kivala Batu, Bahroos, Tampattuan, dan Samadua semuanya di pesisir barat; Acheen, Pedada, Lauang, Pedir, Pakan, Selu, Burong, Sarong, Murdoo, Samalangan, Passangan, Junka, Teluksamoy, Chunda, Passy, dan Curtoy, semuanya di pesisir Utara atau Timur. Kapten Coombs, yang melawat Aceh pada awal tahun 1818, memperkirakan nilai kegiatan dagangan ekspor dan impor adalah 2,234,250 dolar Spanyol. Jumlah ekspor untuk pinang saja adalah antara 15,000 sehingga 16,000 ton per tahun (Anderson 1840:161-163).

Akhirnya, Itulah sekilas sejarah tentang pelabuhan Aceh, yang menjadi tempat embarkasi haji pertama bagi umat muslim di nusantara. Letaknya yang strategis telah banyak berperan dalam perdagangan sekaligus penghalang dominasi bangsa Barat di Asia Tenggara melalui armada Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903 M) yang dikenal tangguh pada masa itu. Pelabuhan Aceh akan kembali Berjaya, jika ada niat dan upaya yang konsisten dari pemerintah untuk memajukannya. Bila ini terwujud, maka akan menjadi saingan utama pelabuhan Singapura di masa depan. Semoga(foto keberangkatan jammah haji di embarkasi sabang)