Penyerangan Belanda di Keraton Aceh |
Demikianlah
Tuanku Hasyim mendapat dukungan sepenuhnya dari kalangan orang-orang kuat,
Ulebalang, para ulama dan kalangan rakyat banyak. Semua lapisan dan golongan
menyerahkan kepercayaan pada Tuanku Hasyim. Melihat peranan Tuanku Hasyim yang
sangat penting dalam menjalankan pemerintahan, maka para cerdik-pandai,
Ulebalang dan ulama merasa perlu mengukuhkan kedudukannya. Hal ini mengingat
umur Sultan yang masih terlalu muda, boleh dikatakan hanya seperti boneka, yang
menjalankan roda pemerintahan adalah Tuanku Hasyim. Maka oleh sebab itu dengan
keputusan para ulama, disahkan oleh tiga Imam besar dan Panglima Tiga Sagi,
yaitu menteri besar Wazirul A'zan Panglima Polim Seri Muda Perkasa, Menteri
Besar Wazirul Ghaza dan Menteri bcsar Qhadhi Malikul Alam Seri Setia Awadim
Syiah Ulama, beserta Hulubalang empat dan Hulubalang delapan. Upacara
pengesahan ini bertempat di Balairung Darul Dunya dihadapan Sultan. Dan
semenjak itu Tuanku Hasyim diangkat menjadi Panglima Tertinggi kerajaan Aceh.
Kemudian
kerajaan menyerahkan semua perlengkapan, urusan luar dan dalam, mengatur urusan
kerajaan, penasehat, urusan peperangan, urusan pertahanan dan keamanan, dan
urusan kehakiman kepada Tuanku Hasyim. Langkah pertama yang ditempuh Tuanku
Hasyim setelah diangkat menjadi Panglima Tertinggi kerajaan Aceh, adalah
menghimpun seluruh kekuatan dan mengumpulkan segala perlengkapan perang. Ia
memerintahkan kepada semua Panglima Perang dan Ulebalang untuk bersiap-siap
menghadapi Belanda. Hal ini disebabkan karena rakyat Aceh merasa cemas melihat
gerak-gerik tentara Belanda yang terus menerus mengadakan tekanan. Untuk
menghadapi hal ini Tuanku Hasyim telah memasukkan alat perlengkapan perang ke
Aceh Besar. Kemudian, untuk memberikan jawaban atas tantangan Belanda itu, ia
mengadakan musyawarah dengan Panglima Tiga Sagi dan Ulebalang semuanya serta
segenap alim ulama. Selanjutnya ia sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang
mengumumkan perang terhadap Belanda dan dengan tegas menolak kedaulatan Belanda
atas Aceh. Kemudian, melalui wakilnya Tengku Said Abdullah untuk menyampaikan
kepada seluruh rakyat Aceh agar supaya bersiap-siap menghadapi serangan Belanda.
Semua
usaha yang dijalankan oleh Belanda tidak membawa hasil, karena pihak Aceh
kelihatan makin memperkuat dan menyusun kekuatan tempurnya. Oleh sebab itulah,
maka pada tanggal 22 Maret 1873 Belanda melabuhkan kapal perangnya yang bernama
Citadel Van Antwerpen di Meuraksa yang jauhnya dari benteng Aceh tidak dapat. dkapai
oleh tembakan meriam.
Kedatangan
kapal perang Belanda ini telah dinanti oleh pasukan Aceh. Di sepanjang pantai
Kuta Meugat, Kuta Bugis, Kuta Bak Me telah disiapkan semua pasukan dengan
perbentengan yang kuat. Sebelum menyerang, Komisaris Belanda F.N,
Nieuwenhuijzen mengirim Sidi Tahil sebagai utusan dan menyampaikan surat
ancaman kepada Sultan yang isinya menyatakan bahwa Belanda tidak akan menyerang
Aceh, apabila Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Demikianlah sebelum dimulai
penyerangan, terjadi surat-menyurat antara kerajaan Aceh dan Belanda, tetapi
tidak membawa hasil yang diharapkan oleh Belanda.
Pada
kesempatan ini Tuanku Hasyim tidak berada di tempat. Ia sedang menjalankan
tugas penting (di Aceh Timur dan juga untuk sekaligus meninjau benteng
pertahanan Aceh pada bagian timur. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke
Penang untuk mengurus alat alat perlengkapan perang kerajaan Aceh dalam
menghadai Belanda. Karena itu ia menyerahkan pimpinan pasukan Aceh kepada Seri
Muda Perkasa Teuku Panglima Polim Mahmud Gut Banta dibantu oleh anaknya Teuku
Ibrahim Muda Kuala dan Teuku Nyak Imeum Luengbata (Panglima Dalam). Pada
tanggal 6 April 1373 saat-saat yang dinanti tibalah. Belanda mendaratkan
pasukannya dan terus menyerbu Meuraksa dengan lindungan tembakan meriamnya,
Maka terjadilah perang laut yang seru dan saling tembak-menembak. Pasukan Aceh
memberikan perlawanan yang gigih dengan membendung arus penyerangan tentara
Belanda. Tentara Belanda terus maju menerobos pertahanan Aceh dengan alatnya
yanag lengkap dan serba modern. Dalam terobosan-terobosan ini terjadilah perang
tanding, seorang melawan seorang dimana prajurit Aceh maju dengan kelewang yang
sukar bagi Belanda menghadapinya dalam jarak dekat. Berkat keunggulan
persenjataan dan keahlian pasukan Belanda serta dengan susah payah Belanda
berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman sebagai benteng pertahanan Aceh yang
kuat. Di pihak Aceh gugur sebagai syuhada Teuku Imuem Lam Krak dan Teuku Rama.
Dalam mempertahankan Masjid Raya Panglima Polim, Cut Banta, Teuku Muda Tualang,
Teuku Muda Bintang, Teuku Muda Bin berjuang mati-matian dengan mempergunakan
rencong dan kelewang di depan pintu gerbang masjid Raya. Bantuan pihak Aceh
terus mengalir. Ulebalang Sagi 22 mukim dipimpin oleh Teuku Keumala, Teuku Muda
Baet dengan diikuti terus oleh rakyat Aceh. Mereka membanjiri arena pertempuran
Masjid Raya. Demikian serunya pertempuran ini, sehingga tidak terasa
pertempuran sudah berlangsung tiga hari, siang dan malam. Begitu juga banyak
korban yang ber jatuhan di kedua belah pihak.
Pertempuran
di Masjid Raya kekuatan kedua belah pihak mencari dan mempertahankan posisinya
masing-masing yang strategis. Panglima Dalam dengan dibantu oleh Teuku Cut Nyak
Cadek memimpin barisan meriam. Ia terus menerus menembakkan meriamnya ke arah
Masjid Raya dan Blang Padang yang telah diduduki oleh tentara Belanda. Panglima
Sagi 26, Ulebalang-Ulebalang serta rakyat bertahan di Kampung Jawa dan Panglima
Sagi 25 di Kampung Punge. Para ulama dan rakyat ikut serta mengambil bagian
dalam pertempuran ini. Mereka ini memberikan pula dukungan moril kepada
prajurit-prajurit Aceh. Dalam suasana yang meriah di mana Belanda menganggap
telah aman, karena mereka telah dapat merebut Masjid Raya. Akan tetapi tiba
saatnya bagi pasukan Aceh di mana Panglima Polim Cut Banta membidikkan
senapannya dan mengenai sasarannya. Akibatnya kacau-balaulah pasukan Belanda
yang sedang istirahat. Pemimpin tertinggi tentara Belanda, yakni Köhler tewas
seketika. Karena itu Belanda dengan cepat meninggalkan Masjid Raya dan lari
kembali ke kapalnya yang sedang menanti di pantai. Mereka lari dengan banyak
meninggalkan korban yang tak sempat dibawa.
Setelah
penyerangan Belanda yang pertama dapat digagalkan oleh kekuatan Aceh. Tuanku
Hasyim beserta rombongannya tiba kembali di ibu kota. Sambil menanti laporan
dari Panglima Polim Mahmud Cut Banta, ia istirahat di dalam. Tetapi setelah
empat hari menunggu laporan dari bawahannya yang tidak datang, maka ia terus
berangkat ke Banda Aceh untuk melihat sendiri dari dekat tentang situasi medan
dan sekaligus memberi perintah untuk mengatur kembali pasukan Aceh dan
mempersiapkan benteng-benteng pertahanan. Kapal-kapal Belanda masih berkeliaran
di perairan Aceh. Mereka masih mengintai pantai, dan menunggu kesempatan yang
baik. Di sini kelihatan bahwa Belanda dan Aceh sama bertahan pada pendiriannya
yang kokoh. Belanda di bawah panji-panji kolonialnya memeras otak,
berdaya-upaya dan mengerahkan seluruh kekuatannya atas perintah atasannya.
Kemenangan sudah terbayang, mereka telah berhasil mematahkan benteng pertahanan
Aceh, tetapi hanya untuk sementara. Kekuatan terpaksa ditarik kembali karena
pemimpin tertingginya sendiri tewas dalam peperangan akibat tembakan yang tepat
pasukan Aceh. Oleh sebab itulah maka mereka berusaha untuk menyapu bersih
kekuatan Aceh. Dengan demikian maka akan terangkatlah nama bangsanya. Wilayah
jajahan akan terbentang luas dari barat sampai ke timur. Sebaliknya rakyat Aceh
berjuang sekuat tenaga. Mereka berusaha membendung atas penjajahan Belanda.
Tuanku Hasyim sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh merasa
bertanggung jawab atas keselamatan negara dari cengkeraman penjajah Belanda.
Betapa aibnya apabila Belanda kafir yang jauh datang dari seberang sana
berhasil menanamkan kekuasaannya di tanah Aceh. Tanah yang telah dibina dan
dibangun bertahun-tahun, bahkan sudah beratus tahun oleh putera-putera Aceh
yang mencintainya.
Karena
itulah Tuanku Hasyim dengan penuh semangat dan kesungguhan hati mengatur strategi
pertahanan. Selanjutnya beliau menghimpun segenap kekuatan untuk memperkuat
barisan Aceh dalam menghadapi musuh. Untuk ini ia mengatur susunan dan barisan
tentaranya dan memberi tugas kepada Panglima-panglimanya.
Panglima
dalam (keraton) beserta pasukannya ditempatkan di Kuta Laksamana. Panglima Tiga
Mukim bcrtugas memperkuat Kuta Meusafi.
Panglima Areh dari Lima Mukim Montasiek
memimpin pasukan di Kuta Bak Bie, Teuku Keunalo dari Seulimeum ditempatkan di
Kuta Nie dan ia sendiri mengkordinir pasukan di Kuta Raja Perak dan Makam,Teungku
Syiah Kuala. Benteng-benteng pertahanan diperkuat dan ditambah alat
perlengkapannya, sehingga benteng Aceh terbentang sepanjang pantainya merupakan
mata rantai yang kukuh yang dimulai dari sebelah timur Krueng Aceh melingkar
sampai ke Pidie. Pada tiap benteng ditempatkan meriam sebagai alat penangkis
serangan kapal Belanda dari arah laut.
Rencana
Tuanku Hasyim rapanya tercium oleh mata-mata Belanda. Oleh sebab itulah maka
dalam serangan kedua kalinya Van Swieten atas anjuran mata-matanya mendaratkan
pasukannya di Lhok Nga (Krueng Raba), yang kemudian dapat memukul pertahanan
Aceh dari belakang. Dalam penyerangan ini Van Swieten merasa berat karena menghadapi
kekuatan yang besar. Suatu taktik jahat
Van Swieten ialah menyebarkan bibit penyakit koléra, sehingga kekuatan Aceh menjadi
lemah dan daya tempurnya lumpuh. Penyakit koléra merajalela diibu kota Aceh dan
Sultan sendiri terkena sehingga wafat. Kemudian Belanda mendaratkan lagi
pasukannya di Ujung Pedro Pasi Lamnga. Melihat serangan yang tiba-tiba ini Tuanku
Hasyim cepat-cepat mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Lam Nga. Dengan
penuh semangat prajurit-prajurit Aceh menunjukkan keahliannya dalam menghadapi
pasukan-pasukan Belanda, sehingga serangan Belanda dapat digagalkan. Karena itu
Belanda mengalihkan penyerangannya ke Kuala Gigieng dan Alue. Di sini juga
serangan Belanda disambut dengan perlawanan yang gigih oleh prajurit-prajurit
Aceh, sehingga pertempuran berlangsung selama dua hari dan akhirnya Belanda menarik
pasukannya. Kemudian pasukan Belanda berhasil merebut Kuta Cut Gampong Baro. Karena
marahnya mereka membakar habis dan memusnahkan tempat itu. Setelah itu Belanda
mencoba kembali menyerang Lamnga, tetapi gagal. Pertempuran terus berlangsung siang
dan malam dengan tidak berkurang sengitnya. Prajurit-prajurit Aceh terus
bertempur dengan semangat yang tinggi, tidak mengenal lelah. Mereka dengan
tulus ikhlas mempertahankan tanah airnya yang tercinta. Pasukan meriam terus
bekerja dengan tembakannya untuk memberikan perlindungan pada prajurit Aceh,
begitu juga pihak Belanda. Dengan keunggulan persenjataannya mereka mendesak
Aceh, Pasukan Aceh memindahkan posisinya ke tempat yang lebih strategis, sehingga
dengan mudah memukul lawan.
Demikianlah
korban berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi Aceh tidak mengendorkan perlawanannya,
bahkan terus maju ke depan mencari lawan. Akhirnya Belanda dapat menerobos dan
mematahkan perlawanan prajurit Aceh, dan menempatkan pasukannya di Peunayong
dengan tujuan akan merebut Kraton. Kemudian Belanda berusaha menekan Sultan
untuk menanda-tangani surat penyerahan.
Untuk
mengimbangi kekuatan Belanda, Tuanku Hasyim dengan cepat memindahkan pertahanan
dari kiri kanan Krueng Aceh, dengan tujuan untuk menggempur Peunayong, Lambhuk
dan Peukan Aceh. Pertahanan pasukan Panglima Polim di Iampoh Jok dan Kuta Gunongan
diperkuat dengan menambah barisannya dan mcnambah perlengkapan tempurnya.
Begitu
juga Teuku Kali dan Panglima Polim untuk mempertahankan Keraton ditempatkan
pada bagian selatan. Tetapi karena suatu pengkhianatan, pasukan Belanda di
bawah pimpinan W.V. Kerchem dengan kekuatan dan jumlah yang banyak terlebih
dahulu menyerang pertahanan Lambhuk. Maka terjadilah perang tanding yang seru,
yang mcngakibatkan W.V. Kerchem tewas dalam pertempuran ini . Kemudian kepala stafnya
G.C.E, Van Daalen mengambil alih tugas pimpinan, tapi karena kurang kecakapannya
pimpinan diambil alih oleh Jenderal Mayor Versvijek. Pertempuran terus
berlangsung dan makin seru, batalion ketiga tentara Belanda yang telah berhasil mendekati
pertahanan Aceh terdesak mundur oleh tembakan yang gencar dari pasukan Aceh.
Pertempuran ini banyak menelan korban di kedua belah pihak.
-- Bersambung --
Naskah Asli karya Muchtaruddin Ibrahim
Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977
Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977
Tidak ada komentar:
Posting Komentar