Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Jumat, 03 Januari 2014

Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kesultanan Aceh Darussalam Bag. 3

Penyerangan Belanda di Keraton Aceh

Demikianlah Tuanku Hasyim mendapat dukungan sepenuhnya dari kalangan orang-orang kuat, Ulebalang, para ulama dan kalangan rakyat banyak. Semua lapisan dan golongan menyerahkan kepercayaan pada Tuanku Hasyim. Melihat peranan Tuanku Hasyim yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan, maka para cerdik-pandai, Ulebalang dan ulama merasa perlu mengukuhkan kedudukannya. Hal ini mengingat umur Sultan yang masih terlalu muda, boleh dikatakan hanya seperti boneka, yang menjalankan roda pemerintahan adalah Tuanku Hasyim. Maka oleh sebab itu dengan keputusan para ulama, disahkan oleh tiga Imam besar dan Panglima Tiga Sagi, yaitu menteri besar Wazirul A'zan Panglima Polim Seri Muda Perkasa, Menteri Besar Wazirul Ghaza dan Menteri bcsar Qhadhi Malikul Alam Seri Setia Awadim Syiah Ulama, beserta Hulubalang empat dan Hulubalang delapan. Upacara pengesahan ini bertempat di Balairung Darul Dunya dihadapan Sultan. Dan semenjak itu Tuanku Hasyim diangkat menjadi Panglima Tertinggi kerajaan Aceh.
Kemudian kerajaan menyerahkan semua perlengkapan, urusan luar dan dalam, mengatur urusan kerajaan, penasehat, urusan peperangan, urusan pertahanan dan keamanan, dan urusan kehakiman kepada Tuanku Hasyim. Langkah pertama yang ditempuh Tuanku Hasyim setelah diangkat menjadi Panglima Tertinggi kerajaan Aceh, adalah menghimpun seluruh kekuatan dan mengumpulkan segala perlengkapan perang. Ia memerintahkan kepada semua Panglima Perang dan Ulebalang untuk bersiap-siap menghadapi Belanda. Hal ini disebabkan karena rakyat Aceh merasa cemas melihat gerak-gerik tentara Belanda yang terus menerus mengadakan tekanan. Untuk menghadapi hal ini Tuanku Hasyim telah memasukkan alat perlengkapan perang ke Aceh Besar. Kemudian, untuk memberikan jawaban atas tantangan Belanda itu, ia mengadakan musyawarah dengan Panglima Tiga Sagi dan Ulebalang semuanya serta segenap alim ulama. Selanjutnya ia sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengumumkan perang terhadap Belanda dan dengan tegas menolak kedaulatan Belanda atas Aceh. Kemudian, melalui wakilnya Tengku Said Abdullah untuk menyampaikan kepada seluruh rakyat Aceh agar supaya bersiap-siap menghadapi serangan Belanda.

Semua usaha yang dijalankan oleh Belanda tidak membawa hasil, karena pihak Aceh kelihatan makin memperkuat dan menyusun kekuatan tempurnya. Oleh sebab itulah, maka pada tanggal 22 Maret 1873 Belanda melabuhkan kapal perangnya yang bernama Citadel Van Antwerpen di Meuraksa yang jauhnya dari benteng Aceh tidak dapat. dkapai oleh tembakan meriam.

Kedatangan kapal perang Belanda ini telah dinanti oleh pasukan Aceh. Di sepanjang pantai Kuta Meugat, Kuta Bugis, Kuta Bak Me telah disiapkan semua pasukan dengan perbentengan yang kuat. Sebelum menyerang, Komisaris Belanda F.N, Nieuwenhuijzen mengirim Sidi Tahil sebagai utusan dan menyampaikan surat ancaman kepada Sultan yang isinya menyatakan bahwa Belanda tidak akan menyerang Aceh, apabila Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Demikianlah sebelum dimulai penyerangan, terjadi surat-menyurat antara kerajaan Aceh dan Belanda, tetapi tidak membawa hasil yang diharapkan oleh Belanda.

Pada kesempatan ini Tuanku Hasyim tidak berada di tempat. Ia sedang menjalankan tugas penting (di Aceh Timur dan juga untuk sekaligus meninjau benteng pertahanan Aceh pada bagian timur. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Penang untuk mengurus alat alat perlengkapan perang kerajaan Aceh dalam menghadai Belanda. Karena itu ia menyerahkan pimpinan pasukan Aceh kepada Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polim Mahmud Gut Banta dibantu oleh anaknya Teuku Ibrahim Muda Kuala dan Teuku Nyak Imeum Luengbata (Panglima Dalam). Pada tanggal 6 April 1373 saat-saat yang dinanti tibalah. Belanda mendaratkan pasukannya dan terus menyerbu Meuraksa dengan lindungan tembakan meriamnya, Maka terjadilah perang laut yang seru dan saling tembak-menembak. Pasukan Aceh memberikan perlawanan yang gigih dengan membendung arus penyerangan tentara Belanda. Tentara Belanda terus maju menerobos pertahanan Aceh dengan alatnya yanag lengkap dan serba modern. Dalam terobosan-terobosan ini terjadilah perang tanding, seorang melawan seorang dimana prajurit Aceh maju dengan kelewang yang sukar bagi Belanda menghadapinya dalam jarak dekat. Berkat keunggulan persenjataan dan keahlian pasukan Belanda serta dengan susah payah Belanda berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman sebagai benteng pertahanan Aceh yang kuat. Di pihak Aceh gugur sebagai syuhada Teuku Imuem Lam Krak dan Teuku Rama. Dalam mempertahankan Masjid Raya Panglima Polim, Cut Banta, Teuku Muda Tualang, Teuku Muda Bintang, Teuku Muda Bin berjuang mati-matian dengan mempergunakan rencong dan kelewang di depan pintu gerbang masjid Raya. Bantuan pihak Aceh terus mengalir. Ulebalang Sagi 22 mukim dipimpin oleh Teuku Keumala, Teuku Muda Baet dengan diikuti terus oleh rakyat Aceh. Mereka membanjiri arena pertempuran Masjid Raya. Demikian serunya pertempuran ini, sehingga tidak terasa pertempuran sudah berlangsung tiga hari, siang dan malam. Begitu juga banyak korban yang ber jatuhan di kedua belah pihak.

Pertempuran di Masjid Raya kekuatan kedua belah pihak mencari dan mempertahankan posisinya masing-masing yang strategis. Panglima Dalam dengan dibantu oleh Teuku Cut Nyak Cadek memimpin barisan meriam. Ia terus menerus menembakkan meriamnya ke arah Masjid Raya dan Blang Padang yang telah diduduki oleh tentara Belanda. Panglima Sagi 26, Ulebalang-Ulebalang serta rakyat bertahan di Kampung Jawa dan Panglima Sagi 25 di Kampung Punge. Para ulama dan rakyat ikut serta mengambil bagian dalam pertempuran ini. Mereka ini memberikan pula dukungan moril kepada prajurit-prajurit Aceh. Dalam suasana yang meriah di mana Belanda menganggap telah aman, karena mereka telah dapat merebut Masjid Raya. Akan tetapi tiba saatnya bagi pasukan Aceh di mana Panglima Polim Cut Banta membidikkan senapannya dan mengenai sasarannya. Akibatnya kacau-balaulah pasukan Belanda yang sedang istirahat. Pemimpin tertinggi tentara Belanda, yakni Köhler tewas seketika. Karena itu Belanda dengan cepat meninggalkan Masjid Raya dan lari kembali ke kapalnya yang sedang menanti di pantai. Mereka lari dengan banyak meninggalkan korban yang tak sempat dibawa.

Setelah penyerangan Belanda yang pertama dapat digagalkan oleh kekuatan Aceh. Tuanku Hasyim beserta rombongannya tiba kembali di ibu kota. Sambil menanti laporan dari Panglima Polim Mahmud Cut Banta, ia istirahat di dalam. Tetapi setelah empat hari menunggu laporan dari bawahannya yang tidak datang, maka ia terus berangkat ke Banda Aceh untuk melihat sendiri dari dekat tentang situasi medan dan sekaligus memberi perintah untuk mengatur kembali pasukan Aceh dan mempersiapkan benteng-benteng pertahanan. Kapal-kapal Belanda masih berkeliaran di perairan Aceh. Mereka masih mengintai pantai, dan menunggu kesempatan yang baik. Di sini kelihatan bahwa Belanda dan Aceh sama bertahan pada pendiriannya yang kokoh. Belanda di bawah panji-panji kolonialnya memeras otak, berdaya-upaya dan mengerahkan seluruh kekuatannya atas perintah atasannya. Kemenangan sudah terbayang, mereka telah berhasil mematahkan benteng pertahanan Aceh, tetapi hanya untuk sementara. Kekuatan terpaksa ditarik kembali karena pemimpin tertingginya sendiri tewas dalam peperangan akibat tembakan yang tepat pasukan Aceh. Oleh sebab itulah maka mereka berusaha untuk menyapu bersih kekuatan Aceh. Dengan demikian maka akan terangkatlah nama bangsanya. Wilayah jajahan akan terbentang luas dari barat sampai ke timur. Sebaliknya rakyat Aceh berjuang sekuat tenaga. Mereka berusaha membendung atas penjajahan Belanda. Tuanku Hasyim sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh merasa bertanggung jawab atas keselamatan negara dari cengkeraman penjajah Belanda. Betapa aibnya apabila Belanda kafir yang jauh datang dari seberang sana berhasil menanamkan kekuasaannya di tanah Aceh. Tanah yang telah dibina dan dibangun bertahun-tahun, bahkan sudah beratus tahun oleh putera-putera Aceh yang mencintainya.

Karena itulah Tuanku Hasyim dengan penuh semangat dan kesungguhan hati mengatur strategi pertahanan. Selanjutnya beliau menghimpun segenap kekuatan untuk memperkuat barisan Aceh dalam menghadapi musuh. Untuk ini ia mengatur susunan dan barisan tentaranya dan memberi tugas kepada Panglima-panglimanya.

Panglima dalam (keraton) beserta pasukannya ditempatkan di Kuta Laksamana. Panglima Tiga Mukim bcrtugas memperkuat Kuta Meusafi.  Panglima Areh dari Lima Mukim Montasiek memimpin pasukan di Kuta Bak Bie, Teuku Keunalo dari Seulimeum ditempatkan di Kuta Nie dan ia sendiri mengkordinir pasukan di Kuta Raja Perak dan Makam,Teungku Syiah Kuala. Benteng-benteng pertahanan diperkuat dan ditambah alat perlengkapannya, sehingga benteng Aceh terbentang sepanjang pantainya merupakan mata rantai yang kukuh yang dimulai dari sebelah timur Krueng Aceh melingkar sampai ke Pidie. Pada tiap benteng ditempatkan meriam sebagai alat penangkis serangan kapal Belanda dari arah laut.

Rencana Tuanku Hasyim rapanya tercium oleh mata-mata Belanda. Oleh sebab itulah maka dalam serangan kedua kalinya Van Swieten atas anjuran mata-matanya mendaratkan pasukannya di Lhok Nga (Krueng Raba), yang kemudian dapat memukul pertahanan Aceh dari belakang. Dalam penyerangan ini Van Swieten merasa berat karena menghadapi kekuatan yang besar. Suatu  taktik jahat Van Swieten ialah menyebarkan bibit penyakit koléra, sehingga kekuatan Aceh menjadi lemah dan daya tempurnya lumpuh. Penyakit koléra merajalela diibu kota Aceh dan Sultan sendiri terkena sehingga wafat. Kemudian Belanda mendaratkan lagi pasukannya di Ujung Pedro Pasi Lamnga. Melihat serangan yang tiba-tiba ini Tuanku Hasyim cepat-cepat mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Lam Nga. Dengan penuh semangat prajurit-prajurit Aceh menunjukkan keahliannya dalam menghadapi pasukan-pasukan Belanda, sehingga serangan Belanda dapat digagalkan. Karena itu Belanda mengalihkan penyerangannya ke Kuala Gigieng dan Alue. Di sini juga serangan Belanda disambut dengan perlawanan yang gigih oleh prajurit-prajurit Aceh, sehingga pertempuran berlangsung selama dua hari dan akhirnya Belanda menarik pasukannya. Kemudian pasukan Belanda berhasil merebut Kuta Cut Gampong Baro. Karena marahnya mereka membakar habis dan memusnahkan tempat itu. Setelah itu Belanda mencoba kembali menyerang Lamnga, tetapi gagal. Pertempuran terus berlangsung siang dan malam dengan tidak berkurang sengitnya. Prajurit-prajurit Aceh terus bertempur dengan semangat yang tinggi, tidak mengenal lelah. Mereka dengan tulus ikhlas mempertahankan tanah airnya yang tercinta. Pasukan meriam terus bekerja dengan tembakannya untuk memberikan perlindungan pada prajurit Aceh, begitu juga pihak Belanda. Dengan keunggulan persenjataannya mereka mendesak Aceh, Pasukan Aceh memindahkan posisinya ke tempat yang lebih strategis, sehingga dengan mudah memukul lawan.

Demikianlah korban berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi Aceh tidak mengendorkan perlawanannya, bahkan terus maju ke depan mencari lawan. Akhirnya Belanda dapat menerobos dan mematahkan perlawanan prajurit Aceh, dan menempatkan pasukannya di Peunayong dengan tujuan akan merebut Kraton. Kemudian Belanda berusaha menekan Sultan untuk menanda-tangani surat penyerahan.

Untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Tuanku Hasyim dengan cepat memindahkan pertahanan dari kiri kanan Krueng Aceh, dengan tujuan untuk menggempur Peunayong, Lambhuk dan Peukan Aceh. Pertahanan pasukan Panglima Polim di Iampoh Jok dan Kuta Gunongan diperkuat dengan menambah barisannya dan mcnambah perlengkapan tempurnya.

Begitu juga Teuku Kali dan Panglima Polim untuk mempertahankan Keraton ditempatkan pada bagian selatan. Tetapi karena suatu pengkhianatan, pasukan Belanda di bawah pimpinan W.V. Kerchem dengan kekuatan dan jumlah yang banyak terlebih dahulu menyerang pertahanan Lambhuk. Maka terjadilah perang tanding yang seru, yang mcngakibatkan W.V. Kerchem tewas dalam pertempuran ini . Kemudian kepala stafnya G.C.E, Van Daalen mengambil alih tugas pimpinan, tapi karena kurang kecakapannya pimpinan diambil alih oleh Jenderal Mayor Versvijek. Pertempuran terus berlangsung dan makin seru, batalion ketiga  tentara Belanda yang telah berhasil mendekati pertahanan Aceh terdesak mundur oleh tembakan yang gencar dari pasukan Aceh. Pertempuran ini banyak menelan korban di kedua belah pihak.


-- Bersambung --
Naskah Asli karya Muchtaruddin Ibrahim
Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar