Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Jumat, 03 Januari 2014

Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kesultanan Aceh Darussalam Bag. 4


Dahsyatnya pertempuran dan heroisme pejuang Aceh dalam mempertahankan Masjid Raya

Pada tanggal 26 Desember 1873 terjadilah pertempuran yang seru dalam penyerangan Belanda disekitar Keraton. Pada daerah ini tumbuh sebangsa pohon tebu yang sangat baik dan pohon tebu ini merupakan benteng pertahanan Aceh yang telah diatur sedemikian rupa,  sehingga susah bergerak bebas kecuali dengan merangkak pelan-pelan. Tumbuhan tebu ini telah ditanam lama atas perintah Tuanku Hasyim sebagai perisai untuk melindungi keraton. Kemudian sebagai barisan pertahanan Keraton di samping senjata api ditempatkan pula sepasukan ahli pedang yang terlatih dan berpengalaman. 
Melihat perlindungan yang baik ini Belanda secara diam-diam mendaratkan pasukannya dan menyusup ke dalam kebun tebu ini dan terus bergerak secara diam-diam mendekati Keraton. Gerak-gerik ini diikuti terus oleh pasukan Aceh, tetapi mereka belum bertindak karena belum ada komando dari pimpinan. Tetapi setelah pereahu terakhir yang menyeberangkan pasukan Belanda, Tuanku Hasyim memerintahkan supaya semua perahu dibakar, hanya satu yang dapat meloloskan diri.  Setelah itu ia. memerintahkan pengepungan terhadap tentara Belanda yang sudah bersembunyi di kebun tebu tersebut. Maka keluarlah Panglima Polim, Imeum Leungbata, Tengku di Muleuk Said dari persembunyiannya beserta prajurit ahli pedang maju menebas serdadu-serdadu Belanda. Pasukan Belanda menjadi panik, mereka tak dapat berbuat banyak. Karena tidak  dapat mempergunakan senjatanya. Satu-satunya jalan ialah dengan mencoba melarikan diri dan terjun ke Krueng Aceh, tetapi sebagian besar ditebas oleh prajurit Aceh. Kepala atau anggota badan mereka putus sekaligus. Alat senjata mereka banyak yang jatuh ke tangan pasukan-pasukan Aceh. Dalam pertempuran ini banyak perwira Belanda yang tewas. Akibat kekalahan ini Belanda mengosongkan Lambhuk yang telah didudukinya.

Demikianlah beratnya tugas tentara Belanda. Telah tiga kali Van Swieten terpukul mundur dalam merebut pertahanan Aceh. Sedang korban telah banyak berjatuhan. Oleh Karena itu timbul kebimbangan Belanda dalam meneruskan penyerangannya, Tetapi untuk menjaga prestise dan nama baik tentara Belanda, maka mundur berarti gagal total. Karena itu Belanda membatasi diri. Penyerangan  kini dipusatkan hanya ke Keraton saja. Dengan merebut Keraton, kekuatan Aceh dapat dilumpuhkan. Tetapi setelah menguasai Keraton, ternyata pertahanan Aceh cukup kuat dengan pagar berlapis. Pada tiap sisinya telah menanti muntahan peluru meriam. Melihat hal ini Belanda merasa pesimis untuk terus menyerang. Tuanku Hasyim tidak berdiam diri. Ia telah menyiapkan pasukannya yang terpilih untuk mengepung benteng Belanda di Peunayong. Bantuan makin berdatangan dari tiap kemukiman. Posisi penyerangan telah diatur dan pembagian tugas dijalankan dengan seksama. Teuku Cik memimpin Kuta Bak Mamplam, dan ia dibantu oleh rakyat VI Mukim Peukan dan rakyat IX Mukim Lamtheun. Teuku Muda Baet dari VII Mukim memimpin sebahagian rakyat Sagi 22 Mukim dan ditempatkan di Keraton. Rakyat Sagi 25 Mukim ditempatkan di garis pengepungan yaitu Kuta Bak Mamplam, Kampong Jawa dan Blang Peureulak. Teuku Cik Muda di warung-warung dan rumah-rumah. Teuku Keunalo di muara Krueng Daroi dan Teuku Luengbata di tepi sungai Krueng Aceh. Demikianlah persiapan yang telah diatur dan tinggal menanti perintah Tuanku Hasyim.

Tetapi rencana penyerangan ini gagal, karena Belanda mendahului menyerang Kuta Reuntang dan sekaligus dengan Lambhuk. Penyerangan ini dapat digagalkan oleh rakyat Sagi 26 Mukim Karena telah diperkuat dengan pagar yang kuat. Kemudian Belanda menarik pasukannya ke Lampulo. Pada tanggal 6 Juni 1874 terjadilah peperangan yang sangat dahsyat di Masjid Raya Baiturrahman. Sebelum mengadakan penyerangan, Belanda mengirim utusan yakni Mas Sumo Widikjo. Tujuannya untuk menyampaikan surat kepada Sultan dengan maksud supaya Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Aceh menolak tuntutan Belanda itu. Karena itu Van Swieten mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyerbu Masjid Raya. Serdadu-serdadu Belanda jatuh bergelimpangan memanjat pagar setinggi dua meter oleh tembakan senapan pasukan Aceh.

Di bawah desingan peluru dan muntahan meriam Tuanku Hasyim mengerahkan pasukannya. Mereka berjuang mati-matian, maju terus menetakkan kelewangnya ke leher tentara Belanda, sehingga Masjid Raya banjir darah. Namun pertempuran tidak berhenti. Masing-masing mempertaruhkan nyawanya. Daya upaya habis, Tuanku Hasyim memindahkan arena pertempuran ke luar mesjid, Belanda merasa beruntung karena telah dapat menduduki Masjid Raya. Hilanglah benteng pertahanan Aceh yang telah dipertahankan selama tiga belas hari. Dengan jatuhnya Masjid Raya, Tuanku Hasyim beserta pasukannya menyingkir ke Mukin 26 dan disini ia menyusun kembali kekuatannya. Ia membicarakan soal ini dengan para Ulebalang, terutama jalan keluar untuk mengatasi kekalahan yang diderita. Kemudian ia memerintahkan Panglima Tengku Chik Kuta Karang untuk mengatur dan menyusun kekuatan. Ia sendiri bermarkas di Masjid Pagar Aye bersama Panglima Polim. Mereka mengumpulkan para Ulebalang untuk bermusyawarah dalam rangka mengambil taktik dan strategi baru. Tuanku Hasyim terus bergerak dan memindahkan pusat kedudukannya ke Meumalo. Begitu juga Panglima Polim karena terjepit oleh serangan Belanda, sehingga tak dapat mempertahankan Keraton. Teuku Muda berhasil mengungsikan Sultan ke Pagar Aye dan di sinilah Sultan mangkat terkena penyakit Colera. 

Belanda terus berusaha menghubungi keluarga Sultan, untuk diangkat sebagai bonekanya. Karena itu Panglima Polim mengambil kebijaksanaan ia bermusyawarah dengan panglima-panglima dan ulebalang-ulebalang untuk mengangkat ganti Sultan. Atas keputusan yang bulat mereka menunjuk Tuanku Hasyim. Beliau menolak hasil mufakat ini. Kemudian beliau menunjuk Muhamad Daud untuk diangkat menjadi Sultan. Dengan upacara seperti biasanya disahkanlah Tuanku Muhamad Daud Syah menjadi Sultan dengan perwalian Tuanku Hasyim. Pengangkatan ini bertempat di Mesjid Lama Tengah. Karena desakan Belanda yang terus-menerus, pasukan-pasukan Aceh memindahkan kekuatannya ke daerah timur. Dari daerah inilah diatur semua siasat. Tuanku Hasyim tidak mengecewakan pengikutnya. Beliau terus aktif memikirkan perjuangan Aceh untuk mengusir penjajahan Belanda yang kafir. Pada tiap panglima diperintahkan untuk menyampaikan pada tiap mukim dan menyebar luaskan kepada rakyat untuk terus berjuang. Peperangan ini adalah perang suci, perang agama, untuk mengusir Belanda yang kafir dari bumi Aceh.

Demikianlah Tuanku Hasyim mengatur semangat Perang Sabil kepada seluruh rakyat Aceh. Secara spontan rakyat menyambutnya dengan seruan Allahu Akbar. Belanda kafir adalah musuh, karenanya harus diusir.

-- Bersambung --
Naskah Asli karya Muchtaruddin Ibrahim Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar