Dahsyatnya pertempuran dan heroisme pejuang Aceh dalam mempertahankan Masjid Raya |
Pada
tanggal 26 Desember 1873 terjadilah pertempuran yang seru dalam penyerangan
Belanda disekitar Keraton. Pada daerah ini tumbuh sebangsa pohon tebu yang
sangat baik dan pohon tebu ini merupakan benteng pertahanan Aceh yang telah
diatur sedemikian rupa, sehingga susah
bergerak bebas kecuali dengan merangkak pelan-pelan. Tumbuhan tebu ini telah
ditanam lama atas perintah Tuanku Hasyim sebagai perisai untuk melindungi keraton.
Kemudian sebagai barisan pertahanan Keraton di samping senjata api ditempatkan pula
sepasukan ahli pedang yang terlatih dan berpengalaman.
Melihat perlindungan
yang baik ini Belanda secara diam-diam mendaratkan pasukannya dan menyusup ke
dalam kebun tebu ini dan terus bergerak secara diam-diam mendekati Keraton.
Gerak-gerik ini diikuti terus oleh pasukan Aceh, tetapi mereka belum bertindak karena
belum ada komando dari pimpinan. Tetapi setelah pereahu terakhir yang
menyeberangkan pasukan Belanda, Tuanku Hasyim memerintahkan supaya semua perahu
dibakar, hanya satu yang dapat meloloskan diri. Setelah itu ia. memerintahkan pengepungan
terhadap tentara Belanda yang sudah bersembunyi di kebun tebu tersebut. Maka
keluarlah Panglima Polim, Imeum Leungbata, Tengku di Muleuk Said dari persembunyiannya
beserta prajurit ahli pedang maju
menebas serdadu-serdadu Belanda. Pasukan Belanda menjadi panik, mereka tak
dapat berbuat banyak. Karena tidak dapat
mempergunakan senjatanya. Satu-satunya jalan ialah dengan mencoba melarikan
diri dan terjun ke Krueng Aceh, tetapi sebagian besar ditebas oleh prajurit
Aceh. Kepala atau anggota badan mereka putus sekaligus. Alat senjata mereka
banyak yang jatuh ke tangan pasukan-pasukan Aceh. Dalam pertempuran ini banyak
perwira Belanda yang tewas. Akibat kekalahan ini Belanda mengosongkan Lambhuk
yang telah didudukinya.
Demikianlah
beratnya tugas tentara Belanda. Telah tiga kali Van Swieten terpukul mundur
dalam merebut pertahanan Aceh. Sedang korban telah banyak berjatuhan. Oleh Karena
itu timbul kebimbangan Belanda dalam meneruskan penyerangannya, Tetapi untuk
menjaga prestise dan nama baik tentara Belanda, maka mundur berarti gagal total.
Karena itu Belanda membatasi diri. Penyerangan kini dipusatkan hanya ke Keraton saja. Dengan
merebut Keraton, kekuatan Aceh dapat dilumpuhkan. Tetapi setelah menguasai
Keraton, ternyata pertahanan Aceh cukup kuat dengan pagar berlapis. Pada tiap sisinya
telah menanti muntahan peluru meriam. Melihat hal ini Belanda merasa pesimis untuk
terus menyerang. Tuanku Hasyim tidak berdiam diri. Ia telah menyiapkan
pasukannya yang terpilih untuk mengepung benteng Belanda di Peunayong. Bantuan
makin berdatangan dari tiap kemukiman. Posisi penyerangan telah diatur dan
pembagian tugas dijalankan dengan seksama. Teuku Cik memimpin Kuta Bak Mamplam,
dan ia dibantu oleh rakyat VI Mukim Peukan dan rakyat IX Mukim Lamtheun. Teuku
Muda Baet dari VII Mukim memimpin sebahagian rakyat Sagi 22 Mukim dan ditempatkan
di Keraton. Rakyat Sagi 25 Mukim ditempatkan di garis pengepungan yaitu Kuta
Bak Mamplam, Kampong Jawa dan Blang Peureulak. Teuku Cik Muda di warung-warung
dan rumah-rumah. Teuku Keunalo di muara Krueng Daroi dan Teuku Luengbata di tepi
sungai Krueng Aceh. Demikianlah persiapan yang telah diatur dan tinggal menanti
perintah Tuanku Hasyim.
Tetapi
rencana penyerangan ini gagal, karena Belanda mendahului menyerang Kuta Reuntang
dan sekaligus dengan Lambhuk. Penyerangan ini dapat digagalkan oleh rakyat Sagi
26 Mukim Karena telah diperkuat dengan pagar yang kuat. Kemudian Belanda
menarik pasukannya ke Lampulo. Pada tanggal 6 Juni 1874 terjadilah peperangan
yang sangat dahsyat di Masjid Raya Baiturrahman. Sebelum mengadakan penyerangan,
Belanda mengirim utusan yakni Mas Sumo Widikjo. Tujuannya untuk menyampaikan surat
kepada Sultan dengan maksud supaya Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Aceh menolak
tuntutan Belanda itu. Karena itu Van Swieten mengerahkan segenap kekuatannya
untuk menyerbu Masjid Raya. Serdadu-serdadu Belanda jatuh bergelimpangan memanjat
pagar setinggi dua meter oleh tembakan senapan pasukan Aceh.
Di
bawah desingan peluru dan muntahan meriam Tuanku Hasyim mengerahkan pasukannya.
Mereka berjuang mati-matian, maju terus menetakkan kelewangnya ke leher tentara
Belanda, sehingga Masjid Raya banjir darah. Namun pertempuran tidak berhenti.
Masing-masing mempertaruhkan nyawanya. Daya upaya habis, Tuanku Hasyim
memindahkan arena pertempuran ke luar mesjid, Belanda merasa beruntung karena telah
dapat menduduki Masjid Raya. Hilanglah benteng pertahanan Aceh yang telah
dipertahankan selama tiga belas hari. Dengan jatuhnya Masjid Raya, Tuanku
Hasyim beserta pasukannya menyingkir ke Mukin 26 dan disini ia menyusun kembali
kekuatannya. Ia membicarakan soal ini dengan para Ulebalang, terutama jalan
keluar untuk mengatasi kekalahan yang diderita. Kemudian ia memerintahkan
Panglima Tengku Chik Kuta Karang untuk mengatur dan menyusun kekuatan. Ia
sendiri bermarkas di Masjid Pagar Aye bersama Panglima Polim. Mereka mengumpulkan
para Ulebalang untuk bermusyawarah dalam rangka mengambil taktik dan strategi
baru. Tuanku Hasyim terus bergerak dan memindahkan pusat kedudukannya ke Meumalo.
Begitu juga Panglima Polim karena terjepit oleh serangan Belanda, sehingga tak
dapat mempertahankan Keraton. Teuku Muda berhasil mengungsikan Sultan ke Pagar
Aye dan di sinilah Sultan mangkat terkena penyakit Colera.
Belanda terus
berusaha menghubungi keluarga Sultan, untuk diangkat sebagai bonekanya. Karena itu
Panglima Polim mengambil kebijaksanaan ia bermusyawarah dengan panglima-panglima
dan ulebalang-ulebalang untuk mengangkat ganti Sultan. Atas keputusan yang
bulat mereka menunjuk Tuanku Hasyim. Beliau menolak hasil mufakat ini. Kemudian
beliau menunjuk Muhamad Daud untuk diangkat menjadi Sultan. Dengan upacara
seperti biasanya disahkanlah Tuanku Muhamad Daud Syah menjadi Sultan dengan
perwalian Tuanku Hasyim. Pengangkatan ini bertempat di Mesjid Lama Tengah. Karena
desakan Belanda yang terus-menerus, pasukan-pasukan Aceh memindahkan
kekuatannya ke daerah timur. Dari daerah inilah diatur semua siasat. Tuanku
Hasyim tidak mengecewakan pengikutnya. Beliau terus aktif memikirkan perjuangan
Aceh untuk mengusir penjajahan Belanda yang kafir. Pada tiap panglima
diperintahkan untuk menyampaikan pada tiap mukim dan menyebar luaskan kepada rakyat
untuk terus berjuang. Peperangan ini adalah perang suci, perang agama, untuk
mengusir Belanda yang kafir dari bumi Aceh.
Demikianlah
Tuanku Hasyim mengatur semangat Perang Sabil kepada seluruh rakyat Aceh. Secara
spontan rakyat menyambutnya dengan seruan Allahu Akbar. Belanda kafir adalah musuh,
karenanya harus diusir.
-- Bersambung --
Naskah Asli karya Muchtaruddin Ibrahim
Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977
Tidak ada komentar:
Posting Komentar