Pendaratan pasukan Belanda di pantai Aceh |
Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kesultanan Aceh Darussalam. Bag. 1
Pada tahun 1863 Residen Belanda mencoba sekali lagi menyelesaikan Langkat. Ia datang dengan perlengkapan perang dan dua buah kapal, dengan tujuan agar dapat memukul kekuatan Tuanku Hasyim. Tetapi karena kuatnya pertahanan Aceh, Belanda tak dapat mendekati pulau Kampai. Bahkan mereka disambut dengan tembakan meriam, sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur kembali. Rupanya Netscher tidak berputus asa untuk merebut pulau Kampai. Dalam penyerangan ini ia mengikut sertakan Raja Burhanuddin sebagai penyelidik pertahanan Aceh. Tetapi melihat kekuatan Tuanku Hasyim yang menantinya, mereka merobah haluan kapalnya kembali. Dari jauh mereka memperhatikan bendera Aceh berkibar dengan megah. Kemudian mereka menunjukan arah kapalnya ke Bengkalis.
Demikianlah benteng Pulau Kampai yang dibangun Tuanku Hasyim telah empat
kali mendapat serangan dari Belanda, tetapi dapat digagalkan oleh pejuang Aceh.
Begitu juga penyerangan Belanda dari darat dan laut terhadap langkat dapat
dipatahkan oleh Pasukan Tuanku Hasyim dan juga penyerangan Netscher kedua
kalinya ke Sumatera Timur dapat digagalkan. Setelah beberapa kali Belanda
mengalami kegagalan, kemudian mereka mengirim mata-mata untuk menyelidiki
gerak-gerik dan benteng pertahanan Tuanku Hasyim. Begitu Belanda mendapat khabar, bahwa Tuanku
Hasyim sedang berada di pusat atas panggilan Sultan, maka Belanda segera
mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Pulau Kampai, Sedangkan waktu itu
pimpinan pertahanan Pulau Kampai diserahkan kepada Tuanku Itam yang dibantu
oleh Teuku Cut Latif. Serangan yang cepat ini berhasil dan Belanda dapat
merebut benteng pulau Kampai pada tahun 1865.
Sesudah jatuhnya benteng Pulau Kampai ke tangan Belanda sekembalinya Tuanku
Hasyim dari pusat, ia memindahkan pusat kekuatannya ke Manyak Pait. Kemudian ia
membangun dan menyusun kekuatannya. Selanjutnya ia meningkatkan kegiatan
Panitia delapan demi kepentingan perang. Adapun tugasnya, selain perdagangan,
yang lebih penting ialah mengawasi kegiatan Belanda di Selat Malaka dalam
usahanya menyerang Aceh. Demikianlah berkat usaha Tuanku Hasyim yang gigih dan
ulet beliau dapat membendung serangan Belanda dari darat selama kurang lebih
lima belas tahun.
Pada tahun 1870 timbul kegoncangan dalam pemerintahan Aceh. Sultan Alaidin
Ibrahim Syah meninggal dunia, sedang pengganti baginda belum ada yang dapat
bertanggung jawab atas kelangsungan pemerintahan. Begitu juga pihak Belanda
telah siap untuk menyerang kerajaan Aceh. Mereka hanya menanti kesempatan yang
baik, Mereka telah siap menanti perintah dari atasannya. Untuk menanggulangi
kekalutan ini tampillah tokoh-tokoh politik, orang-orang besar, Uleebalang dan
para ulama. Mereka mengadakan musyawarah untuk mengangkat pengganti Sultan.
Hasil musyawarah secara bulat menunjuk Tuanku Hasyim Bangta Muda sebagai
pengganti Sultan. Tetapi Tuanku Hasyim menolak dan tidak bersedia, dengan
alasan ia tidak tepat, sebab pengangkatan Sultan sudah berselang dua, yakni
Abdul Kadir dan Tuanku Raja Gut Zainal tidak menjadi Sultan. Hal ini kurang
sesuai dengan adat dan peraturan. Untuk ini ia menunjuk Mahmud Syah yang masih
kecil untuk menjadi Sultan. Beliau ini putera Sultan Alaidin Sulaiman Ali
Iskandar.
Para ulama beserta pembesar kerajaan sekali lagi mengadakan musyawarah dan
dengan suara bulat mendesak agar Tuanku Hasyim bersedia menjadi Sultan, dengan
alasan bahwa negara dalam keadaan bahaya dan musyawarah sangat mengharapkan
seorang kuat seperti Tuanku Hasyim, Tetapi Tuanku Hasyim tetap pada
pendiriannya. Ia menolak jabatan Sultan. Dan pendiriannya yang kuat atas dasar
tidak rela merubah garis hukum adat, bahwa yang sebenarnya berhak menjadi Sultan adalah Mahmud Syah. Kalau
alasan negara dalam keadaan bahaya, ia lebih senang turun ke lapangan
untuk menghadapi musuh dari pada duduk
bersilaa di atas tahta kerajaan hanya untuk memerintah. Karena penolakan ini,
akhirnyn musyawarah memutuskan untuk mengangkat Mahmud Syah menjadi Sultan,
biarpun dalam keadaan lemah. Hal ini guna mempertanggungjawabkan tugas negara
dan kclangsungan pemerintahan Aceh. Meskipun secara resmi Tuanku Hasyim menolak
diangkat menjadi Sultan, tetapi secara praktis, ia bertanggung jawab dan
melaksanakan tugas-tugas kesultanan demi kepentingan negara,bangsa dan agama.
Pada
waktu Sultan baru diangkat, kekuatan-kekuatan yang ada di Aceh ada tiga
golongan. Pertama golongan keturunan Arab, jumlahnya sedikit, tetapi mereka ini
termasuk golongan yang intelek, persatuannya kokoh. Oleh sebab itu golongan ini
suka berperang. Kedua golongan penduduk asli, jumlahnya banyak. Mereka ini
lebih dekat kepada Sultan, tetapi persatuan kurang kokoh. Di dalamnya tergabung
Ulebalang-Ulebalang yang ternama, tetapi mereka ini nampaknya sangat lemah dan
bersedia bekerja sama dengan Belanda. Oleh sebab itu Belanda mencoba mengadakan
kontak dengan golongan ini. Ketiga golongan yang mempunyai pendirian keras, yang
tidak dapat diajak berdamai. Jumlahnya terbesar. Mereka ini terdiri dari
orang-orang kuat dan para ulama. Golongan inilah yang paling gigih menentang
penjajahan Belanda.Golongan
yang pertama dipimpin oleh Sayid Abdurachman Azzahir, sedang golongan yang ketiga
dipimpin oleh Tuanku Hasyim, Tuanku Hasyim adalah tokoh yang kuat dan taat pada
agama.
Disamping itu atas
pengaruh Tuanku Hasyim banyak pula golongan Ulebalang yang taat pada agama. Mereka ada dipihak Tuanku Hasyim. Para Ulebalang yang mendukung Tuanku Hasyim
ialah, Panglima Polim Ibrahim Muda Kuala, Teuku Nyak Raya Imeum Luengbata
atau Panglima Keraton. Para ulama yang mendukung perjuangan Tuanku Hasyim ialah
Tengku Cik di Kutakarang Syekh Abbas, Teungku Chik di Tiro Muhamad Saman dan
lain-lainnya.
-- Bersambung --
Naskah Asli karya Muchtaruddin Ibrahim
Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977
Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977
👍👍👍 bereh cut abang
BalasHapus