Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Rabu, 26 Agustus 2015

KEGANASAN DI KEUREUTO


Dataran rendah Keureuto pada masa perang melawan Belanda adalah basis utama para pejuang yang tak kenal kata menyerah. Tersebutlah nama sepasang sejoli muda bernama Cut Meutia dan suaminya yang bernama Teuku Cut Muhammad, mereka bergerilya tanpa henti di Rimba Pasee bersama-sama.  Meski perang agak mereda di ujung barat Aceh, nun di bagian utara perang itu baru saja menemukan moment permulaannya.


Kancah tempur pertama pasangan ini terselip rapi dalam tulisan kisah hidup seorang penginjak rem kereta api Belanda yang merupakan pribumi.  Pada saat itu Belanda mulai membuka jalur kereta api uap yang menghubungkan Lhokseumawe, Matang Kuli dan Lhoksukon. Sepanjang jalur baru itu hanya hamparan rawa yang ditanami setahun sekali dengan padi serta hutan rumbia dan pinang saja adanya. Pada jalur seram inilah Karim si penginjak rem ini mengalami saat-saat tragis hidupnya, kereta api tempat dia bekerja dihadang dan disergap oleh kelompok gerilyawan Aceh pimpinan Teuku Cut Muhammad ditengah hutan pinang tak jauh dari Lhoksukon.

Karim mencatat kengerian yang mendadak datang setiap kali kereta melintasi hutan-hutan pinang dan tanaman rendah pandan di kiri kanan rel. Mata para tentara Belanda yang mengawal kereta api awas memeriksa rerumputan yang tumbuh meninggi. Mereka sangat sadar bahwa kapan saja dibalik rerimbunan semak para pejuang setiap saat telah siap dengan moncong bedil dan kilap kelewangnya. Para pejuang ini sama sekali tak dihantui oleh ketakutan akan kematian. Seakan kematian adalah ekspektasi terindah yang hendak dicapai manusia semacamnya. Karena itu pada saat-saat kereta merangkak pelan disela bebatang pinang para penumpang kereta seakan memasuki detik-detik horor tak terperikan.

Benar saja pada sebuah hari berhujan kecil dan mendung serta pucuk-pucuk rumput masih dinodai lumpur bekas banjir. Disebuah hutan pinang kecil lepas dari perkampungan Lhoksukon, kereta disergap oleh gerilyawan pada siang bolong. Meski telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan itu tak urung para penumpang yang terdiri dari tentara dan beberapa tenaga sipil medis tidak mampu bertahan mendapatkan serangan mendadak itu. Satu demi satu tubuh para manusia kolonial itu dicacah kelewang dan rencong penyerangnya.

Karim yang malang tertangkap hidup oleh pasukan Teuku Cut Muhammad namun nasibnya masih lebih baik dibandingkan dengan nasib tentara Belanda dan para penumpang lain kereta api tersebut, mereka yang tak selamat terpaksa menjemput ajal diujung bedil dan tetakan kelewang para prajurit Aceh. Nasib malang Karim terbantu pula oleh keislamannya, karena ia mampu mengucapkan dua kalimat syahadat ketika para penangkap menyergapnya maka ia tidak segera dibunuh pada saat itu. Setelah ia sembuh dari luka-lukanya konon pula ia mampu melarikan diri ke induk pasukan Belanda di Lhokseumawe.

Kiprah lain Teuku Cut Muhammad setelah insiden kereta api itu adalah saat terjadinya penyerangan malam di krueng kecil yang melintas dipinggiran kampung Sampoyniet. Tipuan gerilyawan Aceh yang termakan oleh Belanda adalah strategi dalam penyergapan yang tidak biasa ini. Pihak Aceh mengerahkan intelejen dalam strategi ini, intelejen Aceh menyiarkan khabar bohong akan adanya kenduri besar selamatan pasca kesuksesan gerilyawan menyerang kereta api beberapa tempo sebelumnya. Kenduri besar itu dilakukan di kampung Piyadah, sebuah kampung yang terkenal dalam kisah Malem Diwa.

Tipuan ini hanya umpan tak urung menarik minat perwira Belanda untuk segera mengirimkan tentaranya ke kampung Piyadah. Dibawah komando Letnan P.R.D. de Kok para infanteri yang terdiri dari bangsa Eropa dan pribumi itu bergerak, mereka sama sekali tidak menyadari taktik licik ini. Tujuan mereka hanya satu, menghancurkan pejuang Aceh yang sedang larut dalam kenduri besar kampung Piyadah. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pesta sesungguhnya tidaklah dikampung Piyadah, tetapi pada lereng sungai dan semak gelagah krueng Sampoyniet.

Guna menghindari pengintaian pihak Aceh, tentara Belanda memilih perjalanan pada waktu malam hari dari tangsi Lhoksukon. Perkiraannya bila tidak meleset mereka akan tiba di Piyadah menjelang subuh. Saat yang tepat untuk menyergap musuh yang sedang lelah setelah pesta besar. Malam itu masih dalam musim penghujan didataran rendah Keureutoe. Jalanan adalah persawahan becek yang dipenuhi lintah darat. Tengah malam mereka tiba di Sampoyniet dan segera hendak menyeberangi sungai kecil yang sedang banjir airnya bergejolak, air lumpur kiriman dari gunung Geureudong diselatan.

Beruntunglah mereka mendapati beberapa sampan yang cukup untuk menyeberangkan keseluruhan pasukan yang jumlahnya tidak seberapa itu. Para pemilik perahu dibangunkan dari tidur mereka dirumah-rumah panggung mereka disekitar kampung Sampoyniet. Nyatanya para pendayung perahu ini bukanlah pemilik sampan yang sebenarnya, mereka adalah para pejuang Aceh yang telah meyiapkan kejutan tak terlupakan buat tentara Belanda. Belasan sampan yang teronggok dipinggir sungai pun bukan sampai seperti biasanya. Sampan kayu ini telah dilobangi pada bagian tengah, lubang yang cukup besar untuk menenggelamkan keseluruhan sampan bila sumbatnya dicabut.

Dengan satu perintah dari mulut De Kock sampan melaju tenang membelah arus sungai membanjir itu, tepat pada pertengahan sungai tiba-tiba terdengar salak senapan, para pendayung serentak mencabut sumbat sampan mereka lalu seisi sampan berlompatan ke air deras. Susah payah para tentara Belanda yang tidak menyangka kejadian ini berenang ke pinggiran. Namun begitu menjangkau pucuk gelagah disisi sungai mereka segera dihadiahi pelor panas dan tebasan kelewang Aceh.

Hingga menjelang subuh gerilyawan Aceh berpesta darah para musuhnya ditepi sungai itu. Dalam gelap dan dingin itu dua puluh delapan nyawa lepas dari jasad tentara-tentara malang. Sementara puluhan pucuk senapan mereka segera beralih tangan, para pemilik baru senapan itu tersenyum puas bertakbir mensyukuri kemenangan besar malam itu. Pesta kenduri yang digadang-gadangkan telah tuntas. Para jasad tak bernyawa dionggok disepanjang tepi sungai menjadi santapan buaya muara. Tubuh-tubuh tercincang sesuka penyerang ganas itu menciutkan nyali bala bantuan yang dikerahkan guna mengumpulkan jenazah tentara korban perang.

Keganasan Teuku Cut Muhammad berikutnya adalah bivak kecil Belanda di gampong Meurandeh Paya. Korban kali ini adalah seorang perwira beringas bernama Sersan Vollaers yang baru saja menyelasaikan misi penyerangan terhadap pejuang Aceh di sekitar pinggiran rimba Samarkilang. Vollaers memimpin tidak kurang dari tujuh belas prajurit dan beberapa orang manusia rantai. Dalam perburuan melelahkan itu Vollaers dan pasukannya mencapai gampong Meurandeh Paya dan mendapati bahwa gampong itu agak ramai sehingga membuat hatinya merasa nyaman mengambil tempat istirahat pada meunasah gampong.

Selama beberapa hari menempati bivak meunasah itu Sersan Vollaers benar-benar mengistirahatkan diri dan pasukannya. Meurandeh Paya adalah kampung yang tenang dan aman menurut catatan Belanda. Sersan Vollaers yakin akan hal itu terlebih ketika ia melihat diluar komplek meunasah para pedagang dengan semarak menjajakan dagangannya, bahkan para pedagang itu dengan ramah seakan penuh kesenangan hati menawarkan dagangannya buat pasukan yang kelelahan itu. Vollaers yang kenyang asam garam perang kolonial di Aceh tahu betul bahwa tidak mungkinlah dikampung senyaman Meurandeh Paya para rakyatnya berpikir nekad menceburkan diri dalam kancah perang yang brutal ini.

Karena keyakinan itu kepada pedagang-pedagang baik hati oleh Vollaers dibebaskan keluar masuk komplek meunasah yang sementara dijadikan bivak para prajurit. Meski para pedagang terlihat membawa rencong dan kelewang, namun sebagaimana adat orang-orang Aceh di Pasee hal itu bukanlah sebuah ancaman melainkan kebiasaan semata, demikian agaknya dibenak Vollaers sehingga ia dan bawahannya tidak menaruh curiga sama sekali.

Keramah tamahan warga Meurandeh Paya begitu menenangkan membuat Vollaers lengah.  Perwira yang sedang melepas lelah setelah berpekan-pekan dihutan itu tidak mempedulikan kewaspadaan seorang perwira. Ia bahkan lebih menyibukan diri dengan bacaan yang dibawanya dari Batavia. Hingga suatu ketika yang tak diduga keributan itu terjadi. Keramahan orang-orang Aceh mendadak beralih rupa menjadi keberingasan yang tak terperi. Para pedagang dengan rencong dan kelewang menyerbu meunasah. Membunuhi setiap Belanda dan pribumi bersenjata maupun tak bersenjata dari pihak Belanda. 

Penyerangan itu membuat seluruh pasukan Belanda dalam bivak menanggalkan nyawa ditempat itu, hanya satu orang saja yang lolos melarikan diri ke Lhokseumawe. Lagi-lagi oleh pejuang Aceh senjata-senjata mereka dirampas dan jenazah para korban dicincang hingga tak berbentuk. Hari itu bertanggal 26 Januari tahun 1903, berselang bulan dari dua peristiwa di Lhoksukon dan Sampoyniet. Belanda telah kehilangan puluhan prajuritnya di medan gerilya Keureutoe.

Dua bulan kemudian melalui sebuah taktik licik Belanda yang mengundang Teuku Cut Muhammad ke Lhokseumawe namun menangkap tokoh Aceh itu di Geudong. Setelah melalui pengadilan militer kolonial Teuku divonis hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan kemudian di pantai kota Lhokseumawe. Sebelum menjalani hukuman eksekusi mati, Teuku masih sempat menerima kunjungan terakhir isterinya tercinta Cut Meutia. Kepada Cut Meutia diwariskan perjuangan yang diembannya selama ini. Wanita baja dari Pirak itu pula kelak yang namanya harum keseluruh kepulauan Nusantara sebagai wanita pejuang yang mengabdikan hidup demi kemerdekaan anak cucu bangsanya.



Selasa, 25 Agustus 2015

SURAT PADUKA SRI SULTAN MUHAMMAD DAUDSYAH KEPADA KHALIFAH TURKYE

Membaca surat ini sepintas lalu, maka kesan yang pertama sekali terbetik dalam benak: surat ini berisi keluhan. Apalagi di dalamnya, secara jelas, penulis surat menyatakan ia mengadukan perihal kesulitan dan kepedihan yang sedang dialami oleh diri dan bangsanya. Boleh jadi, karena itu, ada orang yang akan menganggap penulisnya adalah seorang yang berkepribadian lemah, tidak tegar, bukan pahlawan dan berbagai prasangka lain semisalnya. Namun apakah orang yang membuat penilaian demikian telah benar-benar membaca surat ini dan memahaminya? Saya menyangsikan hal itu, malah yakin ia belum benar-benar membacanya.
Sejatinya, penulis surat adalah seorang yang sangat tegar, kuat dan pahlawan dalam makna yang sesungguhnya. Bahkan lebih dari itu, ia adalah seorang yang amat setia. Setia kepada Agamanya, kepada umatnya, dan kepada rakyat bangsanya. Suatu sikap yang terus ia buktikan sampai nafas terakhirnya ia hembuskan di pembuangan. Dan tentu saja perayaan 17 Agustus akan melewatkan orang-orang semisal penulis surat ini, di samping saya yakin dia juga tidak pernah berharap dirinya dikenang dalam perayaan semacam itu. Batu pijakannya lain, arah haluannya lain, dan cita-citanya juga lain.
Bergunung kekecewaan dan ketidakberuntungan menindih perjalanan hidupnya namun harus diakui ia adalah seorang yang tegar, kuat dan setia. Lain dari itu tentang dirinya, saya tidak percaya. Sungguh tidak mudah bagi seseorang bertahan untuk melalui tahun-tahun kepedihan seperti yang ia lalui; saat tanah negerinya direbut oleh musuh Allah, saat bangsa-bangsa Islam kemudian harus kehilangan Amirul Mu'minin dan khilafahnya, dan saat ia melihat rakyatnya berangsur berpaling untuk mengikuti langkah musuhnya. Ia harus menahan perih fisik dalam pengasingan, sementara perih batinnya adalah sesuatu yang takkan terkira.
Dalam surat ini, Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah melaporkan dan mengadukan perihal yang dialami oleh diri dan bangsanya kepada Khalifatul Muslimin dan Amirul Mu'minin.
Selain kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada siapakah lain yang layak ia lapor dan adukan halnya? Kepada Belanda seperti para raja negeri-negeri lain yang tunduk kepada Pemerintah Hindia-Belanda? Tentu tidak, dan tak pernah akan. Baginya, Belanda adalah kafir mal'un 'aduwullah (kafir terkutuk, musuh Allah).
Atau ia akan memilih berlayar dengan angin nasionalisme yang sudah mulai berhembus sejak penghujung abad ke-18 dan menguat di abad ke-19? Tentu, tidak. Ia sama sekali bukan pengagum Mustafa Kamal Ataturk (1881-1938), dan tidak pernah sepertinya! Malah, saya yakin sampai dengan wafatnya pada 6 Februari 1939, ia masih memimpikan kebangkitan Islam dan umatnya sebagaimana mimpi Sultan Abdul Hamid II (1842-1918) ke mana surat ini ditujukan pada tanggal 25 Muharram 1315 (26 Juni 1897).
Dengan demikian, bukankah ia seorang yang teguh dalam pendiriannya, seorang yang memiliki kepribadian kuat, dan lebih dari itu ia adalah orang yang setia kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada umat dan rakyatnya. Ia tetap berdiri dan melangkah di garis para leluhurnya, para sultan yang besar, dan tidak pernah menyimpang. Jika kemudian kita sering mendengar tentang cerita penyerahan diri Sultan Muhammad Dawud Syah, saya malah jadi bertanya-tanya kenapa hanya peristiwa ini yang sering diceritakan sementara perjalanannya yang panjang dalam tahun-tahun kepedihan justru seolah tersaput kabut. Lagi pula, setelah "penyerahan dirinya", ia tidak memerintah di bawah Belanda tapi justru dibuang ke Betawi, pusat pemerintahan kolonial. T. Ibrahim Alfian telah menuturkan sebab pembuangannya ke Betawi yang menjadi tanda dan bukti ia tidak pernah melepaskan kesetiaan kepada apa yang telah dijadikannya sebagai prinsip dalam hidupnya.
Hari ini, kita masih berkesempatan untuk menyimak kembali penuturan Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud tentang tahun-tahun kepedihan yang beliau lalui, tentang penyebab langsung perang Aceh-Belanda (panjangnya dapat dibaca dalam beberapa kepustakaan yang telah tersedia), tentang asal muasal kesetiaan Sultan Aceh kepada Khalifah Muslimin di Istambul dan hubungan di antara keduanya, tentang kebiadaban dan kekejian Belanda yang sampai pada tingkat menangkap, merampas dan membunuh nelayan yang pergi mencari ikan di laut. Dan pada saat beliau mengisahkan tentang bagaimana peluru yang ditembakkan dengan mesin menghujani beliau dan rakyat Aceh, saat beliau menuturkan itu, saya jadi seperti benar-benar menyaksikannya. Semoga rahmat Allah senantiasa terlimpahkan kepada beliau, Sultan dalam tahun-tahun kepedihan.
Berikut ini adalah surat Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah ditulis dalam Bahasa Jawi disertai cap mohor beliau:
Bahwa ini waraqah Al-Ikhlas yang dipesertakan di dalamnya dengan beberapa2 hormat dan selamat yaitu daripada hamba yang hina Sri Paduka Yang Dipertuan Raja 'Alauddin Muhammad Dawud Syah Ibnu As-Sultan Al-Marhum 'Alauddin Manshur Syah dan Sri Paduka Bangta Muda bersemayam di atas singgahsana tahta kerajaan Negeri Aceh Darussalam, yaitu Pulau Sumatera, barangdisampaikan Allah Tuhan seru sekalian alam datangkan mendapat kehadapan majlis hadrat Sri Paduka Yang Mulia Maulana Al-Khaqan Al-A'zham Al-Mu'azhzham Khadimul Haramain Asy-Syarifain Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin (Tuan kami Khaqan yang agung lagi dipertuan agung pelayan dua Tanah Haram yang mulia, khalifah Muslimin, Amirul Mu'mini--MZ.) Maulana Al-Mu'azhham Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid Khan Ibnu Al-Marhum Maulana Sultan Abdul Majid Khan yang ada sekarang di dalam Negeri Istambul yang memerintah Agama Allah dan Syari'at Muhammad bin 'Abdullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam--Sallamahullah fid darain (semoga Allah menyelamatkanya di dunia dan akhirat).
Wa Ba'dahu, daripada itu maka hamba merafa'kan (mengangkat/mengirim--MZ) secarik kertas ke hadapan Hadarat ke bawa cerpu (sandal kulit yang bentuknya seperti terompah--MZ) Sri Paduka Tuan hamba karana harap hamba bahwa akan tilik dan pandang dan kenangan Hadarat Sri Paduka hamba yang mahamulia di atas hamba satu raja Islam min ahli La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah (dari pemeluk La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah--MZ) yang dha'if, dan lagi vizir (wazir) hamba yang dha'if2 dan segala orang ra'yat hamba Islam yang ada mereka itu di dalam Negeri Aceh Darussalam yang telah dianiayai oleh kafir mal'un 'aduwullah (kafir terkutuk, musuh Allah--MZ.) Bangsa Belanda dengan tiada kesalahannya telah jadi peperangan dan bermusnah2an dengan beberapa2 negeri dan beberapa2 masjid dan segala zawiyah, dan sekalian makam aulia2 habis dibakarnya dan beberapa2 makam yang tinggi habis diratakannya, dan sekalian makam raja2 habis dibinasakannya diratakannya.
Demikianlah diperbinasakan di atas Agama Islam hingga sampai kepada tarikh surat ini kepada dua puluh lima tahun (25) lamanya tiada berhenti2 dengan perang. Tambah lagi sekarang ini diperanginya kita dengan peluru hujan tiada ada di dalam hadat (adat/kebiasaan) sekali kali. 
Dengan sebab hal ini hamba merafa'kan sembah ke hadapan Hadarat Sri Paduka Tuan hamba yang maha mulia daripada asalnya yang telah jadi demikian ini sebab seorang Hindu yang sudah masuk Islam namanya Panglima Tibang maka mereka itu telah dipercaya oleh ayahanda hamba yang bernama Sultan Mahmud Syah maka Hindu itulah membuat sepucuk surat kepada Hulanda diperbuatnya dengan nama ayahanda hamba itu Sultan Mahmud Syah serta diambil cap dengan tiada diketahui oleh saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah maka Hindu itu pun keluarlah dari Aceh pergi ke Negeri Riau mendapatkan wakil Hulanda yang di situ lalu pergi ke Betawi kepada gubernur jendral yang besar daripada Raja Hulanda.

Maka dengan hal itu apabila Gubernur Jenderal mendapatkan surat yang ada dengan cap mohor ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah itu percayalah Gubernur Jenderal maka disuruhilah seorang wakilnya serta dengan berapa bacik (nakhoda--MZ.) kapal perang pergi di Aceh maka apabila sampai di Aceh baciklah wakil jenderal itu ke darat berjumpalah ia dengan pegawai yang kecil2. Maka Wakil Jenderal Hulanda pun menyatakan yang Gubernur Jenderal sudah menerima surat daripada Sultan Mahmud Syah. Sekarang ini ia hendak masuk ke Negeri Aceh.
Apabila diterima oleh wazir2 yang di dalam Negeri Aceh terkejutlah dengan hal itu. Bermusyawaratlah wazir2 Aceh yang besar2 itu. Setelah putus musyawaratnya dipinta tunggu tiga tahun kepada Hulanda oleh sebab wazir2 itu tiada berani menerima Hulanda masuk ke Negeri Aceh karana saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah umurnya pada masa itu tujuh belas (17) tahun, belum lagi sempurna aqalnya. Kedua perkara, wazir2 hendak merafa'kan sembah dahulu ke hadarat yang maha mulia Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dari karana pada zaman yaitu Daulat Al-Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghaziy Salim Khan, Nenekda hamba pada zaman masa dahulu yang bernama Sultan Iskandar Muda telah mengaku menjadi khadam serta menerima karuniai daripada Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan AL-Ghaziy Salim Khan satu meriam tembak mirah panjang dua belas (12) hasta, dan nobat (gendang besar--MZ) dan satu (?) seruas (?) nafiri daripada perak, dan empat puluh empat (44) orang yang bersama2 [?] daripada Bangsa Turuki. Dan lagi kemudian daripada itu pada masa Nenekda hamba yang bernama Sultan Ibrahim Manshur Syah telah menyuruh seorang yang bernama Sayyid Muhammad Ghuts mengadap ke Hadarat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi Abdul Majid Khan. Maka mekaruniakan [pada?] oleh Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi 'Abdul Majid Khan kepada Nenekda hamba itu Sultan Ibrahim Manshur Syah suatu bintang Majidi (bintang kehormatan Sultan 'Abdul Majid Khan--MZ) serta sebilah pedang besarung emas. 
Dengan sebab itulah musyawarat wazir2 segala ada dipinta tunggu kepada Hulanda tiga (3) tahun maka permintaan itu tiada dikabulkan, kemudian lagi dipinta tunggu (tangguh) enam bulan tiada juga dikabulkan, kemudian dipinta tunggu (tangguh) tiga bulan tiada juga dikabulnya permintaan itu. Maka peranglah oleh Hulanda Negeri Aceh. Sampai tarikh surat ini, berperang bangsa Islam2 Aceh dengan bangsa kafir mal'un 'aduwullah Hulanda.

Lagi diperbuatnya macam2 di atas hamba yang tiada patut yang di dalam adat aturan di atas sekalian raja2 berperang dengan satu raja, diperbuatnya seperti seorang perempuan telah diikat dipukulnya, di atas hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah, yang tiada kuasa usahakan diwushul (dicapai) diperiksanya apa2 yang kurang yang tiada cukupnya pekakas itu peperangan, dan sekalian kuala2 jajahan hamba ditutup daripada awalnya dan sekalian saudagar2 yang ulang pergi datang berniaga barang makanan pun tiada boleh, habis ditangkap dibuangnya.
Maka dengan sebab itulah tiada boleh lepas bicara hamba mengadukan untungan hamba yang di dalam aniaya kafir Hulanda kepada Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dan kepada segala raja-raja Islam yang lain.
Dan ini tambahan lagi di dalam ini tahun makin berganda2 keras hukumnya hatta sekalian orang2 miskin mencari ikan di tepi laut pun habis ditangkap rampas dan bunuhnya. Demikianlah diperbuat zhalim di atas hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah. 
Dan bertambah lagi ini tahun dia ujani hamba dan rakyat2 hamba dengan ujan peluru dengan "engine" (mesin) hamba yang tiada kuasa. 
Maka sekarang ini berserahlah untung nasib sendiri kepada Allah dan Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan kepada Maulana Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghazi 'Abdul Hamid Khan di Istambul adanya.

Maka hamba haraplah diterima perserahan hamba ini oleh Tuan hamba yang maha mulia supaya terpeliharalah Agama Allah dan Syariat Al-Muhammadiyyah dan untungan hamba dan sekalian Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang di dalam aniaya mal'un 'aduwullah kafir Hulanda ini.
Hendaklah dengan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia di atas hamba yang dha'if, satu raja Islam dengan sekalian wazir2 Islam dan sekalian rakya2 Islam yang di dalam Negeri Aceh ini, yang telah haraplah hamba seperti langit dan bumi akan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia Khalifatullah fil Ardh Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid Khan di atas hamba sekalian yang dha'if yang di dalam 'azaban syadidan ("siksa yang pedih") adanya. Wassalam, khitam. Tammatil Kalam bil khairi Ajma'in. Amin Allahumma Amin.
Tersurat di dalam Negeri Aceh Darussalam kepada 25 bulan Muharram kepada sanah 1315 (H)(Musafir zaman)


Rabu, 15 Juli 2015

SURAT SULTAN MANSYURSYAH KEPADA SULTAN ABDUL MAJID DITURKY


Aceh Sultan Manshur Syah--rahimahullah
"Apabila bangkit perang orang Belanda itu maka segala orang Islam pun bangkitlah melawan dia lagi memukul dia tiap-tiap negeri yang telah tersebut itu karena segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap-tiap negeri semuhanya menanti titah daripada patik di Negeri Aceh."--Sultan Manshur Syah.
Salam ke atas Duli Hadarat Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul 'Alam Syah--semoga rahmat dan ampunan Allah tercurahkan kepada mereka sekalian.
Inilah teks naskah surat Sultan Manshur Syah bertarikh tahun 1265 H dalam bahasa Jawi ditujukan kepada Sultan Abdul Majid Khan di Istambul. Saya tampilkan tanpa komentar supaya dapat dicermati sendiri oleh para pembacanya karena inilah sejarah bangsa ini, Saudara-saudara!


Aceh Sultan Manshur Syah--rahimahullah
"Apabila bangkit perang orang Belanda itu maka segala orang Islam pun bangkitlah melawan dia lagi memukul dia tiap-tiap negeri yang telah tersebut itu karena segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap-tiap negeri semuhanya menanti titah daripada patik di Negeri Aceh."--Sultan Manshur Syah.
Salam ke atas Duli Hadarat Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul 'Alam Syah--semoga rahmat dan ampunan Allah tercurahkan kepada mereka sekalian.
Inilah teks naskah surat Sultan Manshur Syah bertarikh tahun 1265 H dalam bahasa Jawi ditujukan kepada Sultan Abdul Majid Khan di Istambul. Saya tampilkan tanpa komentar supaya dapat dicermati sendiri oleh para pembacanya karena inilah sejarah bangsa ini, Saudara-saudara!
Terima kasih kepada Dr. Annabel Gallop dan kawan-kawannya yang telah mempublikasi naskah surat ini dalam tulisan: “Islam, Trade and Politics Across The Indian Ocean”, seraya sangat mengharapkan publikasi dokumen-dokumen yang lain menyangkut tanah negeri ini.
[1] بسم الله الرحمن الرحيم
[2] الحمد لله رب العالمين والعاقبة للمتقين والصلاة والسلام على سيدنا محمد سيد الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد
Adapun kemudian daripada itu maka inilah waraqah ikhlash
[3] wa tuhfatul ajnas yang termaktub dalamnya dengan beberapa sembah salam ta’zhim dan takrim yang keluar daripada qalbu yang nurani dan fu’ad yang haqiqi dan sir yang khafi dan rahsia yang terbunyi (?) yaitu ialah yang datang 
[4] daripada pihak hamba anak amas (emas?) yang hina dina lagi fana tiada menaruh daya dan upaya serta dengan tiada mengetahui adat dan majlis (?) lagi dha’if dengan miskin yaitu yang bernama Sultan Manshur Syah
[5] ibnul Marhum Sultan Jauharul ‘Alam Syah yang ada hayyah duduk dengan (duka percintaan dan kesakitan?) yaitu yang memerintahkan hukum dan adat dalam daerah Negeri Aceh Bandar Darussalam maka barang disampaikan Allah Subhanahu
[6] wa Ta’ala datang mendapatkan ke bawah qadam tapak kawuh Duli Hadarat Penghulu hamba yang maha mulia lagi a’la dan fadhilah yang telah dikaruniai daripada Tuhan Yang Bernama Rabbukumul A’la, yaitu Saiduna wa Maulana Paduka Seri Sultan
[7] Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan Johan Berdaulat Zhillullah fil ‘Alam yang tahta kerajaan daripada emas qudrati yang sepuluh mutu lagi yang bertatahkan ratna mutu manikam daripada intan dikarang dan
[8] zabarjad yang telah terseradi dalam daerah Negeri Rum Qustantin Bandar Darul Ma’mur wal Masyhuriyah yang memerintahkan amar bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar pada sekalian alam dunia laut dan daerah dengan sifat adilnya serta
[9] gagah dan kuat pada memegang syari’at Muhammad ahlussunah wal jama’ah dalam negeri Makkah Al-Musyarrafah dan Madinah Al-Munawwarah dan negeri yang lain jua adanya maka tiadalah patik perpanjangkan kalam melainkan seqadar patik mengadukan
[10] hal dengan ihwal yang maksud sahaja. Amin. Syahdan, patik beri ma’lum lah ke bawah qadam tapak kawuh Duli Hadarat adapun karena tentangan patik yang di Negeri Aceh sungguhlah anak amas Duli Hadarat
[11] daripada zaman dahulu hingga zaman sekarang tiadalah menaruh lupa dan lalai akan duli hadarat daripada tiap-tiap kutika dan masa pada siang dan malam, pada pagi dan petang. Adapun karena hal ihwal surat ini patik mengirimkan 
[12] ke bawah Duli dikarena tatkala dahulu Negeri Jawi sekaliannya orang Muslimin dan kuatlah dengan berbuat ibadah dan tetaplah agama Islam dan sambunglah kehidupan segala orang faqir dan miskin dan lainnya dan
[13] dan sekarang sudah binasa negeri karena sudah masuk orang kafir Belanda pada satu Pulau Jawa dan serta dengan Pulau Bugis dan Pulau Bali serta dengan Pulau Borneo dan serta dengan Pulau Aceh yang setengah
[14] sudahlah diambil oleh orang Belanda dan serta dengan Raja Minangkabau sudah ditangkapnya dan sudahlah dibawak ke negeri dianya pada tarikh sanah 1253 dan sampailah surat kepada patik ke Negeri Aceh daripada segala ulama
[15] dan orang-orang besar Minangkabau dia minta tolong bantu kepada patik, dan patik berfikirlah dengan segala hulubalang dan orang besar-besar yang dalam Negeri Aceh pasal hal itu maka berkatalah segala hulubalang kepada patik, adapun
[16] sekarang ini karena kita hendak berlawanan perang dengan orang Belanda karena Belanda itu ada lah kapal perang, karena ... (?) kurang daripadanya, dan lagi pula kita ini di bawah perintah Sultan Rum sekarang, barang-barang hal pekerjaan
[17] wajiblah Tuanku kirimkan suatu surat kepada penghulu kita Sultan Rum dan hendaklah kita minta tolong bantu padanya lagi serta dengan kita minta kapal perang barang berapa yang memadai serta laskar dalamnya orang Turki
[18] sudah itu maka patik kirimlah suatu surat kepada Duli Hadarat pada tarikh sanah 1253 dan adalah khabar dalam surat itu patik mengadukan sekalian hal ihwal orang Belanda yang dalam Negeri Jawi dan hal ihwal orang Muslim
[19] dan yang membawak surat itu orang Marikan namanya Kapitan Tun (Ton?) serta dengan persembahan tanda yaqin patik akan Duli Hadarat: lada putih adalah lima ribu (5000) rathl (ratl: 407, 695 g) dan kemenyan putih adalah tiga ribu (3000) rathl dan gaharu
[20] adalah dua ribu (2000) rathl dan kapur adalah dua ratus (200) rathl dan lainnya pasal kain-kain adalah dua tiga helai karena patik orang miskin, dan patik nantilah datang perintah dan 
[21] wasithah (perantara) dari Duli Hadarat hingga sampai empat tahun lamanya. Sudah itu maka patik kirim pula suatu lagi surat kepada Duli Hadarat pada tarikh sanah 1257 dan adalah khabar dalamnya seperti yang telah tersebut dahulu itu jua. Patik kirimkan pada orang Prancis
[22] surat itu, namanya Kapitan Batkin (?) dan serta dengan persembahan tanda yaqin akan Duli Hadarat: lada putih empat ribu (4000) rathl dan kemenyan putih dua ribu lima ratus (2500) rathl dan gaharu adalah seribu tujuh ratus lima puluh (1750)
[23] rathl dan kapur adalah seratus lima puluh (150) rathl dan lainnya pasal kain-kain adalah dua tiga helai karena patik orang miskin dan patik nantilah perintah dan wasithah daripada Duli Hadarat hingga sampai empat tahun
[24] lamanya. Sudah itu maka patik kirim pula suatu lagi surat kepada Duli Hadarat pada tarikh sanah 1261 dan adalah khabar dalamnya seperti yang telah tersebut dahulu itu jua. Akan yang membawak surat itu orang Francis, namanya
[25] Kapitan Istilong (?) dan serta dengan persembahan tanda yaqin akan Duli Hadarat: lada putih adalah tiga ribu lima ratus (3500) rathl dan kemenyan putih adalah dua ribu (2000) rathl dan gaharu adalah seribu lima ratus (1500) rathl dan kapur adalah seratus (100) 
[26] rathl dan lainnya pasal kain-kain Aceh adalah dua tiga helai karena patik orang miskin lagi hina, dan patik nantilah pula datang perintah dan wasithah daripada Duli Hadarat hingga empat tahun lamanya maka tiadalah datang perintah 
[27] dan wasithah dari Duli Hadarat. Sudah itu maka patik berfikirlah dengan segala hulubalang dan segala orang yang besar-besar, bagaimanalah kita ini tiada datang perintah dan wasithah dari Penghulu kita di Negeri Rum. Adapun karena Negeri Rum terlalu
[28] sangat jauh barangkali tiada sampai surat yang kita kirim ke bawah Duli Hadarat Syah Alam. Sekarang, baiklah kita kirim satu orang Aceh ke Negeri Rum, kita suruh tanyakan surat yang dahulu ada sampai ke bahwa duli atau tiada?
[29] maka ialah pada tarikh sanah 1265 pada lima belas hari bulan Rabi’ul Awal pada hari Khamis pada dewasa itulah patik berbuat surat sekeping kertas ini tawakkal yaqin patik ke bawah lapik qadam tapak kawuh Duli Hadarat. 
[30] Amma Ba’du. Ampun Tuanku sembah ampun, ampun beribu kali ampun, patik anak amas Tuanku, Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul ‘Alam Syah memohon ampun ke bawah qadam Duli Hadarat yang maha mulia,
[31] yaitu Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan. Syahdan, patik beri maklumlah ke bawah qadam Duli Hadarat, adapun karena patik sekarang ini sangatlah masygul (?) dan serta kesukaran karena 
[32] sebab Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau sudahlah dihukumkan oleh orang Belanda, dan sangatlah susah segala orang yang Muslim, lagi sangatlah
[33] kekurangan daripada agama Islam karena sebab keras orang kafir Belanda itu. Dan muwafaqah lah segala orang yang besar-besar segala rakyatnya yang di dalam negeri, semuhanya itu hendak melawan dia lagi hendak memukul dia maka dikirimlah 
[34] surat daripada tiap-tiap orang yang besar-besar dalam negeri semuhanya itu kapada patik ke Negeri Aceh karena Negeri Aceh yang dalam pegangan perintah patik belumlah dapat oleh Belanda segala negeri dan sekalian bandar. Dan sekarang 
[35] orang Belanda hendak memeranglah kepada patik ke Negeri Aceh dan sudahlah siapa dianya, dan patik pun ‘ala kulli hal siaplah akan melawan dia, dan segala hulubalang dan orang yang besar-besar pada negeri yang sudah dihukum oleh
[36] Belanda sudah sampai surat kepada patik ke Negeri Aceh dan muwafaqah lah dianya dengan patik, lagi satu batin dengan patik semuhanya orang itu, apabila bangkit perang orang Belanda itu maka segala orang Islam pun bangkitlah 
[37] melawan dia lagi memukul dia tiap-tiap negeri yang telah tersebut itu karena segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap-tiap negeri semuhanya menanti titah daripada patik di Negeri Aceh dan tentangan patik pun
[38] menanti titah dan wasithah daripada Duli Hadarat yang di negeri Rum. Ampun Tuanku beribu kali ampun, kurnia sedekah Duli Hadarat kepada patik ke Negeri Aceh kapal perang alkadar dua belas serta laskar dalamnya barang
[39] berapa yang memadai dalam kapal itu dan tentangan belanja laskar dan belanja kapal sekaliannya di atas tanggungan patik. Jika sudah sampai ke Negeri Aceh adalah dengan ikhtiar patik semuhanya itu, dan hendaklah dengan izin
[40] Duli Hadarat kepada patik dan lainnya hendak memerang kafir Belanda itu pada tiap-tiap negeri dan tiap-tiap bandar. Dan hendaklah sedekah Duli Hadarat surat tanda alamah Duli Hadarat kepada kami semuhanya yang di dalam Negeri Jawi
[41] ilaihim Ajma’in supaya suka kami mati syahid. Itulah ihwalnya dan yang lain tiadalah patik sebutkan dalam waraqah ini melainkan Duli Hadarat periksa pada orang yang membawak surat ini karena dianya hulubalang
[42] patik lagi nasab dengan patik, namanya Muhammad Ghauts bin ‘Abdurrahim karena dianya amanah patik lagi badal ganti patik berjalan menjunjung ke bawah qadam Duli Hadarat ke Negeri Rum dan apa-apa khabarnya sungguhlah khabar
[43] patik dan pekerjaannya pun sungguh pekerjaan patik dan hendaklah dengan sekira-kira titah Duli Hadarat akan Muhammad Ghauts kembali ke Negeri Jawi dan tiadalah tanda hayyah patik melainkan ampun beribu-ribu kali ampun. Tamma Kalam sanah 1265.(musafir zaman via mapesa)

Rabu, 27 Mei 2015

CUMBOK PENGKHIANAT BANGSA?


Perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Pidie ini, timbul karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945. Seperti disebut James T. Siegel, antropolog dari University of California, dalam bukunya The Rope of God.ketika Jepang masuk pada 1942, polarisasi lama mulai menampakkan wujud yang pukul rata: para uleebalang di satu pihak, rakyat bersama ulama di pihak lain. Lalu, 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan menajamkan polarisasi itu.
Sang kabar tak cepat sampai, tapi segenap ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)-dipimpin Teungku Daud Beureueh-lalu menyambutnya gegap-gempita, langsung menyatakan sumpah setianya. Namun, kubu uleebalang tak sejelas itu. Ada Teuku Nyak Arief, Teuku Hamid Azwar, dan Teuku Ahmad Jeunib yang mendukung Republik. Tapi ada Teuku Daud Cumbok yang lebih merindukan kembali Kedaulatan Kerajaan Aceh seperti dahulu kala.Cumbok menolak dan Tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.Pihak uleebalang juga mengangkat T. Daud Cumbok selaku pucuk pimpinan.
pertikaian faham diantara golongan Ulama dan Ulebalang pada awalnya hanya terbatas pada sejumlah Uleubalang dan Ulama2 yang terkemuka;
pun terbatas hanya didaerah Pidie. Akan tetapi fihak Ulama dapat memperbesar jumlah pengikutnya, sehingga pada suatu sa'at fihak ini meliputi sebagian yang terbesar dari rakyat umum dan mengenai seluruh daerah aceh

perjuangan mereka adalah menuju kepada „Pembasmian pengkhianat Agama dan Bangsa". Mereka menyiarkan kabar, bahwa fihak cumbok (fihak Uleubalang) adalah kaki-tangan Belanda yang berusaha menumbangkan Republik;
bahwa fihak cumbok senantiasa berhubungan rapat dengan Belanda di Sabang ataupun dikapal2 Selam yang bersimpang-siur dipantei Aceh. Seterusnya, bahwa fihak cumbok tidak berTuhan, menginjak-injak dan merobek
Quran dan melarang rakyat bersembahyang. Segalanya
ini disebarkan oleh pengikut mereka diantara rakjat bodoh di-kampung2

slogan: „membasmi pengkhianat Agama dan Bangsa", mendapat sambutan yang hangat dari rakjat umum, istimewa kalangan rendahan. Siapa yang mula2
masih sangsi2 dalam memilih kawan, ataupun masih berpendirian
neutral dalam conflict yang tidak menyinggung kedudukannya,
lambat laun memilih fihak Ulama. Benar atau tidaknya tuduhan2 jang ditujukan oleh partai Ulama atas partai uleubalang itu, bagi mereka bukan menjadi soal

tuduhan2 mereka terhadap lawannya terbukti dengan terdapatnya sejumlah uang Belanda serta bendera Belanda didalam simpanan 
cumbok'. Mereka menerangkan bahwa bendera dan uang kedapatan sewaktu mereka memasuki markas Uleubalang di Lam Lo dan melakukan pemeriksaan dirumah Teuku Daud cumbok

tuduhan terhadap Uleubalang, sebagai „pengkhianat Agama dan Bangsa" adalah sekali-kali tidak berdasar atas kenyataan
Seorang, bernama Amir Husin al Mudjahid, berpendapat, bahwa pemerintahan belum sempurna, krn masih banyak„sisa feodal" yang harus disingkirkan
maka dikumpulkannya sejumlah besar orang2 yang „berdarah panas" dalam
suatu organisasi yang dinamakannya „T.P.R." (Tentara Perdjuangan Rakyat). Ia memulai gerakannya dari tempat tinggalnya di Idi. Dari tempat jang tersebut
ia menuju kearah Utara dengan melalui kota2 dipantai Timur Aceh, Lho Sukon, Lho Seumawe, Bireuen, Samalanga, Meuredu, Sigli, dan seterusnya sampai keibu kota keresidenan Aceh, Kotaradja.

Algodjo2 yang ikut serta dalam rombongan, menjalankan peranan yang tertentu. Bukan sedikit djiwa manusia yang tidak bersalah, selain oleh karena ia kebetulan terhitung dalam kaum yang disebut mereka „feodal", menjadi
korban. tdk sedikit pula mereka ditangkap dan kemudian diasingkan disuatu tempat

gerombolan ini memulai melakukan penangkapan; antara lain juga atas beberapa pembesar civil dan militer, sebagai T.Nja' Arif yang pada masa itu pimpinan tentara sebagai General Major dan T. Husin Trumon, Assistent Resident Aceh Besar. jabatan2 yang, sebagai akibat penangkapan2 pegawai
Negeri, jadi lowong, diisi oleh anggota2 golongan mereka sendiri.

gerombolan yang tersebut, setelah diperkuat oleh Pesindo dibawah pimpinan seorang yang bernama Nja' Neh, melanjutkan gerakan ke Aceh Barat, dimana
juga, sebagai di Timur dan Utara, setiap orang yang mereka anggap termasuk pada golongan „feodal" dan oleh karena itu „berbahaya", ditangkap dan kemudian disingkirkan

T. Nja' Arif yang sedjak mudanya, semasa Pemerintah Belanda,terkenal sebagai nasionalis sejati, ditahan dan disingkirkan kesuatu tempat, atas alasan ," berbahaya untuk keselamatan Negara, oleh karena ia berhubungan dengan Belanda
Gerakan Husin al Mudjahid dapat dianggap sebagai lanjutan peristiwa cumbok.fihak markas rakyat Umum dan pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat mengenai hal hal yang berkaitan Dengan Persisitwa Cumboktersebut
ANCIEN REGIEM
Ditumbangkan di Aceh
Pada mulanya Markas Besar Rakyat Umum bermaksud akan membendung sedapat dapatnya arus Revolusi Desember itu dalam daerah Kabupaten Pidie saja dan sekali-kali tiada bermaksud akan mengadakan gerakan sapu bersih terhadap Uleebalang-uleebalang seluruh Aceh, walaupun bukti-bukti sudah nyata bahwa hampir semua mereka turut campur
tangan dalam Markas Uleebalang dan gerakannya. Hal turut campurnya hampir
semua Uleebalang, lebih jelas lagi diketahui oleh Markas Besar Rakyat Umum dari pemeriksaan dan pengakuan-pengakuan pengkhianat sendiri yang sudah tertawan.

Walaupun demikian Markas Besar Rakyat Umum masih mengharapkan keinsyafan mereka, moga moga kejadian yang telah terjadi di Kabupaten Pidie akan dapat memberikan pelajaran pada kaum Uleebalang di Kabupaten lain.
Tetapi ternyata anggapan dan harapan-harapan ini salah sekali, sebab Uleebalang uleebalang yang ada di Kabupaten-kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Tengah, dan Aceh Barat dengan diam-diam masih meneruskan gerakan mereka dan pada bulan Februari 1946 Uleebalang-uleebalang di Aceh Utara dengan berpusat di Lho'Seumawe dan di Aceh Timur dengan berpusat di Langsa mulai bertindak melakukan
tindakan-tindakan pembalasan terhadap gerakan kemerdekaan atas nama mengambil bela dari kawan-kawan mereka yang sudah dibasmi Rakyat di Kabupaten Pidie.

Tindakan repressaile dari mereka ini telah menyebabkan terjadinya insiden-insiden di Aceh Utara dan di Aceh Timur. Perbuatan-perbuatan mereka ini telah menyebabkan Rakyat bergerak pula menangkapi hampir seluruh mereka ini di seluruh Aceh. Sedangkan sebagian dari mereka diinternir
ke Takengen dan yang tiada bersalah dibebaskan.

Dengan demikian ancien regiem sudah ditumbangkan seluruhnya dari daerah Aceh dan dibangunkanlah suatu Pemerintahan baru oleh Rakyat, dari Rakyat dan untuk Rakyat.
Bekas daerah kekuasaan Uleebalang atau yang disebut, dalam zaman Belanda
"Landschap" ditukar namanya dengan Negeri dan dilakukan pemilihan Dewan Pemerintahan Negeri yang terdiri dari lima orang (seorang Ketua sebagai Kepala Negeri dan 4 orang Anggota).

Di tiap-tiap bekas Onderafdeeling dahulu, diadakan Komite Nasional
Wilayah dan dipilih seorang Kepala Wilayah, (Wedana). Seterusnya Afdeeling dahulu diubah menjadi Kabupaten dengan Komite Nasional Kabupatennya dan dipilih seorang Bupati.
Uleebalang-uleebalang di Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan dan lain-lain yang masih hidup yang ditangkap oleh Rakyat atau yang sadar atas perubahan masa, terus menyerahkan kembali kekuasaan pemerintahan yang mereka pegang di tiap-tiap Landschapnya kepada Rakyat yang diwakili oleh Komite Nasional di tiap-tiap wilayah.

Mereka berjanji pula akan mengembalikan harta-harta Rakyat yang sudah mereka rampas; demikian juga harta-harta dari Baitul Mal dan harta Negara yang mereka kuasai dengan jalan tidak syah di masa yang sudah-sudah
(Disalin dari buku Revolusi Desember '45 di Aceh, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Aceh.)
gerakan Husin al Mudjahid atau dalam istilah mereka sendiri, adalah „membasmi sisa-sisa feodal jang masih ada." Dengan penjelesaian gerakan Husin Al Mujahid ini, dapat dikatakan, pemerintahan daerah Aceh seluruhnya berada ditangan mereka, golongan PUSA..pimpinan Teungku Daud Beureueh
pada tanggal 12 Januari 1946, sesuai dengan ultimatum yang diberikan pihak rakyat bersama TKR dan PUSA melakukan serangan umum ke Lam Meulo selaku benteng pertahanan terkuat pihak uleebalang.
Barisan rakyat Pusa baru berhasil memasuki Kota Lam Meulo pada tanggal 13 Januari 1946.

TEuku Daud Cumbok dan staf-stafnya berhasil melarikan diri. Ia baru berhasil ditangkap pada tanggal 16 Januari 1946 di atas Gunung Seulawah Aagam oleh barisan rakyat dari Seulimum pimpinan Tgk. Ahmad Abdullah.
Sementara T. Muda Dalam, uleebalang Bambi dan Unoe yang terlibat dalam pemberontakan tersebut melarikan diri ke rumah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba untuk memohon perlindungan. Akan tetapi oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba ia diserahkan kepada rakyat.
Ulama dibawah PUSA dan Pesindo berhasil menguasai Aceh, dan membunuh banyak Uleebalang, dan mengambil alih harta dan tanah mereka,diantara nya adalah;
.Teuku raja Sabi putra ule balang keureuto (yang juga putra satu satu nya pahlawan nasional Cut nyak mutia.)
Teuku Muhammad Daud Ulee balang lam meulo.
Teuku laksamana Umar ulee balang njong
Teuku Pocut Umar Keumangan ule balang keumangan
Teuku Muda Dalam ule balang bambi dan Unoe
Teuku Muhammad Ali ule balang samaindra
Teuku Muhammad Ali ulee balang ie leubeu
Teuku Abdul Hamid ule balang gigieng
Teuku Cut Hasan dari keluarga Ulebalang meuraxa
Teuku Raja Said ule balang Cunda
Teuku banta ahmada dari ulebalang Glumpang payong
Teuku HUsen ule balang simpang Ulim
Teuku Pakeh sulaiman dari ulebalang Pidie,Kale dan laweung
Teuku Muhammad dari keumangan
TEuku Hasan dari keumala(adik ipar teuku muhammad panglima polem yang juga anak dari teuku Daaud cumbok.
TEuku chik meureudu dari ulebalang meureudu
Teuku Raja iskandar dari manggeng
Teuku M.Nur dari ule balang Kr.mane (putra teuku lotan)
Teuku Mahmud adik dari teuku Daud Cumbok.

Teuku Daud Cumbok sendiri memilih cara maut yang sangat mengangum kan.Ia berbaring di liang lahat yang sdh disediakan,mengucap dua kalimah syahdat dan terakhir memberi perintah daengan satu kata, "Tembak".(HT.jalan panjang menuju damai murizal hamzah)..
Sang patriot yang menolak mengakui kemardekaan indonesia ini merenggang nya bersama putra dan adik nya, mareka di kuburkan dalam satu liang.berakhir pula kekuasaan ulee balang yg sdh turun temurun dan digantikan oleh kaum bersorban dengan tertangkap nya Dud Cumbok dan pengikut nya pada tanggal 6 january 1946.pada tanggal 13 january 1946 kota lam meulo di ganti nama dengan nama Kota bakti oleh TM Amin yang memimpin penumpasan ulee balang yang mareka nama kan pengkhianat bangsa indonesia.
Harta Ule balang disita untuk modal perjuang menyokong indonesia,untuk selanjut nya diserahkan kepada majelis penimbang pimpinan Tengku Hasballah Seulimum.Teuku Daud Cumbok bisa di katakan Beliau adalah tokoh pemberontak pertama yang tdk mengingin kanAceh bergabung dengan indonesia mardeka.
ketika tokoh2 lain nya sedang eforia dan menjerumuskan diri ke dalam bingkai Ibu pertiwi.pilihan kaum Pusa memilih berdiri bersama indonesia penyesalan bagi mareka,tak lama setelah kekuasaan mareka di bonsai oleh indonesia,mareka pun menyatakan kekecewaannya dengan mengangkat senjata.Daud Cumbok seorang Nasionalis Aceh sejati sebelum Hasan tiro membangkitkan nasionalisme Aceh melalui Gerakan kemerdekaan yang beliau usung.

Minggu, 03 Mei 2015

RAJA BUJANG TRUMON


Raja Bujang adalah penguasa Trumon yang paling terkenal. Baginda dinilai Ritter sebagai seorang penguasa pribumi yang mempunyai otak dan lihai bermain politik, maka telah melakukanmanuver-manuver politik dan ekonomi (baik dengan Aceh, Belanda dan pedagang asing lainnya, seperti orang Inggeris dan orang Cina) dalam mengumpul uang untuk melanggengkan kuasanya. Baginda juga memiliki kapal untuk membawa lada dari Trumon ke Batavia, Pulau Penang dan Bengali dan balik dengan barang-barang impor (Ritter 1839: 11; Stibbe, Wintgens &Uhlenbeck 1919: 441).
Hubungan antara Sultan Aceh dengan Trumon sepanjang pemerintahanRaja Bujang mulai kurang mesra. Raja Bujang ingin lebih bebas dari hegemonikuasa Kutaraja yang sudah berabad-abad menaungi raja-raja kecil di pantai barat Aceh. Antara sebab utama rosaknya hubungan itu ialah perampasan kapal Anna milik Raja Bujang, disebut
Bagianna oleh orang Trumon sendiri, yang penuh dengan muatan yang dilakukan wakil Sultan Aceh dalam pelayarannya dari Bengali ke Trumon. Selepas itu, kapal itu dipakai Sultan Aceh untuk menyerang kapal-kapal dagang Eropah yang lalu di perairannya. Antara yang menjadi mangsa ialah kapal Inggeris.

Nasib kapal Bagianna yang dirampas penguasa Aceh itu dilaporkan dalam
the Asiatic Journal 
(jilid 24, bagian 2 New Series/September-December 1837, halaman 169 di bawah rubrik “DutchIndia”) yang berbunyi:
The notorious Achinese piratical statebark Bagianna which had recently been committingserious aggressions against the British flag, under the directions of the Rajah Moodah[Raja Muda; penulis] of Acheen, has, we learn, been captured by the Dutch men of war,which had been sent to Acheen to demand the restitution of the garda-costa schooner 
Dolphin, and the surrender of her crew (by whom she had been cut off from Padangroads, with treasure on board, and taken into Acheen), and taken away, in retaliation of the conduct of the rajah, in harbouring the crew of the
Dolphin and refusing to restorethe vessel. The gunner of the
Bagianna
was dismissed by the Dutch, and having madehis way to Penang, related the circumstance of the capture of the craf
W. L. Ritter (1839:9-13)

Juga melaporkan Raja Bujang telah memagariistananya dengan benteng yang tingginya 8-10 kaki, selain dikelilingi parit sertadilengkapi baluarti (
bastion ), besi runcing dan kanon untuk melindungi diri
terakhir masa kekuasaanRaja Bujang (1814-1835)

putera mahkota Trumon, Nyak Bata (beberapa sumber menuliskannya Nyak Batak), yang setelah kemangkatan ayahnya pada tahun 1835 langsung naik nobat dalam usia 12 atau 13 tahun. Setelah naik takhta, Nyak Bata bergela
Raja Muda, (“Radja Moeda van Troemoen” ) Oleh kerana masih muda, baginda diwakili pamannya yang menjadiraja di Singkel, Muhammad Arif (RajaAmaris) dengan dibantu lima orang wali, iaitu Teuku Haji Kotta, Teuku Moramdari Daing, Teuku Molaban, Teuku Haji Matinda, dan Teuku Lalumpa (Ritter 1839: 11; Von Rosenberg 1885).

Nyak Bata adalah putera Raja Bujang dari isterinya seorang wanita Indo
yang dipanggil orang Trumon sebagai Si Nonna (Si Nona). Ayah Si Nonna adalah orang Aceh dan ibunya wanita Eropah, namanya Kaatje Stoolte, anak seorang doktor di Padang (Ritter 1839: 11-12; Veth 1873: 94). Menurut Hoffman(1873: 7) Kaatje Stolte adalah “keturunan seorang wanita Kristen, anak seorang doktor yang pernah bekerja untuk VOC di Padang”. Kaatje dan pemuda Aceh yang dicintainya telah lari dari Padang semasa kota itu diserang bajak laut LeMême asal Perancis pada tahun 1793 (Netscher 1881: 112-22).

Pasangan itu menaiki sebuah kapal yang kebetulan sedang berlabuh di pelabuhan Muara.Kaatje tidak mahu kembali ke Padang. Pasangan yang kemabukan cinta itu akhirnya berkawin dengan Kaatje setelah memeluk Islam dan kemudian sampai di Trumon.Di Padang, kedengaran khabar angin yang mengatakan gadis Indo Aceh belanda itu telah diculik orang pribumi dan dijadikan budak.
Tidak lama kemudian, lahirlahseorang bayi Indo di Trumon, anak dari pasangan Kaatje Stolte dan pemuda Aceh itu, yang menjadi gadis yang sangat luar biasa cantiknya dan dipanggil Si Nonna oleh penduduk Trumon.
Gadis jelita itu dipersunting oleh Raja Bujang, penguasa Trumon. Dari perkahwinan itu, lahirlah putera mahkota Nyak Bata(Amran 1981: 346-50). Menurut Ritter (1839) Kaatje Stolte, suaminya dan anak perempuannya Si Nonna ingin naik haji ke Mekah. Namun, mereka terpaksa berhenti di Trumon beberapa lama dalam perjalanan menuju ke Tanah Suci.Ketika itulah Raja Bujang melamar Si Nonna yang cantik itu untuk dijadikan permaisurinya. Akibatnya, mereka tidak meneruskan perjalanan ke Mekah. Padatahun 1837, Kaatje Stoolte sudah berumur kira-kira 70 tahun. Setelah kematiansuami, ia kadang-kadang tinggal di Trumon dan di Bulu Sama, kedua-duawilayah itu di bawah kekuasaan keluarga Raja Trumon (Veth 1837: 172
Semasa pemerintahan Raja Muda alias Nyak Bata, Kaatje Stolte telah memainkan pengaruhnya di istana Trumon untuk membuka jalan kepada orang Belanda untuk menguasai negeri itu (Kielstra 1888: 1194). Sebelum itu, semasa pemerintahan ayahnya, Raja Bujang, orang Belanda sudah berusaha memasukiTrumon: pada Oktober dan November 1830, lima tahun setelah penyerahan Bengkulu oleh Inggris kepada Belanda, H. MacGillavry, Residen Belanda diPadang mengunjungi Trumon.
Pada 25 November 1830, sudah ditandatangai perjanjian dengan Raja Bujang (Lange 1852). Walaupun perjanjian itu tidak begitu efektif, tetapi pengaruh sultan Aceh tetap kuat dalam masyarakat
Setelah Raja Bujang mangkat dan digantikan Nyak Bata, Trumon berhasil dikuasai Belanda. Satu perjanjian yang mengandungi enam pasal telah disodorkan Jenderal AV. Michiels (Gubernur Sumatra’s Westkust pada waktuitu yang berkedudukan di Padang) kepada Raja Muda (Kielstra 1888: 1199).

Penguasa Trumon yang muda itu tidak berkuasa untuk menolaknya. Sejak itu,ia memperoleh bayaran tahunan sebesar 2400 Gulden dari Belanda dengan imbalan kegiatan perdagangan kerajaannya harus berada di bawah kuasa Belanda.(komplek makam raja raja trumon,courtesy youtube

Minggu, 15 Maret 2015

KOELI JAWA DAN MARSOSE


Untuk membantu serangan ke Aceh, ratusan pekerja paksa dikirim dari Jawa. Belanda menyebutnya beer atau beeren. Orang Aceh menyebutnya Simeuranté. Orang-orang yang dirantai.
Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. 
Gubernur Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang 
hingga sekarang ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk 
mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada 
Perang Aceh mendapat hukum-an tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah. Besa r sekali kebutuhan 
pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan harus 
dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana kerja paksa Jawa tid ak dapat terus-menerus mengantar penyediaa yang di-serap oleh Aceh.

rang hukuman dari Pulau Jawa yang dibawa ke Aceh, tidak hanya menderita karena kerja paksa dan kelaparan. Sebagian ada yang meninggal karena dicambuk karena ketahuan mencuri.
H C Zentgraaff, manggambarkan penderitaan pekerja paksa tersebut, yang sehari-hari dipanggil dengan nama binatang; si babi lanang. Sebagian besar pekerja paksa pada kelompok ini mati secara mengenaskan di rimba-rimba Aceh. Mayat mereka pun dibiarkan tergeletak begitu saja di jurang-jurang bebatuan, menjadi santapan binatang buas.
Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecah-kan semua rekor. Kekuatan 
pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, 
lima ribu pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai 
tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan t iga ribu narapidana, dan lima 
ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang atau 
Jawa.

Menurut Zentgraaff mereka yang dicambuk itu biasanya para beer yang kedapatan mencuri makanan atau barang-barang milik Belanda. Kadang-kadang mereka juga mencuri senjata untuk dijual kepada pejuang Aceh. “Penipu-penipu yang tak dapat dipercaya ini terdapat pula dalam pasukan, serta tidak dapat meninggalkan kebiasaan merampok dan mencuri,” lanjutnya.
Diantara beer-beer itu terdapat pula cukup banyak orang –orang pemberani, yang seringkali mendapat perintah–perintah berbahaya. Saat Belanda menerapkan taktik perbentengan terpusat untuk melawan pejuang Aceh, saban pagi para pekerja paksa itu menyusuri rel trem untuk memeriksa ganjalan-ganjalan rel dan memperbaiki sekrup yang longgar.
Hal itu harus mereka lakukan karena pasukan Aceh pernah sering meletakkan bahan peladak di rel trem, yang bila tersentuh roda tren akan meledak dan menyebabkan kematian di pihak Belanda. Bahan-bahan peledak itu didapatkan pejuang Aceh dari serdadu-serdadu Eropa bayaran Belanda yang menyebrang ke pejuang Aceh.
Untuk membersihkan ranjau-ranjau dan bahan peledak di rel trem, setiap malam para beer harus menjaga lampu yang terdapat di luar benteng pertahanan. Sering kali mereka juga harus mengantarkan surat-surat dari satu pos ke pos lainnya melalui daerah-daerah berbahaya yang dikuasi gerilyawan Aceh.
Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897 menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi; semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.
Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentara yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Heutsz lebih besar daripada kekuatan–kekuatan sebelumnya.
Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade Marsose, yang mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang terbunuh secara menyedihkan.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar Marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek (bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan rencong) sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan Marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.
Pasukan Marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Mereka pun merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan yang terjahat berasal dari pasukan Marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh penguasa kolonial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan.(Foto van een groep koelies 1874.jpg)

SUSUNAN MAJELIS MAHKAMAH RAKYAT DIMASA RATU TAJUL ALAM

.
Pada tahun 1059 H. atau 1649 M. • Ratu Tadjul Alam Safiuddin
Sjah mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif atau
Madjelis Mahkamah Rakjat jang terdiri dari 73 orang tetapi jg didalam
nja ditempatkan 16 orang wanita turut duduk dalam madjelis itu untuk
turut sama2 dengan kaum pria mengatur urusan negara guna mempertimbangkan kebidjaksanaan Sulthanah
Adapun susunan Badan Perwakilan Rakjat Parlemen Atjeh adalah;
1. Sjahil
2. Budjang Djumat Turki)
3. Ahmad Bungsu
4. Ahmad Jatim
5. Abdul Rasjid
6. Faimis Said
7. Iskandar
8. Ahmad Dewan )
9. Majur Thalib (orang Turki)
10. Si Njak Bunga (wanita)
11. Si Halifah (wanita)
12. Ahdal
13. Abdul
14. Abdul Madjid
15. Si Sanah (wanita)
16. Gudjah Hamid
17. Isja
18. Hiajat
19. Si Njak Bunga (wanita)
20. Maimunah (wanita)
21. Siti Tjahja (wanita)
22. Mahkiah (wanita)
23. Buket
24. Manan
25. Ahmad Djalii
26. Ben Muhammad
27. Si Njak Apakat
28. Gudjah Nazir (orang Turki)
29. Si Njak Puan (wanita)
30. Abdul Hamfd
31. Malik Saleh Samir
32. Chatib Muadzam
33. Imam Muadzam
34. Abdul Rahman
35. Badaja
36. Budjang Aramsjah
37. Nadisah (wanita)
58.Majur Muhammad (orang turki)
39. Dapa Ahmad Sjah.
40. Penghulu Mu'aüm
41. Seri Dewa
42. Sjahad
43. Manjak
44. Njakti Tjaja (wanita)
45. Ahmad Ratib
46. Minhan
47. Si Habibah (wanita)
48. Mustafa.
49. Si Sjadin
50. Si Radjuna
51. Si Aman Pana
52. Si Njakrih
53.zamzami
54.gudjah ruhsia(orang turki)
55.raja megat
56.abu gaseh
57. Badal Mustup
58. Umi Puan (wanita)
59. Siti Awan (wanita)
60. Umi Njak Angka (wanita)
61. Si Aman
62. Si Njak Tjampli
63. Abdul Hakim
64. Si Mawar (wanita)
65. Si Manis (wanita)
66. Abdul Madjid
67. Ibrahim Rasia
68. Abdullah.
69. Umar
70.Abdul Rahim.
71. Mahjudin
72. Harun.
73.Abdul muthalib.
diantara 73 anggota dewan perwakilan itu 9 orang memegang
fungsi wazir atau menteri duduk dalam kabinet Sulthanah jaitu:
JANG PERTAMA : 1. Si Njak Tjampli, 2. Ibrahim Rasia, 3. Abdullah,
ketiga mereka itu masuk bahagian (seksi) Paduka Tuan: JANG KEDUA-
1. Umar, 2. Abdul Rahim, 3. Mahjudin, ketiga mereka ini masuk bahagian
Sri Rama; JANG KETIGA: 1. Harun, 2. Abdul Muthalib, 3. Abdul majid.
ketiga mereka ini fungsi martabat Wazir/Menteri, sedang jang
lain 64 orang sebagai anggota dewan perwakilan Rakjat,
nama tersebut dipetik dari naskah Qanun Al Asji Darussalam jang tersimpan dalam
chazanah kitab2 di dajah Marhum Tengku tanoh Abeë.(dikutip dari buku srikandi atjeh zainuddin)