lahir di desa Lamnga mukim XXVI Aceh Besar sekitar tahun 1838 M, ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid, secara turun temurun pada zamannya menjadi Ulee Balang dari mukim daerah Bibueh (Bebas) berstatus langsung di bawah Sultan Aceh, juga terdapat kekuasaannya suatu mukim Ie Meulee Sabang dengan 6 perkampungan yang luas. Ayahnya sendiri Abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami Cut Nyak Dien, dan Teuku Ajad turut gugur secara beruntun waktu dalam pertempuran, dan Nyak Makam sendiri dipancung lehernya Tanggal 22 Juli 1896.
Sejak usia 6 tahun Teuku Nyak Makam telah diserahkan menuntut ilmu di Pesantren Ulama Teuku Chik Abbas (adik ipar orang tuanya) di Lamnga, kemudian melanjutkannya pendidikan ke Lambada Gigieng pada pesantren Tgk.Lambada, di samping pelajaran agama, ia juga belajar pencak silat, Ilmu Sosial dan taktis gerilya pada Panglima Paduka Sinara, dan juga pembinaan Tuanku Hasyim Banta Muda.
Pada usia 16 tahun Teuku Nyak Makam pergi ke Penang (Malaysia) menjumpai Teuku Paya (Ketua Panitia Delapan) sebagai keluarga ayahnya dan di Pulau Penang beliau telah dapat belajar bahasa Inggris, kemudian kembali ke Aceh.
Oleh karena Panglima Teuku Nyak Makam seorang pemuda yang cerdas beliau terus dibina selanjutnya oleh Tuanku Hasyim seorang partisan yang tangguh, pada tahun 1858 Teuku Nyak Makam dalam usia muda diangkat menjadi staf/wakil oleh Tuanku Hasyim yang bertugas di Wilayah Timur Aceh dan Deli Serdang Sumatera Utara. Sekembalinya dari front Timur tahun 1865 Teuku Nyak Makam melangsungkan pernikahan dengan Cut Nyak Cahaya Putri dari Panglima Paduka Sinara di Lambada.
Sultan memperhatikan prestasi-prestasi yang telah dicapai baik dalam berpolitik strategi militer dan kepemimpinan oleh Panglima Teuku Nyak Makam maka atas keputusan musyawarah Sultan Muhammad Daudsyah di markas Keumala Pidie tahun 1885 yang dihadiri Panglima Polem, Panglima Besar Tuanku Hasyim Banta Muda dan staf kerajaan lainnya Panglima Teuku Nyak Makam dan diberi hak kuasa bertindak telah diangkat sebagai “ALMUDABBIRUSYAYARQIAH” mempertahankan kedaulatan Aceh di bahagian Timur Aceh sekaligus Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan sebagai wakilnya ialah Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.
Panglima Teuku Nyak Makam disamping bertugas sebagai pemimpin pasukan gerak cepat dengan senjata lengkap yang bertugas mengkoordinir barisan-barisan pejuang Aceh yang dipimpin oleh pemimpin perang setempat dari Sungai Jambo Ayee di Simpang Ulim hingga Deli Hulu dan Serdang Hulu.
Sebagai gerak pertama setelah pengangkatannya menjadi Panglima Mandala Kerajaan Aceh sampai ke Timur, maka pada bulan Nopember 1885 Panglima Teuku Nyak Makam dengan 140 orang anak buahnya muncul di Tamieng untuk memulai operasinya, yang menimbulkan kepanikan bagi seluruh pembesar sipil dan militer apalagi bagi pengusaha-pengusaha Belanda.
Pada tanggal 18 Desember 1885 dengan kekuatan 50 orang prajurit Panglima Teuku Nyak Makam telah menggempur tangsi Belanda di Seuruwey. Dilanjutkan pada tanggal 28, dan malam 29 Desember 1885 penggempuran terhadap benteng/tangsi Seuruwey yang dipertahankan oleh lebih kurang 300 serdadu dan menghancurkan (mengobrak-abrik) rumah perwira di Seuruwey.
Dari Seuruwey Panglima Teuku Nyak Makam terus maju dengan pasukan gerak cepat guna menggempur kedudukan Belanda di Pulau Kampai dan berhasil merampas senjata-senjata polisi dan pabean tanpa ada kesempatan untuk memberi perlawanan.
Tanggal 2 Januari 1886 kembali Panglima Teuku Nyak Makam menggempur benteng-benteng Belanda sehingga Belanda terpaksa mendatangkan 124 orang serdadu Mobiel Brigade termasuk 3 (tiga) orang perwira disamping 1(satu) peleton infantri.
Dalam bulan Pebruari 1886 benteng Belanda di Kuala Simpang digempur dan dikuasai oleh pasukan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Dari Kuala Simpang penyerangan diteruskan ke Langkat Hilir. Di sini yang menjadi sasaran penyerangan dan dikuasai Panglima Teuku Nyak Makam ialah, perkebunan Belanda, seperti Glen Bervi (Paloh Muradi), Gebang, Serapah, Tarau dan lain-lain disekitarnya.
Sebagian dari pasukannya dikerahkan untuk menyerang perkebunan di Teluk Rubiah. Dari sini penyerangan diteruskan ke perkebunan Tungkam dan Sungai Dua, kemudian diteruskan ke Sungai Satu. Akibat dari penyerangan-penyerangan/gangguan-gangguan tersebut, perkebunan-perkebunan di Teluk Rubiah, Tungkam, Sungai Dua, dan Sungai Satu terpaksa ditutup.
Dari sungai satu, pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima Teuku Nyak Makam dan dibantu oleh Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim Banta Muda) meneruskan perjalanan ke Bahorok untuk bertemu dengan Teuku Abdurrahman guna melantik Kejreuen Bahorok yang telah turun menurun menjadi panglima barisan sabilillah Aceh untuk wilayah Langkat Hulu dan mengadakan kerjasama untuk memerangi Belanda, pada saat itu Panglima Teuku Nyak Makam, menaikkan bendera merah putih di Kampung Kuala sebagai tanda wilayah ini telah dikuasai oleh tentara Aceh, selain daripada itu diadakan pembersihan terhadap oknum-oknum yang pro Belanda kepala Distrik Binjai saat itu, melapor pada Belanda di Medan akibatnya Belanda dengan kekuatan 600 orang serdadu dibawah pimpinan Mayor Van de Poll maka terjadilah pertempuran yang dahsyat di Bahorok kejadian ini pada bulan April 1886.
Setelah melalui pertempuran sengit dari benteng ke benteng, maka akhirnya Bahorok jatuh ke tangan Belanda pasukan Panglima Teuku Nyak Makam sebagian dibawah pimpinan Teuku Abdurrahman bersama adik-adiknya dan sisa-sisa pasukannya mundur ke Tanah Alas.
penyerangan-penyerangan/gangguan-gangguan yang telah dilancarkan oleh Panglima Teuku Nyak Makam beserta pasukannya. Menurut sumber Belanda sendiri dalam masa 14 bulan (Maret 1885 s/d Juni 1886) daerah Langkat Hilir dan Teluk Haru tidak kurang dari 25 kali mendapat serangan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Setelah menggemparkan dan mengejutkan Belanda selama 14 bulan itu, maka dalam bulan Juni 1886, Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke Pidie dan Lamnga Aceh Besar, untuk melapor kepada sulthan Aceh yang berada di Pidie.
Selanjutnya dalam bulan Juni 1886 juga Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke markasnya beserta membawa seratus orang prajuritnya ahli gerilya dipimpin oleh Pang Abu.
Pada bulan Januari 1893, Panglima Teuku Nyak Makam dengan dibantu oleh Raja Silang Muhammad Raja Kejreun dan Teuku Chik Raja Athas Ulee Balang Negeri Sungai Yu, telah berhasil membangun sebuah angkatan perang dan kubu-kubu pertahanan sepanjang sungai Tamieng, sejak dari Rantau Pakam sampai ke Upak.
Pada tanggal 23 Januari 1893 pasukan Panglima Teuku Nyak Makam telah berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang kecil Belanda yang mudik di sungai Tamiang.
Pada tanggal 26 Januari 1893 terjadi kontak dengan kapal perang “SUNDERO” yang membawa bantuan ke Seruwey, tetapi karena perlawanan dari para pejuang, kapal perang tersebut terpaksa kembali ke Belawan.
Pada awal Februari 1893, untuk menutupi kegagalannya beberapa hari yang lalu Kolonel Van De Poll sendiri menumpang kapal perang “FLORES” dan “ANNA” dengan membawa serdadu dan peralatan perang mudik dari sungai Tamieng untuk terus ke benteng mereka di Seruwey.
Namun tiba didekat Rantau Pakam kapal perang “ANNA” telah masuk perangkap yang sengaja telah dipasang dan dibentangkan tali rotan yang simpang siur seberang menyeberang di dasar sungai dan dalam keadaan terjepit itu, kapal “ANNA” terus menjadi umpan peluru sehingga pecah dua dan tenggelam.
Melihat keadaan demikian, Kolonel Van De Poll yang menumpang di kapal “FLORES” terpaksa kembali dengan segera kepangkalannya.
Untuk menghancurkan kubu-kubu pertahanan pasukan Panglima Teuku Nyak Makam yang berada di sepanjang Tamieng itu, Belanda dengan pasukan yang besar yang terdiri dari pasukan insfrantri di bawah pimpinan Kapten H. Kuyk dan Marinir dibawah pimpinan Letnan W.Allizol, mengadakan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan Panglima Teuku Nyak Makam. Pasukan Belanda langsung dipimpin Kolonel A.H.Van de Poll.
Dengan dibantu oleh kapal-kapal perang “TERNATE, CONDOR, SINDORO, MADURA, FLORES, SELAMAT, JANTIK, KIMTA, dan DEMARIT”. Pada tanggal 13 Februari 1893 telah memasuki kuala besar dan melayari sungai Tamieng menuju ke Seruwey.
Setelah terjadi perang secara sengit, yang meminta korban cukup banyak, diantaranya Letnan Capius Peerebom barulah Belanda dapat mencapai Seruwey.
Pada tanggal 4 Maret 1893, dengan mempergunakan kapal “SAMBAS” kembali Belanda mengadakan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan di sungai Tamieng, tetapi belum juga berhasil. Tanggal 16 Maret 1893 dengan sebuah kapal perang yaitu “KAPAL MADURA” kembali memudiki sungai Tamieng. Di Pasir Putih mereka mendapat perlawanan dan terpaksa kembali.
Tanggal 30 Maret 1893, kembali Kolonel A.H. Van de Poll dengan didampingi oleh Mayor Meuluman Komandan pasukan angkatan darat serta Letnan D.A.Meusert dan Komandan Skwadron angkatan lautnya Kapten (L) Pauwert, dengan mempergunakan kapal “KOERIER” kembali memudiki sungai Tamieng menuju ke Seruwey. Tetapi sesampainya di dekat kampung Paya Pasir, iring-iringan skwadron tersebut telah mendapatkan serangan yang gencar dari pasukan panglima Teuku Nyak Makam.
ACEH CAURANT” tanggal 14 Januari 1893 mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada di Aceh Besar, java bode
memberitakan Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada kembali ke front Aceh Besar, sementara harian deli Courant menyatakan sudah berada berkonsolidasi di Peureulak dan Tamieng.
Akhirnya kecemasan Belanda menambah lagi kekuatan dari Kutaraja dibawah pimpinan Jenderal Van Teyn dibantu oleh Letnan Kolonel Van Heust, dengan 1500 pasukan melakukan kegamasan dengan cara membakar habis dan teror, Belanda berhasil merebut kembali Tamieng dan Idi.
tanggal 21 Juli 1896 berangkatlah sepasukan besar Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel G.F. Soeters. Pasukan ini terdiri dari satu korps marsose sendiri, satu batalyon ke 2, 3 Kompi dari batalyon ke 6,1 satu batalyon ke 12,1 pasukan kaveleri dengan 45 orang dari pasukan zeni, pasukan ini didatangkan dengan mengatur kepungan serentak dan berkombinasi dengan satu detasemen dari batalyon yang ditempatkan (Garnizum) di Kuala Gigieng.
Penyerangan terhadap kediaman Panglima Teuku Nyak Makam berlangsung secara mengejutkan sebab tidak ada yang mengetahui dan mendengarnya. Yang ditemui oleh Belanda adalah Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit dipembaringan. Dengan serba kebengisan, Panglima Teuku Nyak Makam diangkat dan dinaikkan ke tandu, beliau digotong ke kampung Gigeng ditempat Letnan Kolonel Soeters sedang menunggu. Tidak berapa lama Soeters pun mendadak kehilangan akal, diapun memancung batang leher Panglima Teuku Nyak Makam, sementara Belanda lainnya memancung-mancung badan Panglima Teuku Nyak Makam hingga hancur, kepalanya dibawa ke Kutaraja, diarak berkeliling kota, oleh Belanda dijadikan bola disepak-sepak sebagai tanda “KEMENANGANNYA”.
Itulah kebuasan, suatu kanibalisme yang tudak ada taranya, hasil kemenangan yang dikecap oleh Belanda terhadap seorang invalid (sakit) yang lemah. Tidak mengherankan jika orang Belanda sendiri merasa malu dengan perbuatan militer Belanda di Aceh karena yang demikian hanya dikenal dalam masa purba.
Seorang Belanda bernama Fanoy, pensiunan opsir KNIL dalam sebuah bukunya telah menumpahkan rasa jijiknya terhadap cara yang dilakukan bangsanya (Belanda) terhadap Panglima Teuku Nyak Makam dia menulis antara lain:
“…..de afschuwelijke vermooding van den zieken Nja’ Makam onder de oogen der zijnen met het afhouwen van diens hoofd, oplast van een lateren general uitgevoerd, met officieren die thans alle hoofdofficieren zinj, een bewijs hoe de verwildering in 1896 reeds te constateeren viel onder officieren vanhoofdkwartier te Kutaradja de in trioms meegevoerde Nja’ Makam’s kop, Zwijgende aanklacht tegen modern kolonial-oorlog-bedrijt”.
“…..Dilakukannya pembunuhan yang ngeri terhadap Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang mengidap penyakit, dihadapan pengikut-pengikutnya dengan memancung batang lehernya, diatas perintah seorang yang kemudian diangkat menjadi Jenderal, dengan para opsir yang kini semuanya sudah menjadi opsir tinggi pula, adalah suatu bukti bagaimana jejak tahun 1896 sudah diketahui keliaran dari antara para opsir yang bermarkas besar di Kutaraja.
Kepala Nyak Makam (setelah dipotong Belanda dari badannya MS) yang dibawa berarak dalam menyorak-nyorakkan kemenangan, adalah dakwaan tidak bersuara terhadap tindak perang kolonial modern”
anda kemenangan” pada tahun 1897 yang dipajangkan di serambi belakang rumah sakit tentara di Kutaraja. “Tanda kemenangan” itu merupakan sebuah setopeles besar yang diisikan alkohol dan didalamnya tampak terapung-rapung kepala Teuku Nyak Makam yang telah mengembung itu. Pemimpin perjuangan ini dijumpai pada tahun 1896 dalam keadaan sakit berat dikampungnya di Lamnga yang terletak tidak berapa jauh diluar lini konsentrasi. Ia diusung kedalam tandu dan bersama keluarga-keluarganya digiring ketempat Kolonel Obos Soeters, Obos ini menyuruh melemparkannya dari tandu dan menyuruh dibunuh ditempat itu juga. Teuku Nyak Makam dipancung dihadapan isterinya dan anak-anaknya. Kolonel Stemfoort telah memerintahkan supaya kepala itu dipajangkan sebagai sebuah “Tanda Kemenangan”. Seorang yang telah menyaksikan perlakuannya itu dengan matanya sendiri tetapi bukan seorang lemah hati menulis: Tindakan biadab ini dan yang serupa dengan itu tidak akan menolong usaha penaklukan dan perdamaian di Aceh.
Panglima T Nyak makam |