Tahun-tahun perang Aceh periode I dan II adalah neraka bagi para narapidana di Hindia Belanda. Para narapidana dengan klasifikasi hukuman tertentu akan dikirim ke Aceh sebagai pekerja paksa. Menjadi tenaga kerja paksa ditengah kecamuk perang yang berlangsung dengan liar di Aceh. Hukuman ini bisa disamakan dengan hukuman mati yang tertunda bagi si narapidana. Banyak dari para narapidana ini tewas secara mengenaskan di belantara Aceh. Ketika perang terbuka 1873-1880 tidak kurang dari 8.250 orang tenaga kerja paksa ini menemui ajalnya di aceh.
Beratnya medan tempur dan begitu drastisnya jatuh korban dikalangan pekerja paksa membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda merasa perlu menetapkan cadangan yang musti disediakan oleh depot-depot tahanan Hindia Belanda. Padang dan Semarang misalnya diwajibkan menyediakan cadangan 100 orang, Surabaya 150 orang dan Batavia sebagai bandar terbesar wajib menyediakan 250 orang setiap bulannya. Namun penetapan kuota cadangan itu segera pula terasa sangat tidak mencukupi kebutuhan dilapangan, maka pada bulan-bulan setelahnya jumlah itu naik dengan pesat.
Tidak banyak pekerjaan umum yang dikerjakan oleh para pekerja paksa di Aceh. Kebanyakan tugas mereka adalah menjadi tenaga pengangkutan militer yang sangat berbahaya. Kelewang, rencong dan senapan pejuang Aceh tidaklah pandai memilih sasaran, apa saja dan siapa saja yang bekerja dipihak Belanda adalah bagian dari kaphe yang wajib ditumpas. Para pejalan kaki yang seringkali dirantai ini adalah sasaran empuk dan menguntungkan pihak pejuang. Kematian para pekerja paksa adalah kematian pula bagi serdadu yang bergantung padanya.
Selain menghadapi ganasnya serangan dari pejuang Aceh, para pekerja paksa ini juga acapkali mengalami tindakan tidak senonoh dari para serdadu bawahan yang merasa dirinya lebih hebat satu derajat diatasnya. Para prajurit bawahan ini gemar sekali melecehkan para tahanan malang itu, menganggapnya sebagai manusia buangan yang tak lebih dari hewan pengangkut logistik. Bahkan di medan perang Aceh, harga hewan pengangkut beban lebih berharga dibanding nyawa para pekerja paksa.
Bukan tidak pernah militer Belanda mencoba memobilisasi logistik dengan menggunakan hewan pengangkut beban. Namun medan Aceh menyulitkan pergerakan hewan-hewan tersebut. Di Aceh tidak banyak terdapat kuda yang bisa mengangkut bermacam keperluan, kuda dan keledai didatangkan dari daerah lain. Tetapi mengingat medan yang sulit karena tidak tersedianya jalanan membuat pemanfaatan binatang itu tidak bisa diharapkan sama sekali. Antara satu basis dengan basis lainnya pejuang Aceh seringkali hanya bisa ditempuh dengan melewati pematang sawah yang sempit, bukit-bukit batu yang curam dan rawa-rawa yang luas maka para tahanan itulah yang lebih tepat untuk digunakan.
Manusia pengangkut beban itu juga tidak membutuhkan perlakuan khusus. Mereka tak butuh makanan spesial, makan mereka bahkan cukup dengan diberikan makanan sisa dari para prajurit. Atau mereka akan berusaha makan apa saja yang bisa ditemukan di sepanjang perkampungan yang dilalui. Pekerja paksa juga tidak membutuhkan tempat yang representatif bagi tempat tinggalnya. Cukup dengan gubuk-gubuk sederhana dari bambu dan ranting kayu mereka bisa tidur dan menyiapkan tenaga buat tugas berat pada hari berikutnya.
Adakalanya para narapidana ini membangkang, mereka menjadi tidak bisa diatur sedemikian rupa oleh para serdadu membutuhkannya. Maka cambukan rotan sekian puluh kali akan menjadi penyemangat yang tidak menyenangkan. Hukuman cambuk menjadi semacam kesenangan lain dari para serdadu yang frustasi dalam menghadapi maut di Aceh. Para narapidana ini sama sekali tidak punya hak membela diri. Karena status kebanyakan dari mereka adalah para bajingan berbangsa Jawa. Dalam hukum kolonial siapa saja yang terjajah dan menjadi bajingan adalah makhluk paling hina.
Tidak heran selama empat puluh tahun perang Aceh, ditaksir tidak kurang dari 25.000 pekerja paksa ini tamat hidupnya di Aceh. Kematian para manusia buangan ini tak lebih dari sekedar kematian tikus tak berguna (walaupun sebenarnya mereka sangat berjasa bagi pasukan Belanda). Mereka dilupakan oleh pemerintah Belanda dan serdadu-serdadu gila hormat yang satu bangsa dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar