Dakota DC-47B yang kemudian diberi nama Seulawah (Gunung Emas). Sumbangan Rakyat Aceh |
Tercatat dalam sejarah semasa republik ini masih bayi. Tepatnya pada bulan juni tahun 1948. Ketika di pulau Jawa dan sebagian besar republik ini masih berkecamuk perang semesta melawan kolonialis Belanda dan anteknya yang ingin kembali menguasai Republik Indonesia yang masih kurang tiga tahun diproklamirkan kemerdekaannya. Ketika itu sang "bapak bangsa" Soekarno melakukan muhibah ke wilayah terujung negara Indonesia, Aceh. Disana Belanda tak mampu unjuk gigi kedigdayaannya dalam menjajah. Kedatangan Soekarno ke Aceh disambut gegap gempita oleh para rakyat Aceh yang kala itu sedang semangat berjuang hingga ke Medan Area.
Di Aceh Ir. Soekarno tak hanya menemukan ribuan pemuda rakyat yang siap mempertahankan negara ini dari serbuan penjajah. Tetapi ia juga didaulat oleh para tetua yang kaya, para saudagar yang terkenal merajai selat Malaka ditengah blokade armada laut Belanda. Para pemuda dengan tekad baja mempersembahkan jiwa raga di medan tempur sementara oleh para saudagar dan pemimpin Aceh Soekarno didapuk untuk menjelaskan kebutuhan paling urgen negara pada saat itu.
Mendengar permintaan tulus itu serta merta Soekarno menerangkan bahwa alangkah baiknya jika negara ini memiliki pesawat udara guna menembus blokade ketat Belanda di lautan. Pesawat yang bisa digunakan sebagai penghubung antar pulau dan modal awal yang utama dalam pertahanan negara. Begitu mendengarkan hal itu tanpa banyak cakap rakyat Aceh yang hadir segera merogoh saku dan melepaskan perhiasan yang melekat ditubuh mereka. Begitu tingginya semangat berkorban dari rakyat Aceh hingga konon pada saat itu pada posko penggalangan dana di masjid-masjid dan pusat pemerintahan antrian penyumbang mengular panjang hingga ratusan meter.
Beberapa jam saja pengumpulan dana dilaksanakan telah terkumpul 20 kg emas dan dana segar dalam bentuk wesel sebanyak 120.000 straits dollar. Bukan jumlah yang sedikit pada waktu itu dan juga sekarang. Terlebih disaat daerah lain di Indonesia semua rakyat hidup dalam keprihatinan akibat perang, nun di Aceh kekayaan sebesar itu dapat dikumpulkan dalam hitungan jam, sungguh luar biasa. Soekarno terharu sangat dengan apa yang ia lihat pada saat itu. Segera harta yang terkumpul itu ia rencanakan untuk membelikan pesawat bagi kepentingan pemerintah republik.
Sebagai pimpinan proyek pengadaan pesawat yang direncanakan itu dipilihlah Wiweko Soepono, seorang pilot yang kelak dipercaya menjadi direktur utama Garuda Indonesia pada periode 1968-1984 (Wiweko adalah Dirut Garuda Indonesia yang paling sukses sepanjang sejarah maskapai ini). Pembelian pesawat dilakukan di Thailand yang waktu itu masih bernama lama Siam. Berbekal wesel 120.000 straits dollar Wiweko segera berangkat ke Singapura, disana ia hendak mencairkan wesel yang dibawanya setelah itu ia merencanakan langsung terbang ke Bangkok lalu ke Birma. Namun alangkah terkejutnya Wiweko saat pihak bank mengatakan bahwa wesel 120.000 dollar yang dibawa Wiweko hanya tersisa separuhnya saja. Dari 120.000 menjadi 60.000, sisanya raib tidak jelas kemana. Saat itu mafhumlah Wiweko bahwa ia telah dibohongi. Dengan mengantongi sisa 50% dana sumbangan rakyat Aceh ia terbang ke Bangkok menunaikan misi yang diembannya.
Sepanjang tugasnya itu Wiweko teramat gundah dengan peristiwa raibnya sumbangan wakaf milik rakyat Aceh itu. Dalam hati ia tak hendak berspekulasi bahwa sang pemberi wesel itu ketangannya telah menilep sebagian uang itu. Namun untuk menghindari fitnah ia dengan cerdas memfotokopi salinan struk pencairan dana itu. Fotokopian yang disimpannya dengan rapi hingga ia meninggal pada tahun 2000, dan masih tersimpan diantara peninggalan pribadi Wiweko hingga kini.
Dengan sisa dana 60.000 straits dollar itu Wiweko kembali dari Birma dengan satu unit pesawat DC-47B yang kelak diberi nama RI 001-Seulawah. Pesawat legendaris itu selama beberapa tahun kemudian menjadi pesawat kepresidenan RI yang pertama dan nomor RI 001 terus digunakan untuk nomer penerbangan kepresidenan Indonesia hingga saat ini. Setelahnya pesawat dakota tersebut melayani juga penerbangan komersial di Birma.
Lantas kemana 60.000 straits dollar dan 20 kg emas sumbangan rakyat Aceh yang raib itu? Laiknya mega korupsi yang terjadi kemudian hari, hal tersebut seolah sirna tertimbun cerita-cerita sejarah yang lain. Namun kisah hilangnya harta wakaf rakyat Aceh pada tahun 1948 tak pernah lagi diungkit-ungkit.
Sumber: Wikipedia Indonesia dan Chirpstory
Atjeh memang Modal kemerdekaan Indonesia
BalasHapus