Suasana tangsi militer Belanda di pinggir Krueng Keureutoe Lhoksukon |
Pada tahun 1933 Schmid seorang kapten KNIL meninggalkan rumahnya di Lhoksukon. Kapten ini seorang yang berwajah tenang dan dengan tenang ia melewati orang-orang Aceh yang dengan ramah pula menyambutnya. Tidak ada yang menyangka, tidak juga si Kapten bahwa sejurus kemudian seseorang diantara orang-orang Aceh yang berkumpul itu akan segera menusuknya dengan sebilah rencong. Amad Leupon sang pembunuh yang pejuang Aceh itu dengan segera pula ditebas dengan kelewang oleh tentara KNIL lain yang berada ditempat tersebut. Schmid mati pembunuhnya juga mati, darah keduanya membasahi bumi Pase.
Anak muda dari gampong Abeuek Leupon itu ternyata selama ini telah lama terlihat berada disekitar tangsi Belanda di Lhoksukon. Selama orang-orang melihatnya tidak satupun yang menyangka bahwa ia menyimpan sebuah dendam yang nekad dalam jiwanya terhadap Belanda. Ia tak pernah memberitahu sesiapa saja jika ia memusuhi Belanda sepenuh jiwanya. Bara api itu sangat rapat dipendam dalam keramahan sebagaimana orang-orang Aceh lainnya di Lhoksukon. Dendam yang terbalas pada hari dimana ia menusuk Schmid dengan rencong yang tersembunyi dibalik bajunya yang kumal. Rencong itu setiap pagi dan sore ia asah sedemikian tajamnya, dipersiapkannya untuk menuntaskan sebuah pekerjaan besar. Dan orang-orang Belanda mengenangnya bukan sebagai sebagai martir ia hanya seorang yatim piatu yang gila dalam cuaca perang. Kegilaan yang umum ditengah ketertekanan jiwa manusia dihimpit perang berkepanjangan. Apakah sesederhana itu ia bertindak? Jika anda melihat jauh kedalam jiwanya, maka anda akan melihat bahwa keberaniannya bukan sebuah kegilaan. Itu adalah keberanian seorang pejuang. Dalam keyakinan yang dianutnya jelas tertulis, membunuh kaphe Beulanda yang telah menghancurkan negerinya adalah perjuangan suci. Kematian dalam tugas suci itu adalah syahid.
Sebelumnya
Amad Leupon adalah seorang anak muda kampung. Suatu ketika ia melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana ayahnya tersungkur bersimbah darah
dihantam peluru KNIL sang ayah tercinta gugur sebagai bunga bangsanya.
Amad masih sepuluh tahun ketika itu. Sang ayah tidak mewarisi apapun
harta benda buat bocah Amad. Kecuali darah kepahlawanan dan sebongkah
duka dihati Amad kecil. Duka yang kelak menjadi harga mati kebenciannya
terhadap Belanda. Beberapa tahun setelah ayah kemudian menyusul pula
sang ibunda. Jadilah Amad sebagai manusia kecil yang kehilangan seluruh
hak kebahagiaan hidup. Berpedoman pada jejak ayahnya, ia memutuskan
untuk mati sebagai martir dan menukar hidupnya yang singkat dengan
kenikmatan kekal di surga Allah.
Terdidik
oleh keadaan dan duka laranya, Amad Leupon begitu hati-hati dalam
memilih Belanda sebagai bakal mangsa rencongnya. Ia mengintai dalam
waktu yang lama dilokasi serangan. Berhari-hari ia mengintai keseharian
Belanda lalu mempersiapkan senjatanya sebagai alat yang sangat mematikan
hanya dalam sekali tikam. Sekian lama itu ia memastikan bahwa
kehadirannya yang bersenjata tidak akan dicurigai oleh siapa saja
sebagai ancaman bagi lawan. Semua rahasia hidup dan matinya hanya milik
dirinya sendiri. Kematian ayahnya dulu telah mengajarkan dia untuk tidak
percaya pada siapapun kawan dan lawan dalam perang yang panjang ini.
Puncaknya pada detik ia melihat Schmid dalam seragam perwira melintas
tenang dan aman ditengah keramaian. Dalam ketenangan diam-diam Amad pun
menghadiahkan seutas senyum buat simalang Schmid, senyum kemenangan yang
ia persembahkan di altar harga diri seorang pejuang bangsa. Malangnya
Schmid menganggap itu adalah keramahan. Senyum ramah sang pemuda itu
beberapa detik berikutnya adalah petaka yang disesali Schmid diujung
usianya. Dalam senyum ia menusuk rencongnya, cukup untuk mengirim jiwa
si kapten menuju alam lain meninggalkan onggokan bangkai yang tak
berguna. Pada masanya nanti jasad itu menjadi bahan pembuktian bagi rasa
bangga bangsa pembunuhnya, bertahun-tahun nanti setelah perang usai.
Selama
ini telah ratusan tahun Belanda bercokol di kepulauan Nusantara belum
pernah mereka menemukan adanya duel orang per orang seperti yang dialami
oleh Schmid dan lawannya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran kolonial
yang penuh rasa percaya diri bahwa akan ada kegilaan total dari seorang
pemuda bernama Amad Leupon. Tak sekalipun mereka sadar bahwa dalam
perang yang tak berpemimpin di Aceh tersimpan dan bakal tertoreh sebuah
strategi gila sebagai bentuk kecil dari perjuangan besar. Belanda tak
bisa disangsikan telah mengalami kepandiran dalam menyikapi perang
melawan tingkah gila musuh. Belanda segera menetapkan pelaku duel berani
itu sebagai tindakan orang gila. Belanda tidak pernah mengakui hal itu
sebagai perang yang sebenarnya. Tapi bagi rakyat Aceh itu adalah masih bagian Perang Suci, meskipun kini mereka tak lagi diatur dalam siasat seorang jenderal pemimpin perang semesta.
Sebuah Perang Suci hanya akan berakhir ketika tujuannya tercapai, dan pergilah kalian para pahlawan bangsa dalam Perang Suci sampai Belanda diusir dari Aceh, meskipun kita tidak selalu memiliki kekuatan untuk melawan. Tapi kita telah bersumpah bahwa kita tidak akan beristirahat sampai kaum kafir Belanda terakhir telah diusir jauh dari pergi tanah kita. Menurut kehendak Allah.
Beberapa tahun sebelum dan setelah pecah Perang Dunia Kedua,
para ulama pemimpin dan kaum ulee balang yang bersetia kepada bangsanya
masih menyimpan semangat Amad Leupon dalam perjuangannya. Mereka
akhirnya mampu bangkit memimpin bangsanya dalam sebuah gerakan bersama,
dibawah sumpah endatu bahwa mereka akan segera merebut segala kesempatan
yang ada guna mengusir kafir Belanda dari tanah mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar