Sebuah monumen di Peucut. Sebagai penanda kuburan massal tentara Belanda yang tewas di benteng Pohama |
Sejak agresi kedua Belanda atas Kesultanan Aceh pada tahun 1874 hingga 1884 kedudukan Belanda di Aceh tertahan dalam wilayah terbatas yang membentang sepanjang garis pantai Alue Naga hingga Meuraksa. Tahun 1883 Belanda membangun lini konsentrasi guna mempertahankan kedudukan mereka. Lini konsentrasi ini melingkari kota dimulai dari pantai Alue Naga di bekas benteng Aceh Kuta Podiamat yang disebut Belanda dengan nama Kuta Pohama. Terkungkung dalam lini tersebut membuat pihak Belanda sedikit aman dari serangan berat pasukan Aceh yang menyebar diluar garis pertahanan mereka.
Dari luar lini para pejuang Aceh nyaris tanpa henti menyerang posisi strategis musuh secara sporadis. Salah satunya adalah yang dikenang dalam sejarah perang Aceh sebagai pertempuran mempertahankan Benteng Pohama. Tepatnya pada
malam hari tanggal 24 juli benteng itu diserang dari segala penjuru oleh pejuang Aceh. Tembak menembak terjadi tanpa jeda hingga keesokan harinya pada tanggal 25 Juli. Benteng ini dihantam dengan tembakan lila dan senjata berat lainnya milik pejuang. Seriusnya ancaman terhadap posisi benteng membuat tentara Belanda yang bertahan di dalam benteng meminta bala bantuan dari induk pasukannya di Keraton Aceh.
Maka pada malam hari tanggal
26 Juli 1889 bergeraklah pasukan gabungan dari Batalyon Infanteri ke-12
dipimpin oleh Mayor BC van de Sande dan seluruh Batalyon Infanteri ke-14
yang dipimpin oleh Mayor H. Begemann
keluar menuju ke benteng Pohama dan Peukan Krueng Cut, mereka bertujuan untuk memperkuat pertahanan disana dan merebut posisi tempat pejuang Aceh melakukan serangannya. Setiba disana pasukan gabungan itu segera menarik persenjataan berat yang awalnya terpasang di sebelah utara benteng Pohama, pada sebuah tanah berbentuk tanjung yang menjorok di rawa-rawa sekitar Alue Naga. Tentara yang mempertahankan benteng yang sebelumnya telah kocar-kacir akibat beratnya serangan pejuang Aceh kini memilih beristirahat dan merawat semua korban tewas dan luka dalam serangan dua hari sebelumnya.Pejuang Aceh sepertinya telah mundur ke arah Krueng Raya begitu melihat adanya bala bantuan yang dikirim induk pasukan Belanda.
Menjelang tengah malam kedua batalyon itu tiba di Peukan Krueng Cut. Batalyon
infanteri ke-12 mempertahankan Peukan Krueng Cut, sementara batalyon infanteri ke-14 dengan diperkuat pasukan artileri dan kavaleri, tanpa berhenti terus bergerak ke arah barat laut. Menyusuri sepanjang jalan lama antara Cadek dan Kajhu. Menjelajahi medan rawa-rawa disana guna mengintai posisi pejuang. Kedua batalyon itu sama sekali tidak menyadari jika
ternyata bahwa posisi pejuang Aceh berada didekat benteng Pohama yang pagi tanggal 26 itu dalam keadaan kosong dan lemah. Benteng Pohama malam itu hanya diisi oleh tentara yang sebelumnya telah dua hari mempertahankan benteng serta beberapa peleton pasukan tambahan dari campuran kedua batalyon bantuan.
Kelengahan pasukan kedua batalyon ini dimanfaatkan oleh pejuang guna melancarkan serangan berikutnya. Gerakan pejuang yang menyasar benteng agaknya terlambat disadari oleh Letnan Veerman komandan pos di Peukan Krueng Cut. Ia begitu terkejutnya ketika hendak menembus ke benteng Pohama dari Peukan Krueng Cut menemukan keberadaan pejuang di Kuta Tuwanku. Pejuang Aceh telah masuk kedalam benteng dan menghancurkan meriam pertahanan disana dengan dinamit yang mereka bawa. 35 orang pasukan infanteri dibawah komando Letnan Van N. Hageman ditemani oleh 10 orang penembak menyambut serangan dadakan para pejuang Aceh. Ketika itu dalam kegelapan malam ia baru menyadari bahwa mereka sedang diserang dengan berbagai jenis tembakan senjata berat.
Dibawah tembakan masif itu jelaslah baginya bahwa benteng Pohama dan Kuta Tuwanku telah dikuasai oleh pejuang Aceh. Posisi Veerman dan pasukannya terjepit diantara dua benteng dan pejuang Aceh tanpa henti menembaki mereka. Bagaimanapun ia tak lagi berpikir untuk kembali ke Peukan Krueng Cut. Baginya dan pasukannya, hal itu adalah pilihan yang sulit untuk saat itu. Satu-satunya jalan adalah segera mencari perlindungan yang mampu melindungi jiwanya dan pasukannya.
Untuk itu Veerman segera memerintahkan pasukannya mengambil jalur memotong antara gerbang dua benteng. Namun sial bagi Veerman dan pasukannya, mereka berada pada posisi yang tidak bagus, dengan mudahnya pejuang Aceh menembaki Letnan malang dan pasukannya itu hingga mereka berjatuhan tewas sebelum mencapai tempat perlindungan. Veerman sebelum tewas sempat coba dilindungi oleh seorang bawahan bernama F.C.A. Buijs. Namun hal itu tidak berlangsung lama, beberapa butir peluru pejuang Aceh bersarang di kepala dan dadanya. Tembakan fatal itu membuat ia tewas seketika itu juga. Buijs yang bermaksud melaporkan tewasnya Veerman pada Hageman namun ia pun menemukan Hageman sedang sekarat terkena tembakan pejuang. Bersama W.R. Schirmer seorang prajurit batalyon ke-12 lainnya Buijs memilih mundur dibawah tembakan pejuang. Akhirnya mereka selamat dari kematian meski dengan sejumlah luka akibat peluru, meninggalkan mayat Veerman, Hageman dan banyak rekan mereka di belakang.
Satu-satunya keberuntungan yang coba menyelamatkan sisa pasukan Veerman disana adalah datangnya sekelompok pasukan batalyon ke-14 yang tadinya bertahan di Peukan Krueng Cut. Pasukan tersebut dibawah pimpinan Letnan JHH Doomers membantu mereka dengan tembakan penutup bagi kedua prajurit. Begitupun kedatangan pasukan Dommers memang sudah sangat terlambat, Buijs dan Schirmer pun nasibnya berakhir tragis terkena tembakan pejuang Aceh.
Tembakan demi tembakan senjata berat dari Peukan Krueng Cut, benteng Pohama dan Kuta Tuwanku membuat mayor H. Begemann memutuskan untuk kembali. Pasukan gabungan itu kini tercerai berai dalam beberapa posisi terpisah. Mereka yang tadinya mengintai posisi pejuang kini berada dalam keadaan sebaliknya, kini merekalah yang diintai. Dalam kegelapan mereka tidak bisa memperkirakan dimana posisi pejuang Aceh. Pejuang Aceh bisa saja muncul bagai hantu dalam gelap sebagaimana tadi mereka muncul tiba-tiba di benteng Pohama. Keadaan yang tidak menguntungkan itulah yang membuat pasukan gabungan itu kini tercerai berai, dengan harapan bahwa jika terjadi serangan mendadak dari pejuang Aceh, mereka tidak berada dalam barisan besar tentara yang kebingungan ditengah kegelapan. Harapan terakhir untuk bisa mempertahankan keutuhan pasukan adalah menunggu datangnya matahari pagi.
Baru pada pukul sebelas menjelang siang seluruh kekuatan yang terpisah tadi malam berhasil disatukan lagi di Peukan Krueng Cut. Kini semuanya bergerak menuju benteng Pohama dengan dipimpin oleh Letnan Kolonel Bench Langenhorst. Barisan tentara itu kini berbalik menyerang benteng Pohama yang secara teratur pula mulai ditinggalkan pejuang Aceh. Mendekati benteng mereka disambut hanya satu-satu saja tembakan pejuang dan pasukan artileri membalas mereka dengan tembakan berat. Sementara kavaleri mencoba mengejar sisa pejuang namun tidak berhasil menangkap satu orangpun. Para pejuang lenyap seakan ditelan bumi.
Benteng itu akhirnya kembali jatuh ketangan Belanda, dengan korban prajurit ketika merebutnya berjumlah 18 orang. Beberapa perwira, Kapten W. T. Nicolaas von Geusau, Letnan Veerman dan Letnan Gaade. Sementara 98 orang terluka dan Letnan Hageman hilang bersama 4 orang bawahannya. Sebuah monumen didirikan di Peucut menandai kuburan massal tentara yang tewas di benteng Pohama pada malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar