Tentang BLOG

Blog ini sendiri banyak berisi tentang sejarah perjuangan dan kemegahan kesultanan aceh di masa lampau, kisah pejuang aceh yang sangat perkasa, sejarah sejarah kesultanan lainnya di nusantara serta kisah medan perang yang jarang kita temukan. semoga bisa menjadi motivasi bagi kita bersama untuk terus menggali sejarah dan untuk menjadikan sejarah sebagai motivasi dalam kehudupan kebangsaan kita.

Rabu, 17 September 2014

PERJUANGAN SULTAN ALAIDDIN MUHAMMAD DAWODSYAH


Penangkapan Sultan di stasiun kereta api Sigli 
Sultan Mahmud Syah mangkat tidak berapa hari setelah sempat istana dikosongkan oleh pejuang denganmembawa semua yang diperlukan untuk regalia (alat alat untuk melanjutkan pemerintahan) Dalam merampungkan strategi politik, para pejuang terutama yang langsung mendampingi sultan, berhasil  dengan cepat direalisi, terkhusus adalah untuk mengganti sultan yang mangkat.pilihan jatuh pada Tuanku Mohammad Dawot Syah yang masih berusia sekitar 7 tahun.  dan dipilih menjadi sultan dalam pangkuan DewanPemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim.Demikianlah pimpinan dan perjuangan berjalan terus dengan lancar sebagaimana ditentukan semula oleh hukum adat dan agama sampai masa usia Tuanku Mohammad DawudSvah mencapai akil balig Tuanku M. DawudSvah ditabalkan menjadi sultan dalam  sebuah upacara yang diadaan di mesjid Indrapuri. Sultan yangmemperoleh pendidikan untük ketrampilan pemerintahan dan perang dari Tuanku Hasyim mulai aktif sejak awal dewasa itu menyelenggarakan tugas. Ketika itu berlangsung pula pengangkatan wewenang dan tanggung jawab bagi beberapa tokoh tingkat atas yang belum resmi berlangsung dalam pemerintahan kesultanan yaitu:
1. Teungku Syekh Saman Di Tiro menjadi menteri perang, ( Pada bulan Desember kopral Ambon bernama Nussy, seorang pelacak jejak yang termasyhur yang biasanya jalan mendahului brigade, disergap oleh sekelompok Muslim yang terdiri dari tiga orang. Nussy menembak dua orang di antaranya. Seorang dari mereka ini ternyata adalah orang terakhir keluarga Tiro. Namanya Cit Ma'at. Usianya lima belas tahun. Dengan kematiannya, tiga generasi Teungku Tiro diabadikan dalam Perang Aceh)  
2. Teuku Umar menjadi laksamana (wazirulbahri), dan
3. Panglima Nya' Makam menjadi panglima urusan Atjeh Timur
Semenjak Belanda memasuki Dalam   istana di awal tahun 1874, setel (kedudukan) pemerintahan telah berpindah-pindah untuk beberapa waktu dari satu tempat ke tempat lain, di mana induk pasukan menempatkan markas besarnya. Setelah konsolidasi baik semula, dipilihkan setel pemerintahan di Indrapuri (XXII Mukim). Ketika Montasik jatuh di tahun 1878 dan Habib menyeleweng terasalah bahayanya kedudukan Indrapuri. Segeralah dipilih pula setel baru. Sekali ini dipilihlah pekan Keumala dan di awal 1879 sultan, Tuanku Hasyim (bersama putranya Tuanku Raja Keumala) dan Panglima Polim (bersama putranya Teuku Raja Kuala) sudah berada di sana menggerakkan aparatur pemerintahan. Juga berada di Keumala, Teuku Paya ketua bekas Panitia Delapan di Penang dan putranya Teuku Asan, serta Iman Leung-bata dan putranya Teuku Usen.
Teuku Nanta, selain menjadi uleebalang VI Mukim juga menjadi panglima XXV Sagi.  Bulan Desember 1894 Bentara Keumangan memaksa Sultan ke luar dari Keumala, istananya dibakar.  Terpaksalah Sultan memindahkan setel pemerintahan pusat Aceh ke Rebee. Di sana ada sebuah istana tua yang dibangun oleh almarhum Sultan Iskandar Muda. Di tempat ini Sultan tidak dapat berdiam lama, dia pindah lagi ke Padang Gahan (Padang Tid- Ji), Mukim VII. Setelah berada di sini para panglima dari Sultan merasa tersinggung atas perlakuan terhadap Sultan.
 Dua di antara Panglima itu, Habib Lhong dan Teungku Pante Gelimah telah mengerahkan pasukannya sejumlah 500 prajurit, sambil mengadakan pembersihan lewat Meutareuem, Andeue dan Lala menuju Keumala, serta memulihkan kedudukan Sultan di sana Semenjak itu pengaruh Sultan bertambah baik, sampai menjelang serangan Belanda secara besar-besaran ke Keumala kemudia Pada bulan Januari 1897 diadakan musyawarah besar para pemimpin-pemimpin perang Aceh di Garot (Pidie).
Musyawarah dipimpin langsung oleh Sultan Mohammad Daud sendiri dengan didampingi oleh Panglima Polim. Teuku Umar mendapat undangan supaya turut mengambil bagian selain untuk memberi laporan hasil-hasil perang juga untuk mengatur koordinasi dan strategi perlawanan terhadap Belanda. Teuku Umar telah didiskusi lebih lanjut tentang kesungguhannya dan tentang kemampuannya meneruskan perjuangan. Dalam tahun 1900 diketahui oleh Belanda bahwa Sultan Muhammad Daud memilih tempat Samalanga untuk markas melanjutkan perlawanannya. Sebagai diketahui benteng Batu Ihe yang terletak di bukit di luar Samalanga yang telah dicoba oleh van der Heijden dan pasukannya untuk merebutnya sampai tiga kali masih tetap dikuasai oleh pihak Aceh.
Harus diakui di samping daya juang rakyat di daerah ini tidak kalah hebatnya dengan daerah lain dan benteng pertahanannya cukup kuat, maka tepat bila sultan memilih basis pertahanan di situ. Begitu diketahui oleh raja-raja pedalaman, maka raja-raja kecil berdatanganlah ke Samalanga untuk memberikan dukungan perjuangan, tidak ketinggalan dua orang raja, yaitu Aman Nya' Ara dan Penghulu Sikulon dan Serbajadi. Setelah mengetahui bahwa Sultan berada di Samalanga ia pun melancarkan serangan. Kelihatannya van Heutsz berhasil melakukan penyerangan ke Samalanga, membuat Sultan terpaksa memindahkan markas perjuangannya ke Peudada dan dari sini ke Peusangan (Pebruari 1901). Van Heutsz berhasil lagi melemahkan perlawanannya membuat Sultan harus memilih pusat pertahanan yang lebih terjamin, yaitu mudik ke Tanah Gayo1 (September 1901).
Di sini para kejuruan (raja) setempat memberikan dukungan sepenuhnya. Ketika mayor Belanda, van Daalen memimpin serangan dengan 12 brigade ke Gayo yang memakan tempo dari bulan September sampai akhir November 1901 ia tidak berhasil mematahkan perlawanan Sultan. Juga kolonel Scheepena gagal menghadapinya, Sultan kembali ke Pidi. Di Hulu Beuracan Belanda lagi-lagi tidak berhasil mematahkan perlawanannya. Christoffel berhasil menculik salah seorang istri Sultan, yaitu Pocut Putrue (26 November 1902). Dia dibawa ke Sigli dari situ ke Uleulhue. Peristiwa tersebut didahului oleh serangan pasukan kapten Belanda Kramers terhadap markas Sultan Muhammad Daud Syah di hulu Pante Raja, Pidie. Sultan lolos.
  Pada tangal 25 Desember 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan mayor van der Maaten melancarkan kegiatan pencari seorang lagi permaisuri Sultan, yaitu Pocut Murong di sekitar kompleks kampung Lamlo Peureula'. Belanda berhasil memergokinya. Dengan demikian Belanda sudah menyandra 2 permaisuri Sultan dan seluruh keluarganya, termasuk putera Sultan yang masih di bawah umur,  Tuanku Ibrahim. Van Heutsz mengumumkan bahwa semua keluarga yang menjadi tangkapannya itu tidak akan dibunuh seandainya Sultan sendiri datang melapor dan menyerah diri sebagai Penebusnya.  pada    tanggal 6 Januari 1903, di situlah Sultan menetapkan hati untuk mengirim surat pada van Heutsz bahwa ia bersedia menyerah, untuk mana ia menginginkan diberlakukan upacara terhormat untuknya.
Besoknya, sebuah kapal perang "Sibolga" datang menuju Sigli, di mana turut Tuanku Mahmud, bekas wali Sultan, Tuanku . Husin, Tuanku Ibrahim, puteranya, dua kepala Sagi XXV dan XXVI Mukim. Tanggal 8 Januari mereka tiba di Sigli ketika itu sudah menunggu raja Pidie, Samalanga dan Meureudu. Sultan lalu dijemput ke desa Arusan, Ie Leubeue. Sabtu 10 Januari Sultan tiba di Sigli, disambut oleh mayor van der Maaten dan para perwiranya. Tanggal 13 Januari Sultan, Pocut Murong, Tuanku Ibrahim dan anggota rombongan sebanyak 175 orang dibawa ke kapal perang "Sumbawa" menuju Uleulhue. Dari sini ia naik kereta api menuju Kutaraja (Banda Aceh).
Turun dari situ menuju Kampung Keudah, untuk mendiami sebuah rumah yang sudah disediakan lebih dulu. Pada tanggal 15 januari berlangsung uparaca penyerahan Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah, yang oleh Belanda sejak awal hanya disebut berstatus "pretendent" ini telah diminta supaya menandatangani suatu pengakuan yang sudah disiapkan lebih dulu dalam mana disebut bahwa Aceh adalah menjadi bagian Hindia Belanda, dan ia berada dalam pengawalan gubernur van Heutsz.  Dikatakan bahwa sejak itu Tuanku disebut beroleh tunjangan f. 1000.- sebulan. ; Ditetapkan oleh gubernur bahwa putera Sultan, Tuanku Ibrahim yang usianya 14 tahun sudah, dibawa ke Jakarta, sebuah kalimat dari kapten artileri Belanda yang turut berperang di Aceh sejak awal, yaitu G.F.W. Borel, dalam bukunya yang menghantam kebijaksanaan komandan tertingginya masa mereka menyerang itu, jenderal van Swieten.3Katanya: "De ondervinding heeft bovendien bewezen, dat Atjeh geen Sultan noodig had om zich kractig tegen ons te blijven verzetten." ("Pengalaman telah membuktikan bahwa Aceh tidak membutuhkan Sultan untuk terus segigih-gigihnya menentang kita, Mayor J.B. van Heutsz, bekas kepala staf Jenderal Van Teijn di Aceh.
Pada tahun 18 92 dia menulis dua buah artikel dalam Indisch Militair Tijdschrift, yang kemudian terbit sebagai brosur dengan judul De onderwerping van Atjeh (Penaklukan Aceh). Semboyan yang mereka gunakan adalah: "Perang Aceh menggerogoti tanah jajahan kita dan harus berakhir. Marilah akhirnya kita tunjukkan kepada dunia yang beradab bahwa kita mampu melakukannya."  Pada tanggal 10 Februari 1903 Sultan menyerah. Pada tanggal 6 Desember tahun itu juga dia diikuti oleh Panglima Polim. Dari kedua mereka ini mulamula istri dan anggota-anggota keluarga lainnya yang ditahan. Polim lapor diri tertulis pada penguasa Lhok Seumawe di Pase, Kapten H. Colijn. Dia diberi ampun dan dipulihkan jabatannya yang turun-temurun menjadi Panglima Sagi Mukim XXII. Tugasnya diselesaikannya dengan memuaskan hati Pemerintah Belanda.
Pada tahun-tahun berikutnya dia memperoleh bintang kesatriaOranye Nassau Orde maupun Bintang Jasa Mas Besar, yang merupakan pemberian tanda jasa di Hindia. Ketika ia meninggal pada dalam tahun 1940, pada mulanya Pemerintah Hindia merasa ragu-ragu mengangkat putranya sebagai penggantinya. Tidak lama kemudian ternyata bahwa keraguan sikap Belanda itu tepat. Panglima Polim yang ketiga dari Perang Aceh ini pada tahun 1942 adalah juga yang ketiga dari wangsanya, yang memimpin suatu pemberontakan anti-Belanda. Sepuluh Tahun yang Berdarah bagi Aceh. Jumlah yang tewas di pihak Belanda, 508, tidak banyak naiknya di atas rata-rata seluruh perang. Tetapi dari tahun 1899 sampai 1909, 21.865 orang Aceh yang terbunuh, yaitu hampir empat persen dari penduduk.
Angka-angka ini resmi. Van Heutsz adalah gubernur pertama yang menyuruh memuat kerugian pihak Aceh. Pada tahun 1907 pada konsul jenderal Belanda di kota ini disampaikan surat-surat yang konon ditulis oleh Muhammad Daud kepada kaisar Jepang. Untuk hubungan ini, digunakan seorang Inggris sebagai perantara di Singapura, bernama Ghouse, yang sebelum tahun 1903 sudah bertindak sebagai agen rahasia Sultan. Snouck Hurgronje dilibatkan sebagai penasihat menteri di Negeri Belanda pada penyelidikan ini.
Pendapatnya (dalam sebuah nota tertanggal 4 Mei 1908) adalah bahwa surat-surat ini pada hakikatnya tidak lebih artinya daripada upaya-upaya semacam dulu terhadap Turki - dalam hal ini berkalikali sultan diperdayakan oleh penipu-penipu68 - Van der Maaten pun menganggap surat-surat ini sebagai kerja penipu-penipu dan tukang-tukang provokasi  kehadiran Muhammad Daud di Kutaraja merupakan sumber keresahan. Gerakan perlawanan tetap berhubungan dengan dia. Dia sendiri menaruh banyak harapan berdasarkan perlakuan yang diterimanya selama Van Heutsz. Gubernur Van Daalen yang curiga dan bersikap keras terhadap kaum hulubalang menganggap Sultan sebagai awal semua kesulitan.
 Berdasarkan 'pengkhianatan terhadap negara' —  yaitu adanya surat-surat ke Jepang — disuruhnya menangkap Sultan padatahun 1907 dan membuangnya ke Jawa. Sultan meninggal di sini pada tahun1937. Sama sekali tidak ditempuh jalan pengadilan, bahkan pemeriksaan yangagak mendalam tentang surat-surat ke Jepang pun tidak dilakukan. Tentang ini Snouck Hurgronje baru setahun kemudian dapat melaporkannya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar