Penangkapan Sultan di stasiun kereta api Sigli |
Sultan
Mahmud Syah mangkat tidak berapa hari setelah sempat istana dikosongkan oleh pejuang denganmembawa
semua yang diperlukan untuk regalia (alat alat untuk melanjutkan pemerintahan) Dalam
merampungkan strategi politik, para pejuang terutama yang langsung mendampingi
sultan, berhasil dengan cepat direalisi,
terkhusus adalah untuk mengganti sultan yang mangkat.pilihan jatuh pada Tuanku
Mohammad Dawot Syah yang masih berusia sekitar 7 tahun. dan dipilih menjadi sultan dalam pangkuan
DewanPemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim.Demikianlah pimpinan dan
perjuangan berjalan terus dengan lancar sebagaimana ditentukan semula oleh
hukum adat dan agama sampai masa usia Tuanku Mohammad DawudSvah mencapai akil
balig Tuanku M. DawudSvah ditabalkan menjadi sultan dalam sebuah upacara yang diadaan di mesjid
Indrapuri. Sultan yangmemperoleh pendidikan untük ketrampilan pemerintahan dan perang
dari Tuanku Hasyim mulai aktif sejak awal dewasa itu menyelenggarakan tugas.
Ketika itu berlangsung pula pengangkatan wewenang dan tanggung jawab bagi
beberapa tokoh tingkat atas yang belum resmi berlangsung dalam pemerintahan kesultanan
yaitu:
1. Teungku Syekh Saman Di Tiro
menjadi menteri perang, ( Pada bulan Desember kopral Ambon bernama Nussy,
seorang pelacak jejak yang termasyhur yang biasanya jalan mendahului brigade,
disergap oleh sekelompok Muslim yang terdiri dari tiga orang. Nussy menembak
dua orang di antaranya. Seorang dari mereka ini ternyata adalah orang terakhir
keluarga Tiro. Namanya Cit Ma'at. Usianya lima belas tahun. Dengan kematiannya,
tiga generasi Teungku Tiro diabadikan dalam Perang Aceh)
2.
Teuku Umar menjadi laksamana (wazirulbahri), dan
3.
Panglima Nya' Makam menjadi panglima urusan Atjeh Timur
Semenjak
Belanda memasuki Dalam istana di awal tahun 1874, setel (kedudukan)
pemerintahan telah berpindah-pindah untuk beberapa waktu dari satu tempat ke
tempat lain, di mana induk pasukan menempatkan markas besarnya. Setelah
konsolidasi baik semula, dipilihkan setel pemerintahan di Indrapuri (XXII
Mukim). Ketika Montasik jatuh di tahun 1878 dan Habib menyeleweng terasalah
bahayanya kedudukan Indrapuri. Segeralah dipilih pula setel baru. Sekali ini
dipilihlah pekan Keumala dan di awal 1879 sultan, Tuanku Hasyim (bersama
putranya Tuanku Raja Keumala) dan Panglima Polim (bersama putranya Teuku Raja
Kuala) sudah berada di sana menggerakkan aparatur pemerintahan. Juga berada di
Keumala, Teuku Paya ketua bekas Panitia Delapan di Penang dan putranya Teuku
Asan, serta Iman Leung-bata dan putranya Teuku Usen.
Teuku
Nanta, selain menjadi uleebalang VI Mukim juga menjadi panglima XXV Sagi. Bulan Desember 1894 Bentara Keumangan memaksa
Sultan ke luar dari Keumala, istananya dibakar. Terpaksalah Sultan memindahkan setel
pemerintahan pusat Aceh ke Rebee. Di sana ada sebuah istana tua yang dibangun oleh
almarhum Sultan Iskandar Muda. Di tempat ini Sultan tidak dapat berdiam lama,
dia pindah lagi ke Padang Gahan (Padang Tid- Ji), Mukim VII. Setelah berada di
sini para panglima dari Sultan merasa tersinggung atas perlakuan terhadap
Sultan.
Dua di antara Panglima itu, Habib Lhong dan
Teungku Pante Gelimah telah mengerahkan pasukannya sejumlah 500 prajurit,
sambil mengadakan pembersihan lewat Meutareuem, Andeue dan Lala menuju Keumala,
serta memulihkan kedudukan Sultan di sana Semenjak itu pengaruh Sultan
bertambah baik, sampai menjelang serangan Belanda secara besar-besaran ke
Keumala kemudia Pada bulan Januari 1897 diadakan musyawarah besar para pemimpin-pemimpin
perang Aceh di Garot (Pidie).
Musyawarah
dipimpin langsung oleh Sultan Mohammad Daud sendiri dengan didampingi oleh
Panglima Polim. Teuku Umar mendapat undangan supaya turut mengambil bagian
selain untuk memberi laporan hasil-hasil perang juga untuk mengatur koordinasi
dan strategi perlawanan terhadap Belanda. Teuku Umar telah didiskusi lebih lanjut
tentang kesungguhannya dan tentang kemampuannya meneruskan perjuangan. Dalam
tahun 1900 diketahui oleh Belanda bahwa Sultan Muhammad Daud memilih tempat
Samalanga untuk markas melanjutkan perlawanannya. Sebagai diketahui benteng
Batu Ihe yang terletak di bukit di luar Samalanga yang telah dicoba oleh van
der Heijden dan pasukannya untuk merebutnya sampai tiga kali masih tetap
dikuasai oleh pihak Aceh.
Harus
diakui di samping daya juang rakyat di daerah ini tidak kalah hebatnya dengan
daerah lain dan benteng pertahanannya cukup kuat, maka tepat bila sultan memilih
basis pertahanan di situ. Begitu diketahui oleh raja-raja pedalaman, maka
raja-raja kecil berdatanganlah ke Samalanga untuk memberikan dukungan
perjuangan, tidak ketinggalan dua orang raja, yaitu Aman Nya' Ara dan Penghulu
Sikulon dan Serbajadi. Setelah mengetahui bahwa Sultan berada di Samalanga ia
pun melancarkan serangan. Kelihatannya van Heutsz berhasil melakukan penyerangan
ke Samalanga, membuat Sultan terpaksa memindahkan markas perjuangannya ke
Peudada dan dari sini ke Peusangan (Pebruari 1901). Van Heutsz berhasil lagi
melemahkan perlawanannya membuat Sultan harus memilih pusat pertahanan yang
lebih terjamin, yaitu mudik ke Tanah Gayo1 (September 1901).
Di
sini para kejuruan (raja) setempat memberikan dukungan sepenuhnya. Ketika mayor
Belanda, van Daalen memimpin serangan dengan 12 brigade ke Gayo yang memakan
tempo dari bulan September sampai akhir November 1901 ia tidak berhasil mematahkan
perlawanan Sultan. Juga kolonel Scheepena gagal menghadapinya, Sultan kembali
ke Pidi. Di Hulu Beuracan Belanda lagi-lagi tidak berhasil mematahkan
perlawanannya. Christoffel berhasil menculik salah seorang istri Sultan, yaitu
Pocut Putrue (26 November 1902). Dia dibawa ke Sigli dari situ ke Uleulhue.
Peristiwa tersebut didahului oleh serangan pasukan kapten Belanda Kramers
terhadap markas Sultan Muhammad Daud Syah di hulu Pante Raja, Pidie. Sultan lolos.
Pada
tangal 25 Desember 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan mayor van der Maaten
melancarkan kegiatan pencari seorang lagi permaisuri Sultan, yaitu Pocut Murong
di sekitar kompleks kampung Lamlo Peureula'. Belanda berhasil memergokinya.
Dengan demikian Belanda sudah menyandra 2 permaisuri Sultan dan seluruh keluarganya,
termasuk putera Sultan yang masih di bawah umur, Tuanku Ibrahim. Van Heutsz mengumumkan bahwa
semua keluarga yang menjadi tangkapannya itu tidak akan dibunuh seandainya Sultan
sendiri datang melapor dan menyerah diri sebagai Penebusnya. pada tanggal
6 Januari 1903, di situlah Sultan menetapkan hati untuk mengirim surat pada van
Heutsz bahwa ia bersedia menyerah, untuk mana ia menginginkan diberlakukan
upacara terhormat untuknya.
Besoknya,
sebuah kapal perang "Sibolga" datang menuju Sigli, di mana turut
Tuanku Mahmud, bekas wali Sultan, Tuanku . Husin, Tuanku Ibrahim, puteranya,
dua kepala Sagi XXV dan XXVI Mukim. Tanggal 8 Januari mereka tiba di Sigli
ketika itu sudah menunggu raja Pidie, Samalanga dan Meureudu. Sultan lalu dijemput
ke desa Arusan, Ie Leubeue. Sabtu 10 Januari Sultan tiba di Sigli, disambut
oleh mayor van der Maaten dan para perwiranya. Tanggal 13 Januari Sultan, Pocut
Murong, Tuanku Ibrahim dan anggota rombongan sebanyak 175 orang dibawa ke kapal
perang "Sumbawa" menuju Uleulhue. Dari sini ia naik kereta api menuju
Kutaraja (Banda Aceh).
Turun
dari situ menuju Kampung Keudah, untuk mendiami sebuah rumah yang sudah
disediakan lebih dulu. Pada tanggal 15 januari berlangsung uparaca penyerahan
Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah, yang oleh Belanda sejak awal hanya disebut
berstatus "pretendent" ini telah diminta supaya menandatangani suatu
pengakuan yang sudah disiapkan lebih dulu dalam mana disebut bahwa Aceh adalah
menjadi bagian Hindia Belanda, dan ia berada dalam pengawalan gubernur van Heutsz.
Dikatakan bahwa sejak itu Tuanku disebut
beroleh tunjangan f. 1000.- sebulan. ; Ditetapkan oleh gubernur bahwa putera Sultan,
Tuanku Ibrahim yang usianya 14 tahun sudah, dibawa ke Jakarta, sebuah kalimat
dari kapten artileri Belanda yang turut berperang di Aceh sejak awal, yaitu
G.F.W. Borel, dalam bukunya yang menghantam kebijaksanaan komandan tertingginya
masa mereka menyerang itu, jenderal van Swieten.3Katanya: "De ondervinding
heeft bovendien bewezen, dat Atjeh geen Sultan noodig had om zich kractig tegen
ons te blijven verzetten." ("Pengalaman telah membuktikan bahwa Aceh
tidak membutuhkan Sultan untuk terus segigih-gigihnya menentang kita, Mayor
J.B. van Heutsz, bekas kepala staf Jenderal Van Teijn di Aceh.
Pada
tahun 18 92 dia menulis dua buah artikel dalam Indisch Militair Tijdschrift,
yang kemudian terbit sebagai brosur dengan judul De onderwerping van
Atjeh (Penaklukan Aceh). Semboyan yang mereka gunakan adalah: "Perang
Aceh menggerogoti tanah jajahan kita dan harus berakhir. Marilah
akhirnya kita tunjukkan kepada dunia yang beradab bahwa kita mampu
melakukannya." Pada tanggal 10
Februari 1903 Sultan menyerah. Pada tanggal 6 Desember tahun itu juga dia
diikuti oleh Panglima Polim. Dari kedua mereka ini mulamula istri dan
anggota-anggota keluarga lainnya yang ditahan. Polim lapor diri tertulis pada
penguasa Lhok Seumawe di Pase, Kapten H. Colijn. Dia diberi ampun dan
dipulihkan jabatannya yang turun-temurun menjadi Panglima Sagi Mukim XXII. Tugasnya
diselesaikannya dengan memuaskan hati Pemerintah Belanda.
Pada
tahun-tahun berikutnya dia memperoleh bintang kesatriaOranye Nassau Orde maupun
Bintang Jasa Mas Besar, yang merupakan pemberian tanda jasa di Hindia. Ketika
ia meninggal pada dalam tahun 1940, pada mulanya Pemerintah Hindia merasa
ragu-ragu mengangkat putranya sebagai penggantinya. Tidak lama kemudian
ternyata bahwa keraguan sikap Belanda itu tepat. Panglima Polim yang ketiga
dari Perang Aceh ini pada tahun 1942 adalah juga yang ketiga dari wangsanya,
yang memimpin suatu pemberontakan anti-Belanda. Sepuluh Tahun yang Berdarah
bagi Aceh. Jumlah yang tewas di pihak Belanda, 508, tidak banyak naiknya di
atas rata-rata seluruh perang. Tetapi dari tahun 1899 sampai 1909, 21.865 orang
Aceh yang terbunuh, yaitu hampir empat persen dari penduduk.
Angka-angka
ini resmi. Van Heutsz adalah gubernur pertama yang menyuruh memuat kerugian
pihak Aceh. Pada tahun 1907 pada konsul jenderal Belanda di kota ini
disampaikan surat-surat yang konon ditulis oleh Muhammad Daud kepada kaisar
Jepang. Untuk hubungan ini, digunakan seorang Inggris sebagai perantara di
Singapura, bernama Ghouse, yang sebelum tahun 1903 sudah bertindak sebagai agen
rahasia Sultan. Snouck Hurgronje dilibatkan sebagai penasihat menteri di Negeri
Belanda pada penyelidikan ini.
Pendapatnya
(dalam sebuah nota tertanggal 4 Mei 1908) adalah bahwa surat-surat ini pada
hakikatnya tidak lebih artinya daripada upaya-upaya semacam dulu terhadap Turki
- dalam hal ini berkalikali sultan diperdayakan oleh penipu-penipu68 - Van der
Maaten pun menganggap surat-surat ini sebagai kerja penipu-penipu dan
tukang-tukang provokasi kehadiran
Muhammad Daud di Kutaraja merupakan sumber keresahan. Gerakan perlawanan tetap
berhubungan dengan dia. Dia sendiri menaruh banyak harapan berdasarkan
perlakuan yang diterimanya selama Van Heutsz. Gubernur Van Daalen yang curiga
dan bersikap keras terhadap kaum hulubalang menganggap Sultan sebagai awal
semua kesulitan.
Berdasarkan 'pengkhianatan terhadap negara' — yaitu adanya surat-surat ke Jepang —
disuruhnya menangkap Sultan padatahun 1907 dan membuangnya ke Jawa. Sultan
meninggal di sini pada tahun1937. Sama sekali tidak ditempuh jalan pengadilan,
bahkan pemeriksaan yangagak mendalam tentang surat-surat ke Jepang pun tidak
dilakukan. Tentang ini Snouck Hurgronje baru setahun kemudian dapat
melaporkannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar