Tahun 1903 Sultan Aceh Muhammad Daud Syah, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, Tuwanku Raja Keumala dan beberapa orang pemimpin penting lainnya ditawan tentara Belanda dengan suatu tipudaya yang kotor. Dalam tahun-tahun berikutnya sepucuk surat dari "KotaPendudukan", yaitu Banda Aceh, Ibukota' Kerajaan yang telah diduduki Belanda, melayang ke daerah pedalaman, dimana Komando Tertinggi Perang Gerilya berkedudukan.
Surat penting tersebut ditandatangani Tuwanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Tuwanku Mahmud Banta Kecil. Surat yang ditujukan kepad Panglima Tertinggi Komando Perang Gerilya, Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin , mengandung pesan* pesan penting untuk dipertimbangkan. Antara lain, surat tersebut menjelaskan bahwa sekarang telah banyak putera-puteri bangsa yang tidak mendapat pendidikan karena pusat-pusat pendidikan sudah tidak berfungsi lagi; sudah porak poranda semenjak terjadi Perang Kolonia l di Aceh.
Kalau keadaan berlanjut terus demikian, Angkatan Muda Aceh yang akan datang menjadi jahil dan dapat condong ke arah kekafiran, demikian maksud surat tersebut.Selanjutnya surat mengharapkan agar dipertimbangkan pemberian kesempatan kepada sejumlah ulama untuk melapor kepada penguasa pendudukan, yang dengan demikian mendapat kesempatan membangun dayah-dayah kembali, hatta putera-puteri Aceh dapat belajar. Surat yang ditandatangani tiga orang tokoh penting yang 'telah ditawan itu, dibicarakan dalam satu rapat Komando Tertinggi Perang Gerilya, yang kemudian menghasilkan keputusan penting dalam kebijaksanaan pelaksanaan Perang Gerilya terhadap tentara pendudukan Belanda.
Yang sangat menggembirakan Komando Tertinggi Perang Gerilya, bahwa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah tidak mau menandatangani "Sarakata Penyerahan Kedaulatan Aceh Kepada Belanda" yang telah dipersiapkan komando tentara pendudukan Belanda. Sultan menolak menurunkan tandatangannya atas sarakata tersebut dengan alasan bahwa "Kedaulatan" berada di tangan rakyat dan beliau tidak berhak menyerahkannya kepada siapa pun.Dengan demikian, menurut pendapat Komando Tertinggi Perang Gerilya, Aceh masih berdaulat sekalipun sebahagian wilayah Kerajaan telah diduduki tentara Belanda ; tentunya suatu pendudukan yang tidak sah menurut hukum Intemasional.
Atas dasar itu, perang yang akan dilanjutkan di bawah Pimpinan Komando Tertinggi Perang Gerilya adalah untuk mempertahankan Kemerdekaan dan Kedaulatan yang hendak direbut Belanda; suatu peperangan suci (Qitaal fi Sabilillah) menurut Syari'at Islam.Dengan kebijaksanaan baru itu, sejumlah Ulama turun, melapor dan membangun dayah-dayah kembali di seluruh Tanah Aceh, sebahagian yang lain tetap di "Daerah Merdeka" untuk memimpin Perang Gerilya, yang menyebabkan tentara pendudukan Belanda tidak pernah aman selama mereka menduduki Tanah Aceh.Sesuai dengan suratnya kepada Pimpinan Komando Tertinggi Perang Gerilya, maka Tuwanku Raja Keumala memulai sendiri anjurannya itu. Dalam tahun 1916, beliau mempelopori pembangunan Pusat Pendidikan Islam yang dinamakan "Jam'iyah Khairiyah", berlokasi dalam Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh ; mungkin mengambil sempena dari ".lam'ah Baiturrahman" yang dalam zaman Kerajaan AcehDarussalam, merupakan Perguruan Tinggi Islam ternama di Asia tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar